Halimi Zuhdy
Manusia tidak pernah terlepas dari sebuah ikon, bahkan kehidupannya adalah ikon-ikon itu sendiri. Bila berbicara, ikon kata diperhatikan. Sudah dipahami, masih saja diperkuat dengan ikon isyarat. Kadang tidak puas, ikon ia salahkan.
Bila mata memandang, ikonlah yang dicari pertama kali, kemudian mencengkramnya dengan tangan. Tidak cukup, ia ciptakan ikon-ikon baru untuk memastikan keberadaan dirinya, ia ciptakan ikon untuk mengenalkan dirinya pada dunia, bila belum puas, ia bangun ikon terbesar, tertinggi, terlebar bahkan dalam pokirannya 100 ribu tahun ke depan ikon itu akan tetap ada. Dirinya dikenang.
Dalam agama-agama, ikon-ikon itu dicipta, tercipta, atau menciptakan dirinya. Muslim punya ikon masjid, bulan bintang, dan lainnya. Kristen salib sebagai ikonnya. Hindu; Teratai, Swastika, dan Om. Budha punya ikon Dharmacakra, Swastika, dan bunga Teratai.
Demikian dengan negara, ia menciptakan ikon-ikon untuk memperkenalkan dirinya, dan untuk pembeda dengan negara-negara lainnya. Indonesia dengan Monas-nya, Amerika dengan Liberti-nya, Singapore dengan Merlion-nya, Thailand dengan Grand Palace-nya dan ikon-ikon lainnya.
Ikon, indeks dan simbol selalu melekatpada manusia, ia ciptakan untuk lembaga, negara, kekuasaan, politik, dan lainnya. Ikon ia cipta dalam khayalnya untuk sebuah realitas, walau kadang hanya sebagai ikon tak pernah menjadi realita.
Ikon terkadang terlalu disucikan, lupa mengapa ia didesain, bahkan melampaui kesucian Sang Pencipta. Darah menjadi jalan terakhir, untuk sebuah ikon yang nisbi. Bukankah ikon diciptakan untuk menggambarkan, bukan sebuah kehakikian?. Tapi, apakah kehakikian itu akan nyata, bila tidak pernah dibuatkan ikon?.
.
@ Merlion Park マーライオン公園
Tidak ada komentar:
Posting Komentar