- dari UIN Ar-Raniri ke Syekh As-Singkili
# Edisi 4
Halimi Zuhdy
“Mendapatkan hal yang buruk dengan pikiran positif, jauh lebih baik dari mendapatkan keindahan dengan hati yang negatif” Kalimat penutup hari ini.
Kebahagiaan bukan dari apa yang telah kita raih, tapi kebahagiaan itu apabila kita menikmati setiap apa yang terjadi dengan mengucapkan “Al-Hamdulillahi ala kulli hal, segala puji bagi Allah dalam segala keadaan”.
Di sela-sela percakapan kami di warung kopi pagi sebelum ke kampus UIN Ar-Raniri, tiba-tiba ustadz Sumardi, Kaprodi BSA UIN Ar-Raniri nyeletuk, “Untunglah ustadz, ustadz tidak jadi berangkat kemarin, karena dari pagi sampai sore listrik di Fakultas padam, andai ustadz hadir, juga tidak bisa menyampaikan kuliah”.
Lah, mengapa semuanya menyatakan untung?. Karena yang dicari adalah hal positif, bukan negatif. Tidak menyalahkan keadaan, tetapi membawa keadaan pada suasana yang paling indah, dan yang paling membahagiakan ketika kita berkumpul dengan para dosen dan mahasiswa di ruang-ruang intelektual, dan asyik masyuk dengan dengan dunia akademik.
Tak ada lagi yang dipikirkan kecuali bercengkerama tentang ilmu pengetahuan. Sampai-sampai waktu seperti kilat, tak terasa dari pagi sampai sore berada di Kampus Hijau, kampus yang dipenuhi dengan pepohonan indah dan rindang. Di tengah-tengahnya terdapat rumah adat Aceh, “Ustadz, kalau ada Rektor dari luar Aceh ke kampus ini, kita bawa ke tempat ini” kata Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Aceh, Dr. Syaifuddin. Hatiku tersentak, ini bukan Rektor yang datang?, hanyalah dosen biasa.
Saya mulai naik ke rumah adat Aceh dengan rasa senang campur haru. Di sana sudah menunggu dosen-dosen Bahasa dan Sastra Arab UIN Ar-Raniri Aceh, dengan beberapa pejabat Fakultas. Saya ditunjuki benda-benda masa lalu, dari uang kuno, senjata, peralatan dapur, ruang tidur, ruang rias dan banyak lainnya. Dan yang istimewa, kita makan nasi Aceh dengan cerita-cerita yang sangat asyik. Terima kasih Aceh.
“Ustadz, nanti setelah Maghrib mengisi pengajian di Masjid Jami’ As-Shalihi?!” kata Bapak Dekan. Saya tidak bisa mengelak, apalagi seorang tamu yang datang dari non jauh, Malang. Dalam hati, kapan saya jalan-jalannya?, tetapi saya tidak menanyakan, karena pasti saya diajak jalan-jalan walau hanya sebentar. Eh, tiba-tiba saya ditanya oleh Dr. Zulkhair, Dr. Zullifah, dan Dakatir lainnya, “Ustadz mau kemana, akan kami antar?!”.
Hati ini sangat Bahagia sekali. “Saya ingin ziarah ke Syekh Ar-raniri, Syekh Abdurrauf Al-Fansuri, Syekh, Syekh Hamzah Al-Fansuri, dan mungkin ke kapal tsunami?!” saya mencoba bernegosiasi dengan para asatidz. “Maaf ustadz, Sykeh Ar-Raniri, makamnya tidak di Aceh, ada pendapat beliau pulang ke India setelah kalah debat di muka umum dengan muridnya, Hamzah Fansuri, dan ada yang mengatakan beliau meninggal di India” kata Dr. Zulkhair, Alumni doktor dari Sudan. “Sedangkan Hamzah Fansuri, lumayan jauh, waktunya tidak cukup, karena ustadz nanti diminta mengisi pengajian setelah Maghrib, kita ke Syekh Abdurrauf As-Singkili saja dulu” beliau melanjutkan dan menjelaskan tentang keberadaan Syekh yang ahli Fikih. (Tentang Syekh Abdurauf, akan diceritakan khusus, Insyallah).
“Ustadz, harus Kembali lagi ke Aceh, akan kita bawa keliling!?” kata para asatidz yang selalu tersenyum dengan wajahnya yang selalu menggembirakan. Saya sebenarnya malu, beliau-beliau menemani mulai hari sebelumnya sampai seharian di UIN Ar-Raniri dan sampai hari terakhir di Aceh. Sungguh terharu.
# Edisi 5
Kuala, 29 November 2022
***
Edisi Selanjutnya (Musium Kematian, Tsunami), (Syekh Alim yang dikalahkan politik), (pengajian di Masjid Jami’ Aceh), (Amplop Pengajian), (Kopi Solong yang legendaris), (Kyai Barista, Pak Dekan yang nyentrik).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar