Sabtu, 16 Mei 2020

Inni Shaimun; Mempertegas Identitas Diri

Halimi Zuhdy

Ibadah puasa adalah ibadah yang paling rahasia, pahalanya, Allah sendiri yang membalasnya. “Semua amal anak Adam untuknya, kecuali puasa, ia untuk-Ku dan Aku yang membalasnya” HR. Abu Hurairah. Ibadah puasa paling selamat dari riya’, kata Imam Al-Qurtubu, “Bila amalan yang lain dapat diserang riya’, maka puasa tidak dapat dipamerkan, kecuali Allah yang mengetahui, Maka Allah sandarkan puasa kepada Diri-Nya”.
Dari banyak rahasia yang terahasiakan dari ibadah puasa, ada sebuah hadis yang seakan-akan menganjurkan untuk mempertegas keberadaan diri seseorang, bahwa ia berpuasa, “Inni Shaimun”. “…Puasa adalah perisai, jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa janganlah berkata keji dan berteriak-teriak, jika ada orang yang mencercanya atau memeranginya, maka ucapkanlah, Aku sedang berpuasa'…” HR Bukhari. 

Apakah hadis tersebut sebuah ajang pamer diri, atau sebuah penegasan akan keberadaan dirinya, atau penegasan identitas dirinya?
Kalimat mempertegas keberadaan diri dalam hadis di atas, bukan kemudian menjadikan puasa sebagai ajang pamer ibadah, bukan pula untuk menampakkan puasanya yang sedang dilakukan, sehingga orang lain mengetahuinya. Ia sebuah kalimat untuk mempertegas keberadaan diri, diri yang lagi “Belajar sabar”, diri yang tidak ingin “Membanggakan diri”, diri yang berusahan untuk “Menjauhkan diri dari ma’siat”, diri yang ingin “Terjaga dalam peribadatan”.

Mempertegas pernyataan akan keberadaan dirinya dalam hadis di atas, sangatlah penting, untuk memastikan keberadaan dirinya, kondisi dirinya, dan hal-ihwal dirinya, sehingga ia menjadi manusia yang tidak samar. Keberadaan dirinya yang diketahui, bukan untuk memamerkan diri, tapi agar orang lain memahami, posisi keberadan diri, sehingga tidak mudah melakukan kemunafikan.

Sejak lahir kita sudah diberi identitas oleh orang tua, dengan sebuah nama, nasab orang tua juga bagian dari identitas, dan kondisi kita selanjutnya adalah identitas kita, maka tidak ada yang perlu dirahasiakan dalam identitas itu, ia pada hakekatnya sudah menjadi bagian dari keberadaan diri. Identitas diri. Identitas itu, sebenarnya tidak butuh untuk dipertegas, ia adalah bawaan diri. Namun, ia menjadi penting untuk dipertegas, bila untuk sebuah pernyataan dalam hal-hal tertentu, seperti orang yang meragukan kenegaraan kita, maka kita keluarkan KTP, bahwa kita asli Indonesia, dan lainnya.

Bagaimana dalam ibadah, apakah harus dipertegas? Dalam banyak pendapat ulama, dalam ibadah dan ketaatan, dianjurkan untuk menyembunyikan ketaatan kepada Allah, seperti ibadah; puasa, shalat, haji dan lainnya, bahkan kepada keluarga. Untuk menjaga keberadaan diri dari ‘ujub, kecuali saat-saat tertentu, misalkan dalam ibadah puasa, ada seseorang yang mengajak untuk menyantap makanan, sedangkan kita berpuasa, maka dibolehkan untuk mempertegas ibadah kita, bahwa kita lagi berpuasa, “Apabila diantara kalian diundang untuk makan, sedangkan ia berpuasa, maka nyatakanlah, “Inni Shaimun” HR. Muslim.

Pernyataan “Saya Berpuasa”, menurut Imam Nawawi dalam Kitab Syarah Shahih Muslim, adalah sebuah penegasan dan pernyataan bahwa dirinya; berhalangan, udzur, dan tidak bisa mengijabahi. Bila ia diundang kejamuan makan (walimah, dll), dan yang mengundang mengetahui bahwa ia lagi berpuasa, dan undangannya dibatalkan, maka boleh tidak menghadirinya, bila yang mengundang tetap mengharap kehadirannya, maka wajib menghadirinya, karena puasa bukanlah halangan untuk menghadiri undangan tersebut, sedangkan puasanya tidak harus dibatalkan, dan puasa menghalanginya untuk memakan makanan. Imam Nawawi Melanjutkan, yang lebih utama bagi orang berpuasa, bila puasanya menjadikan shahib bait tersinggung, atau berat hati, maka disunnahkan untuk berbuka (ifthar), bila hal tersebut puasa sunnah yang dilakukan, namun, bila yang dilakukannya puasa wajib, maka tidak haram dibatalkan.
 
Mempertegas diri, “Inni Shaimun” juga sebagai penyadar pada orang lain, dan juga kepada dirinya, untuk menahan diri dari melakukan hal-hal yang dilarang. Memberitahukan keberadaan dirinya, bukan lantas disebut pamer, bisa saja ia sebuah ungkapan untuk menolong orang lain untuk tidak berbuat kedaliman. Seperti, si buta membawa lampu di malam hari, bukan kemudian dia mempertegas dirinya agar terlihat buta, tapi agar orang lain bisa melalui jalan tersebut dengan benar, serta agar dirinya (si buta) juga tidak ditabrak. 

Khadim PP. Darun Nun Malang

Gambar: Dunya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar