Halimi Zuhdy
Beberapa hari ini, ramai di media sosial tentang seorang Gus yang bacaan kitabnya dinilai salah (memang salah), tetapi saran saya untuk tidak dibesarkan-besarkan kesalahannya, kecuali hanya untuk memberikan pencerahan terhadap yang bersangkutan agar terus belajar dan belajar, karena manusia yang baik adalah mereka yang sadar akan kesalahannya kemudian bertaubat. Dan kehebatan saudara muslim itu adalah beramal yang baik (wa ‘amilushalihat) dan saling berwasiat kebenaran (watawasha bil haqqi), berniat untuk memberi nasehat bukan menjatuhkan, apalagi kemudian iri dan dengki, hal ini sudah masuk pada perangkap syaitan.
Tayyib, belajar bahasa Arab bagi seorang da’i itu merupakan sebuah kewajiban, karena sumber pokok dari ajaran Islam berbahasa Arab, Al-Qur’an dan Hadis. Belum lagi kitab-kitab al-turast al-islamiyah yang berbahasa Arab. Dan mempelajari bahasa Arab tidak hanya bisa dilakukan sehari dua hari, ia butuh waktu cukup lama, maka tidak sedikit santri di pondok pesantren sampai harus menempuh puluhan tahun hanya untuk memperdalam kitab kuning, hal ini dilakukan, agar tidak salah dalam memberikan harkat yang kemudian salah dalam memaknai dan memahaminya.
Ada sih kursus-kursus kilat, seperti “24 jam pintar bahasa Arab”, “1 bulan dijamin bisa baca kitab kuning”, “Tidak harus mondok lama-lama cukup dengan mentode Buraq, pasti bisa baca kitab” dan masih banyak tawaran-tawaran yang menggiurkan agar dapat menarik banyak peminat untuk kursus bahasa Arab dan kitab kuning. Apakah salah?, tidak juga. Tetapi yang perlu dipahami dalam belajar bahasa Arab itu adalah memngetahui dua hal, yaitu; Maharah Lughah (language Skill ) dan Anashir al-Lughah (elements of the language). Banyak yang belum memahami kedua hal tersebut, baik maharah al-lughah dan anashir al-lughah, sehingga menganggap sama dalam mempelajari keduanya. Maharah itu terdiri dari; mendengar, berbicara, membaca dan menulis.
Belajar maharah lughawiyah (skill bahasa) yang paling penting adalah mumarasah (pembiasaan) dan dilakukan sesering mungkin (muwadhabah), seperti anak kecil yang belajar kemahiran bahasa (skill), ia hanya butuh mendengar dan mendengar, kemudian berbicara. Semakin si anak banyak mendengar dan berbicara, semakin cepat penguasaannya dalam memahami setiap kata yang didengar, dan semakin cepat berbicara. Demikian juga dengan membaca dan menulis. Maka, jangan heran ketika seseorang yang hidup di madura, ia pinter berbahasa madura. Dan jangan heran, orang yang sedari kecil hidup di Arab, maka bisa dipastikan ia mahir berbahasa Arab (Min. mendengar dan berbicara). Yang aneh adalah, mereka yang berlama-lama di Arab, tapi tidak bisa berbahasa Arab. Maka, orang ini pasti kurang gaul. wkwkw.
Tayyib. Bagaimana dengan Anashir Lughah (unsur bahasa)?. Cara mempelajari unsur berbahasa ini berbeda dengan belajar skill (kemahiran, maharat), tidak cukup dengan pembiasaan (mumarasah), mengulang-ulang (tikrar, muraja’ah), butuh keseriusan lebih, butuh waktu untuk mengkajinya dan menelitinya. Unsur-unsur bahasa tersebut; ilmu aswat, tarakib, dan mufradat. Terutama belajar Tarakib (nahwu dan sharraf).
Bila ada pembelajar di pesantren atau sekolah yang hanya belajar ilmu alat (tarakib, nahwu atau sharraf), tetapi tidak memperaktikkanya, maka tidak akan bisa membaca kitab kuning. Dengan fenomina tersebut jangan heran ada yang hatam (bahkan hafal) Jurmiyah, Imrithi dan Alfiyah Ibnu Malik tetapi tidak mampu membaca kitab kuning. Karena pembelajar ini tidak mempraktikkan ilmu alatnya -sebagai cangkul- untuk menggarap sawah, hanya sekedar untuk dibuat hafalan.
Belum lagi kalau pembelajar ingin memahami bahasa al-Qur’an (al-Arabiyah lil Qur’an), maka tidak cukup hanya dengan terjemahan kata perkata, butuh tambahan ilmu untuk mempelajarinya, seperti ilmu Balaghah dan beberapa ilmu lainnya.
Belajar bahasa Arab itu butuh waktu, harus bersabar dan berlatih. Selain juga banyak mengkaji kitab-kitab berbahasa Arab dan menuliskannya.
Allahu’alam bishawab
****** gambar di bawah
Struktur bangunan keilmuan Bahasa dan Sastra Arab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar