Halimi Zuhdy
Beberapa hari yang lalu ada yang menanggapi tulisan saya tentang kata Kurban dan Qurban, dan kemudian ia menyimpulkan tulisan saya tersebut, bahwa saya bloon dan kearab-araban, dan saya dianggap lupa "keindonesiaan saya" dan saya adalah orang yang sibuk melakukan islamisasi dan arabisasi bahasa Indonesia.
Saya tidak terlalu menanggapi kata-kata tersebut, kemudian saya hapus saja. Agak enggan berdebat dengan orang yang tidak paham tulisan berbahasa Indonesia (sebagai orang Indonesia), mungkin malas belajar bahasanya sendiri, tapi mengkritik orang lain yang sebenarnya sayang dan cinta Bahasa Indonesia.
Eh, malah saya disuruh makan kurma saja, tidak usah makan nasi. Asyik juga, makan kurma sampai kenyang. Sebenarnya gaya orang seperti di atas, adalah orang yang tidak paham sejarah bahasa Indonesia dan kata-kata yang berkelindan dalam bahasa Indonesia. Dikiranya, semua kata-kata Bahasa Indonesia yang ada sekarang berasal dari Nusantara. Dan ketika seseorang nyentil tentang penulisan sebuah kata yang dianggap kurang pas dalam bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Asing (terutama dari Arab), malah dianggap kearab-araban. Payah juga.
Dan agaknya ia berbeda, kalau kata yang diambil dari bahasa asing lainnya, kok jarang dianggap ke barat-baratan, bahkan dianggap lebih keren dan lebih Indonesia. Ini kan tidak adil.wkwkw. Santai bro.
Bahasa dari mana pun kalau ingin diserap, diserap saja, tidak ada yang salah kok. Hanya saja, perlu dikaji lebih mendalam cara penulisannya dan maknanya agar tidak terlalu jauh dari makna atau maksud dari bahasa asalnya. Jangan karena berasal dari timur, dianggap islamisasi atau kearab-araban, kalau itu emang penting dan lebih sesuai dengan tujuan dari maksud bahasa, gunakan saja. Gitu saja kok repot.wkwkw.
Misalnya, "jangan pakai madrasah", "pakai sekolah saja lebih Indonesia?!". Ettt. Keduanya bukan dari bahasa Indonesia bro, itu serapan dari bahasa asing semua. Kata madrasah dari bahasa Arab, dan Sekolah dari bahasa Latin (skhhole, scola, scolae/ skhola), bahasa Inggrisnya School. Paham!!.
"Sekolah pascasarjana", Misalnya. Tuh, bahasa asingnya sekolah dan pasca, demikian juga dengan kata sarjana, ia berasal dari bahasa Sansekerta. Boleh dong, "madrasah pascasarjana", ya boleh-boleh saja, kalau mau dimasukkan di KBBI, kan tergantung orang yang di KBBI saja.wkwkw.
Saya tertarik apa yang disampaikan Prof Djoko Saryono di FB beberapa hari yang lalu "Sejak kapankah diksi "murid" dan lalu "siswa" yang khusus dan jelas rujukannya tergusur oleh diksi "peserta didik" yang umum dan abstrak rujukannya? Kita ingat, dalam UU Pendidikan dan Pengajaran Tahun 1950 dan 1954 masih konsisten dipakai diksi "murid". Baru dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Tahun 1989 diksi "peserta didik" menggusur diksi "murid" secara formal. Sejak itu dokumen resmi menggunakan diksi "peserta didik".
Kata murid pun, yang menurut saya tidak bermasalah, bisa juga berubah, dan mungkin sekarang sudah tidak digunakan lagi. Mengapa? Tidak tahu juga. Apakah mungkin karena berasal dari bahasa asing?🤩.
Mudah-mudahan tidak salah paham ya mas Bro.
Bandung, 12 Juli 2022
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar