Rabu, 19 Desember 2018

Ulama dan Sastra (1)

(Catatan Sederhana Menuju Muktamar Sastra Situbondo)
Halimi Zuhdy

Sastra selalu menarik dibincangkan, kapan pun dan dimana pun. Hidup tanpa sastra, bagai kopi kehilangan rasa pahitnya.

Sejarah manusia, tidak pernah lepas dari sastra (dengan istilah yang berbeda-beda), bahkan kehebohan Arab Jahiliyah juga tidak bisa lepas dari sastra, bagaimana sastrawan-sastrawa Arab  Jahiliyah menguasai jantung Arab pada waktu itu, sehingga mereka dianggap dewa atau Tuhan. Dan mereka berkelindan dengan sastra, dengan hari yang paling ditunggu di "Suqul al-adab".
Walau sempat terjadi inkhitat (kemunduran) karya sastra Arab (puisi), karena datangnya Al-Qur'an,  dan Al-Qur'an sendiri langsung menghujam perih ke jantung mereka,  untuk melawan satu ayat saja, namun tiada satu dari mereka pun yang berkelas untuk menyainginya. Bahkan mereka takluk bersyahadat. 


Tapi, di sisi lain, kehadiran Al-Qur'an membawa tantangan besar pada sastrawan Arab Jahiliyah, untuk melawannya, sehingga beberapa penyair membuat tandingan, seperti Musailamah Al-Kadzab, yang terkenal dengan Syair Kataknya. Ia menarik muslim yang imannya masih labil, untuk mendengarkan puisi kataknya. Dan menjadi murtad. 

Walau Al-Qur'an hadir dengan keindahan kata dan isinya, namun manusia tidak pernah lelah untuk selalu membuat kata-kata indah, dengan kedalaman isinya, sehingga lahirnya para sastrawan Arab Shadrul al-Islam, Umayah, Abbasiyah, dan sampai hari ini. Dan mereka, tidak sedikit yang menyandang gelar ulama. 

Kalau kita perhatikan dan kita membaca literatur tentang ulama, mereka (yang kita sebut dengan ulama), ternyata banyak, bahkan mayoritas dari mereka juga seorang sastrawan (walau kita tidak menyebutnya sastrawan, atau penyair), Tetapi karena kefaqihan mereka (lebih banyak mengarang kitab fiqih, misalnya), maka mereka disebut ahli fiqih bukan sastrawan, seperti Imam As-Syafi'i, selain menulis kitab fiqih, beliau menulis karya sastra (sehingga terkumpulah Diwan As-syafi). Dari kecil beliau sudah menghafal sastra Suku Hudzail, sehingga kedalaman sastranya sungguh luar biasa. Bahkan Al-Jahidz (T. 225.H) benyebut beliau sebagai Imam Sastra. 

Ulama masa lalu, tidak hanya ahli dalam satu bidang ilmu, tetapi mereka banyak menguasi berbagai bidang ilmu (Fisika, Falaq, kimia, dll), namun karena lebih menonjol satu dari kelimuan lainnya (dari bidang yang mereka lebih banyak menuliskannya) sehingga di kenal dengan Ulama fiqih, misalnya.
Ulama Nusantara juga demikian, banyak dari mereka menulis karya sastra:, Nadham, Qashaid, dan lainnya. Sehingga Sastra bukanlah sesuatu yang asing bagi para ulama, apalagi di dunia pesantren, yang materi kelimuannya (al-mawad al-dirosiah), banyak ditulis dengan seni puisi Arab (menggunakan Arudh qawafi). 

Demikian juga, judul kitab-kitab fiqih yang ditulis para ulama, tidak sedikit yang bersastra (kalam baligh); seperti, Safinatun Najah, Rahmatul Ummah Fi iktilafil Aimmah, Mizanul Qubro, Sullam al-Taufiq, al-Ghayah wa Taqrib, Taqrib, Fathul Al-Qorib, Kasyifatus Saja, Fathul Mu'in. Belum lagi, judul kitab-kitab yang lainnya, ilmu kalam, ushul fiqih, ilmu al Qur'an dan lainnya. 

Maka, ada yang mengatakan, syarat jadi ulama adalah memahami "sastra", mengapa? Karena al-Qur'an adalah kitab yang diturunkan dengan nilai-nilai sastra tertinggi (bukan kitab sastra lo. He). Bagaimana ia memahami  Al-Qur'an dengan kalam Baligh (sastrawi), kalau ia tidak memahaminya dengan ilmu Balaghah (di antaranya). He. 

Perhelatan Muktamar Sastra kali ini sangat istimewa, selain tempatnya di pesantren, juga banyak dihadiri oleh Pakar sastra, sastrawan,  dan para masyaikh. 


19 Desember 2018
Di atas bis, perjalanan menuju "Muktamar Sastra" Sukerejo (Malang-Situbondo).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar