Halimi Zuhdy
Saya duduk di shaf kedua. Menunggu kedatangan Sekjen Kementerian Agama RI. Sambil berfikir, kira-kira apa hal baru yang akan beliau sampaikan. Atau hal lama yang mungkin beliau perkuat. Karena, setiap pemimpin baru pasti membawa visi dan misi yang akan diwujudkannya. Setengah jam menunggu, beliau hadir bersama Rektor UIN Malang, Prof M. Zainuddin yang didampingi oleh para wakil rektor dan beberapa jajaran lainnya.
Acara dimulai, setelah sambutan rektor. Bapak Sekretaris Jenderal Kementerian Agama RI, Prof. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, MA, menyampaikan orasinya. Dalam rangka Pengarahan Sekjen di Kampus III UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Dalam paparannya, beliau menekankan pentingnya peran perguruan tinggi dalam memberikan manfaat bagi masyarakat, baik dalam lingkup lokal maupun global.
"Terdapat tiga kampus yang berpengaruh dalam diskursus keagamaan dunia, yakni Universitas Al-Azhar di Mesir, Universitas Islam Madinah di Arab Saudi, dan Universitas Al-Musthafa di Iran", Kata beliau, bahwa penyebutan tiga kampus tadi dari hasil penelitian dari seorang peneliti di Inggris (beliau tidak menyebutkan namanya). Tiga kampus tersebut tidak hanya menjadi pusat pendidikan, tetapi juga menjadi sumber pemikiran yang dibawa oleh mahasiswa asing ke negara masing-masing, menciptakan jaringan intelektual yang luas dan berkelanjutan.
Terus beliau menyinggung banyak kampus, khususnya di Indonesia. Kampus Islam. Yang harus terus bergerak, tidak hanya mengejar predikat kampus Internasional, tetapi harus benar-benar berdampak pada lingkungan sekitar (khususnya) dan juga pada Indonesia. Namun, fenomena yang terjadi di banyak kampus-kampus adalah keberadaan sumber daya manusia yang melimpah tetapi kurang memberikan dampak nyata bagi lingkungan sekitar. Banyak alumni yang berhasil dalam bidang akademik, namun realitas sosial di sekitar mereka tetap tertinggal. Ada lulusan yang tidak bisa membaca Al-Qur’an, terjadi perceraian dalam keluarga, anak-anak santri mengalami masalah ekonomi, dan kondisi sosial lainnya yang memprihatinkan. Kampus, dalam hal ini, tidak boleh menjadi entitas yang terisolasi dari realitas kehidupan masyarakat.
Untuk menjawab tantangan ini, beliau menyampaikan tentang pembangunan agama ke depan harus berorientasi pada visi “Rukun, Cerdas, dan Maslahah.” Kerukunan menjadi aspek utama, mengingat keberagaman masyarakat Indonesia yang multikultural. Kementerian Agama diberikan amanah untuk menjaga harmoni sosial, menjadikannya sebagai target utama dalam pembangunan keagamaan.
Lebih dari itu, agama harus mendatangkan kemaslahatan bagi umat. Pemahaman agama tidak boleh hanya terbatas pada aspek akidah, moral, surga, dan neraka, tetapi juga harus menjadi instrumen yang solutif dalam kehidupan sosial. Dalam konteks ini, kampus memiliki tanggung jawab besar untuk menerjemahkan ajaran agama ke dalam tindakan nyata yang mendukung kesejahteraan masyarakat.
Salah satu gagasan penting yang disampaikan dalam pengarahan ini adalah konsep ekoteologi, yaitu bagaimana agama dapat menjadi dasar dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Setiap elemen dalam masyarakat keagamaan, termasuk Kanwil Kementerian Agama, KUA, dan kampus, harus menginternalisasi nilai-nilai ekologis dalam setiap kebijakan dan aktivitasnya. Kesadaran hemat energi, pengelolaan air yang bijak, serta kebersihan lingkungan harus menjadi bagian dari dakwah bil hal (dakwah melalui tindakan nyata).
Tindakan konkret yang dapat dilakukan, misalnya, bukan hanya dengan mengirimkan karangan bunga dalam acara seremonial, tetapi juga dengan menanam pohon sebagai simbol keberlanjutan dan kepedulian terhadap lingkungan.
Anomali sosial-ekonomi di Indonesia masih menjadi tantangan besar. Saat ini, terdapat sekitar 27 juta orang miskin dan sekitar 2 juta penyandang disabilitas yang membutuhkan perhatian serius. Masalah ini bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi juga tanggung jawab kolektif seluruh elemen masyarakat, termasuk akademisi.
Dalam dunia akademik, sering kali keberhasilan diukur dari jumlah jurnal yang diterbitkan, tetapi kurang menyoroti bagaimana ilmu yang dihasilkan dapat memberikan dampak bagi masyarakat luas. Dosen dan mahasiswa harus lebih aktif dalam membangun keterkaitan antara akademisi dan realitas sosial. Sebagai contoh, meskipun banyak ahli tafsir di lingkungan akademik, tetapi masih banyak masyarakat sekitar yang kurang mendapatkan akses terhadap kajian keislaman yang mendalam. Bahkan masih banyak yang belum bisa membaca Al-Qur'an. Terus SDM yang melimpah, tapi tidak memberikan kontribusi pada lingkungannya?!
Selain itu, tingkat perceraian yang tinggi, masalah stunting, dan kondisi anak yatim yang terus meningkat juga perlu mendapatkan perhatian lebih. Jika dalam setahun terdapat sekitar 400 ribu kasus perceraian, maka muncul pertanyaan, berapa banyak anak yatim dan janda yang perlu mendapatkan bantuan sosial? Kampus dan akademisi harus hadir untuk menawarkan solusi nyata bagi permasalahan ini.
Salah satu tantangan besar bagi dunia akademik adalah bagaimana menjadikan kampus sebagai pusat kebermanfaatan bagi masyarakat. Keberhasilan akademik tidak boleh hanya diukur dari peringkat internasional, tetapi juga dari sejauh mana kampus mampu memberikan dampak positif bagi lingkungannya.
Alumni yang telah dicetak oleh kampus harus terus berkontribusi, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Masih banyak tugas yang harus dilakukan oleh dosen dan mahasiswa dalam membangun komunitas, memberdayakan masyarakat, dan menciptakan perubahan yang berarti. Penghargaan yang tinggi perlu diberikan kepada para akademisi yang tidak hanya mengajar di dalam kelas, tetapi juga aktif dalam membina masyarakat, menyampaikan khutbah, dan berkontribusi dalam pengembangan komunitas.
Pada akhirnya, kampus tidak boleh hanya menjadi menara gading yang terpaku pada keunggulan akademik, tetapi harus menjadi institusi yang benar-benar memberikan manfaat nyata bagi umat. Dengan semangat rukun, cerdas, dan maslahah, diharapkan perguruan tinggi Islam dapat menjadi pionir dalam membangun masyarakat yang lebih baik, adil, dan sejahtera.
Malang, 24 Februari 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar