Kamis, 27 Desember 2018

Wafatnya Karya Sastra (4)

(Ingatan Yang Tersisa dari Muktamar Sastra Sukorejo)
Halimi Zuhdy

Setiap daerah, wilayah dan negara, memiliki karya sastra, baik; sastra lisan (ada menganggap tradisi lisan), atau sastra tulis. 

Dan ketinggian karya sastra di masing-masing daerah atau negara, dipengaruhi oleh sejauh mana para sastrawannya bergumul dengan kondisinya dan pembacaannya terhadap suatu peristiwa, serta bagaimana para kritikusnya bekerja sebagai Kritikus yang sebenarnya. 

Karya sastra menjadi tidak laku, bahkan ditelan bumi, bila para; penulis, pembaca, dan kritikus sastra tidak lagi berperan sebagaimana mestinya. Atau negara (pemerintah)   yang juga tidak peduli perkembangannya, bahkan justru menenggelamkannya, dengan cara tidak menghargai para sastrawannya dan karya sastranya. 

Ketidak kekalan sastra, juga, karena tidak merawat bahasanya sebagai media sastra, hilangnya bukan hanya dipengaruhi oleh sebuah moderniasi, tapi kadang ada unsur kesengajaan, ini yang terjadi dengan tulisan bahasa Melayu, yang juga berdampak pada sastranya. Seperti kata Maman, bahwa kesusastraan Melayu yang ditulis dengan huruf Jawi (Pegon) yang tumbuh semarak di berbagai kesultanan pada abad ke-17 dan ke-18 dengan menghasilkan sejumlah mahakarya, seperti terpinggirkan oleh kesusastraan yang ditulis dengan huruf Latin yang tersebar melalui pemuatannya di berbagai surat kabar. 

Sastra Melayu mengalami perubahan luar biasa, dengan huruf Latinnya, karena Belanda dengan alat cetaknya menggunakan huruf Latin, demikian juga di berbagai lembaga pendidikan dan pemerintahan, sedangkan para penulis sastra Melayu (yang kebanyakan adalah Ulama Nusantara) tersingkirkan, karena mereka masih terbiasa menulis dengan huruf Arab Melayu (Pegon/Jawi), Demikian kata Maman. 

Sehingga menurut Maman, Naskah-naskah yang ditulis dengan huruf non Latin, tiba-tiba senyap dan hanya bertahan dilingkungan mereka sendiri (pesantren-pesantren dan terkesan eksklusif), dan saat itulah masa awal penenggelaman tradisi penulisan Arab-Melayu (pegon). Dan kemudian lahir penulis yang tidak lahir dari sastra melayu, hanya bermodalkan membaca dan menulis huruf Latin, sehingga bentuk syair dan pantun dengan versi mereka.

Sastra Melayu dengan tulisan pegon di berbagai pesantren dan lembaga pendidikan mulai tidak laku, bahkan dikesankan sebagai sastra agama saja, dan naifnya, Belanda dan diteruskan dengan penguasa selanjutnya, menyiarkan "Bagi yang tidak bisa (membaca atau menulis) bahasa Latin, dianggap buta huruf", gerakan ini sangat masif sekali. Sehingga banyak yang sudah bisa membaca dan menulis bahasa Pegon (Arab-Melayu), dianggap buta huruf. Disinilah keberhasilan Belanda (penjajah), mengurangi peran Ulama Nusantara, dan juga para sastrawannya yang menggunakan alat bahasa pegon tersebut. 

Maka, Karya sastra (sastra itu sendiri), akan terus bertahan, bila penulis, pembaca dan para kritikusnya serta ( pemerintah) juga mampu menjaganya.

23 Desember 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar