Halimi Zuhdy
Akhir-akhir ini banyak sekali da'i atau ustadz yang muncul di televisi, radio, YouTube, Instagram, Facebook, dan media lainnya. Mereka hadir silih berganti dengan berbagai genre dan gaya yang khas. Ada yang melucu, puitis, tegas, menggunakan rumus-rumus indah, argumentatif, falsafi, lembut, informatif, memiliki hafalan yang kuat, penuh dalil, tasawuf, dan lainnya.
Mereka berasal dari berbagai latar belakang organisasi yang berbeda, bahkan ada yang independen tanpa keterikatan organisasi. Dari kampus, madrasah dan pesantren yang juga berbeda. Setiap dai mengisi ruang kosong dengan cara mereka sendiri, dengan musik dakwah yang memiliki tabuhan berbeda.
Mereka unggul dalam bidang masing-masing dan memiliki pengikut setia. Seperti orkestra, keindahan musik terletak pada harmoni di antara alat-alatnya. Bukan pada siapa yang lebih keras atau lebih lambat, tetapi bagaimana ritme itu menyatu dalam kemistisan. Layaknya piano dengan notasi yang beragam, harmoni menghasilkan suara yang luar biasa indah. Sebaliknya, jika setiap alat musik egois dan tidak sinkron, alunan suara akan menjadi buruk dan pecah.
Namun, sangat disayangkan dan menyedihkan ketika sebagian oknum di antara para dai saling tahdzir (peringatan keras), mengolok, menyudutkan, mencari kelemahan, atau melabeli yang lain dengan sebutan bid'ah, paling sunnah, antek liberal, fundamentalis, kafir, dan berbagai cap lainnya. Mereka sering lupa untuk bercermin pada diri sendiri.
Belum lagi perilaku para pengikut mereka di media sosial, yang saling menyerang, membuat akun untuk mengklaim bahwa gurunya paling benar, atau menciptakan fanatisme kelompok. Ada yang bahkan membentuk "jihadis" di dunia maya, dengan tujuan menjatuhkan dai atau kelompok lain agar mereka tidak lagi populer.
Mari kita meneladani para ulama besar yang tak hanya hebat dalam keilmuan, tetapi juga penuh penghargaan terhadap perbedaan. Mereka saling berguru, saling tawadhu’, dan tetap menjaga ukhuwah meskipun berbeda pandangan. Dalam kitab Siyar A'lam An-Nubala', diceritakan bahwa Imam Syafi’i pernah berdebat sengit dengan Yunus bin Abdil A'la. Setelah itu, Imam Syafi’i mendatanginya dan berkata, “Wahai Abu Musa, tidakkah kita lebih indah dan tetap menjadi saudara walaupun berbeda pendapat dalam satu masalah?”
Banyak kisah teladan dari para imam besar yang menunjukkan bahwa meskipun berbeda pandangan, mereka tetap menuju dermaga yang sama: Ridha Allah.
Biarkanlah mereka yang sudah terkenal tetap terkenal, menjadi dai kondang yang menyebarkan manfaat. Kita tidak perlu mengganggu mereka, bahkan jika memungkinkan, dukunglah. Namun, jangan pernah meremehkan yang belum dikenal.
Bagi yang belum populer, hindarilah fitnah dan upaya menjatuhkan orang lain demi meraih dukungan. Jangan pula merendahkan atau terus-menerus membully. Jika hanya bisa diam, maka lebih baik diam daripada berbicara yang menyakitkan dan menambah dosa.
Surga dan ridha Allah bukan milik mereka yang terkenal semata. Surga adalah milik siapa saja yang tulus mencari ridha-Nya: dalam ibadahnya, pekerjaannya, dakwahnya, bahkan diamnya.
Mari kita bersama menuju dermaga Islam yang satu, tanpa melubangi bahtera saudara kita. Indahnya dakwah adalah ketika kita saling mendukung dan menguatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar