Senin, 02 Maret 2020

Puisi Korona

(Ratapan, Amarah, Harapan)

Halimi Zuhdy

Ketika puisi hadir dalam setiap wabah yang menebar kematian, bukanlah ia untuk mengambil sorak dalam kesempatan, atau bukan untuk menebar ketakutan, atau pula bukan untuk pamer diri dalam karya yang diciptakan. Seperti puisi (Kasidah) yang dirangkai Dr. Ahmed al-Farisi dalam “Qasidah Korona”, ia berkisah, bahwa setiap zaman selalu datang berbagai virus dengan berbagai jenisnya, virus yang mematikan, seperti Kolera dan Tha'un, tapi Allah juga datangkan berbagai obatnya, walau juga tidak sedikit korban yang telah bergelimpangan.  

كم من وباء قد اتى ثم انقضي # 
كوليلا وأذكر قبلها بعدها الطوعونا

Ia juga berkisah dalam puisinya, dengan menggunakan Kaidah Taf’ilat (Arudh wa Qawafi),  bagaimana virus ini benar-benar membuat banyak orang kwatir, tidak hanya pada satu tempat di Whuhan negara China  tapi berbagai negara yang mulai dirambah. Ia juga berkisah virus ini bermula, kemudian menyebar, dan mengambil nyawa setiap orang yang ditemuinya, bila ia tidak cepat-cepat mengurung dirinya. 

Puisi juga hadir, bagaimana menghindar dari virus yang mematikan ini, sebagaimana bait-bait penutupnya.

الباس قناع الوجه او كمامة # تحميك من عطس تناثر فينا
لاتلمسو وقت التواحم أسطحا # يبقى رذاذ العطس فيها حينا.

Seperti Abu Dzuaib al-Hudzail ketika menuliskan bait-bait puisinya tentang serangan Tha’un di daerah Amwas, yang pernah penulis tuliskan di Alifcom, Amwas Suatu daerah yang terletak di Pelestina (Syam) pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Dalam catatan sejarah sekitar 25.000 sampai 30.000 ribu orang di Syam meninggal dunia dengan waktu yang sangat cepat. Dan ini wabah terbesar yang menyerang umat Islam dalam sejarah. Abu Dzuaib merana dengan meninggalnya 6 puranya, ia tuliskan dalam bait puisinya, namun ia semua serahkan pada yang Maha Kuasa, Allah subahanahu wat’ala.

Sedangkan Penyair liris Islam Khalil juga merangkai puisi yang berjudul “Korona al-Jazuna”, Siput Koruna. Dalam bait-baitnya, ia mengurai bagaimana menghadapi virus Covid-19 (كورونا جديد). Ia menuliskan dengan bahasa Arab Ammiah, yang juga terdapat beberapa lagu yang mendendangkan puisi ini.

لحلزونة ياما الحلزونة.. أل يعنى كانت ناقصة كرونا
- مرض خطير وملهش كبير ويموّت..لا دا الحكاية كبرت يا ناس واحلوّت

Berbeda dengan penyair Hamdan al-Huwaidari yang menulis puisinya tentang Korona di laman cratersky yang berjudul “Qashidah Korona”, ia memulai puisinya dengan “Hal Ghadba Allah Koruna”, apakah Allah murka dengan datangnya Korona, “Ya alh Ilmi Aftuna”, berikan petunjuk pada kami wahai para ilmuan. Apakah ini murka Allah pada orang-orang yang telah memporak-porandakan gas (emas hitam), mencemari air Amazon, mencabut dan menebang pohon-pohon Zaitun? Puisi amarah ini, seperti ingin tahu apakah gegara meraka yang merusak negeri dengan menggadaikan kekayaannya ke negeri Barat sehingga korona ini menyerang tanpa syarat.

هل غضب الله كورونا  # يا أهل العلم أفتونا

هل حكم الإِنسُ موزونا # مَن دمّر غازك أوزونا

مَن لوّث مَاءك أمازونا # مَن جرفَ جذركَ زيتونا

وطني يا خيراً مسكونا # بالجوفِ نفطكَ مرهونا

بالغربِ طمعاً مجنونا # يا شرّ المشرق أنسونا

للربِّ قدراً مكنونا # بنوره قلبي مفتونا

Mungkin Puisi-puisi Korona dengan berbagai bentuk dan isinya akan hadir, sebagaimana hadirnya Korona ke berbagai tempat, ia seperti mencari orang untuk merangkai zaman ini dengan sejarahnya yang ia ciptakan, Covid-19. Sebagaimana puisi yang ditulis oleh Li Wenliang sebelum kematiannya, bagaimana virus ini sungguh mematikan, walau ia berkabar tentang virus ini, tapi tidak semua orang percaya, ia rela mengorbankan diri, untuk keselamatan banyak orang,

“Ada cahaya di langit!
Pada akhir terang itu adalah surga yang sering dibicarakan orang.
Tapi saya lebih suka tidak pergi ke sana.
Saya lebih suka kembali ke kampung halaman saya di Wuhan.
Saya punya rumah baru di sana.

Malang, 02 Maret 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar