(Berbedaan atau Perpecaha)
Halimi Zuhdy
"Kalau kau ingin mempertajam pisau, maka asahlah, tapi jangan kau....."
Pisau, jika lama tidak digunakan, akan karat, bahkan akan rusak dan tidak akan dapat digunakan lagi. Tapi, jika ia digesek (diasah) dengan batu, atau benda keras lainnya, ia akan tajam.
Demikian pula, jika umat ingin tambah dewasa, maka gesekan kadang memang harus terjadi, ikhtilaf itu sebuah keniscayaan. Sekali lagi "ikhtilaf", bukan "tafarruq".
Persatuan itu penting, tapi tidak harus menolak perbedaan, bukankah indahnya siang, karena kita melewati malam, dan indahnya malam, karena siang pergi dengan senyum manisnya.
Para sahabat, tabiin, dan setelahnya, juga tidak lepas dari perbedaan. Seperti, para sahabat yang berbeda penentuan warisan untuk nenek (al-jad) pada masa Abu Bakar, Umar Al Faruq dengan Zaid bin Stabit tentang kata Al-Quru', pada masa Ustman bin Affan berbeda dalam hal siyayah, Ali bin Abi Thalib juga pernah berbeda dengan Muawiyah, dan Istri Nabi, Aisyah.
Belum lagi ikhtilaf para aimmah, kemudian melahirkan madzhab-madzhab. Itulah sebuah keindahan, yang membangkitkan gairah akademik tinggi, saling mengasah kecerdasan, pemikiran dan melahirkan berbagai pendapat, yang tentunya berangkat dari satu pohon, Al-Quran dan Al Hadis, yang membuahkan ijma', dan pendapat para alim.
Ikhtilaf, bukanlah berangkat dari ego, nafsu, kesombongan, kepentingan pribadi atau kelompok, yang melahirkan "tafarruq", tapi "ikhtilaf" berangkat dari sebuah kemurnian "ijtihad". Maka, di sanalah indahnya, tidak saling melaknat, tidak saling mengkafirkan, tidak saling bersitegang, apalagi saling bunuh.
Kadang miris sekali, melihat antraksi Medsos hari ini, bukannya hanya bully, tapi saling mengkafirkan, melaknat, dan fitnah yang membakar, bukan lagi iktilaf ummah rahmat yang selalu berdasar pada dalil, tetapi tafarruq yang tercela.
Mudah-mudahan cepat selesai, dan duduk tawadhu', dimulai dari para ulama dan didukung para pemimpin negeri.
Suatu kali
"أَنَّ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ ، كَانَ يَقُولُ : مَا سَرَّنِي لَوْ أَنَّ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَخْتَلِفُوا ، لأَنَّهُمْ لَوْ لَمْ يَخْتَلِفُوا لَمْ تَكُنْ رُخْصَةٌ
“Tidaklah menggembirakanku jika saja para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berbeda pendapat,” kata Umar bin Abdul Aziz seperti diabadikan dalam Al Inabah Al Kubra dan Faidhul Qadir, “karena jika mereka tidak berbeda pendapat maka tidak akan ada rukhshah atau keringanan.”
"Agar lampu menyala, sambungkan dua kutub kabel yang berbeda" mari kita nyalakan lampu Islam, walau selalu ikhtilaf, jadikan ia sebatas berbeda pendapat, bukan perceraian ukhuwah islamiyah.
permisalan di bawah ini, penulis ibaratkan, karena ikhtilaf adalah kecantikan;
"Jika kau ingin membuat almari, maka gergajilah kayunya"
"Kayu tambah indah, jika diamplas"
Seharusnya ikhtilaf melahirkan persatuan, melahirkan kekuatan ruh, melahirkan keindahan, Islam. Tidak melahirkan arognasi kedirian dan ego sekterian.
Apa contoh perbedaan ikhtilaf dan tafarruq dalam suatu benda? Seperti "kunci pas" memiliki berbagai ukuran, masing-masing dirancang untuk menangani mur atau baut tertentu. Walaupun ukurannya berbeda, semua kunci pas memiliki tujuan yang sama, yaitu mengencangkan atau melonggarkan baut. Ini melambangkan ikhtilaf karena meskipun terdapat perbedaan dalam metode (ukuran alat), semuanya tetap bertujuan untuk mencapai tujuan yang sama dengan cara yang saling melengkapi.
Sedangkan "tafarruq", seperti "gelas pecah", ketika sebuah gelas pecah menjadi beberapa bagian, setiap pecahan menjadi tajam dan berbahaya. Selain itu, pecahan-pecahan tersebut kehilangan fungsinya sebagai gelas utuh yang dapat menampung air. Ini melambangkan tafarruq, di mana perpecahan tidak hanya menyebabkan kehilangan fungsi utama tetapi juga berpotensi menimbulkan kerusakan dan bahaya bagi sekitarnya.
Kembali kepada Ikhtilaf atau tafarruq?
Ikhtilaf dan tafarruq memiliki perbedaan mendasar yang penting untuk dipahami. Ikhtilaf adalah perbedaan pendapat yang berlandaskan dalil-dalil syar’i dan bertujuan mencari kebenaran serta maslahat. Perbedaan ini terjadi dalam ruang lingkup yang diperbolehkan oleh syariat, seperti dalam masalah fiqih atau ijtihad ulama. Ikhtilaf memiliki ciri-ciri yang positif, seperti adanya penghormatan terhadap pendapat lain, dialog yang sehat, dan kontribusi terhadap khazanah keilmuan Islam. Contohnya adalah perbedaan jumlah rakaat salat tarawih, yang tidak menyebabkan permusuhan antarumat. Dengan demikian, ikhtilaf menjadi bagian dari rahmat Islam yang menunjukkan keluasan ajarannya.
Sebaliknya, tafarruq adalah perpecahan yang merusak persatuan umat. Tafarruq sering kali terjadi karena fanatisme golongan, hawa nafsu, atau sikap keras kepala yang tidak berlandaskan dalil. Perpecahan ini berbahaya karena menimbulkan permusuhan, melemahkan kekuatan umat, dan menghilangkan keberkahan persatuan. Akibatnya, umat Islam menjadi rentan terhadap ancaman eksternal dan kehilangan fokus terhadap tujuan utama. Dalam Islam, tafarruq sangat dilarang karena bertentangan dengan perintah Allah untuk berpegang teguh pada tali agama-Nya dan menjaga persatuan (Ali Imran: 103). Oleh karena itu, umat Islam harus menjunjung tinggi toleransi dalam perbedaan dan menjauhkan diri dari sikap-sikap yang memicu perpecahan.
Salam ukhuwah islamiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar