Kamis, 27 Desember 2018

Sastra, Selalu Hadir (3)

(Catatan Sederhana di Muktamar Sastra Sukorejo)
Halimi Zuhdy

Sastra selalu bermuatan ediologi, kalau sastra tak ber-ediologi, ia hanya semacam anyaman senyap, haru-biru, dan bunga semata. Walau keindahan tetaplah menjadi bagian dari sastra, tetapi, apakah hanya cantik, tapi tak sholehah. 

Ediologi, semacam pesan kuat untuk memberikan suatu perubahan, apakah itu ideologi kemanusiaan, ketuhanan, nasionalisme, atau apapun.


Dan sastra selalu hadir dalam situasi dan kondisinya. Ketika masa penjajah, ia datang dengan sastra perlawanan. Ketika banyak orang  dikoyak, hadir sastra humanisme. Maka, ia hadir sesuai dengan konteksnya, tidak pernah cukup melihat teks sebuah teks,  tanpa kehadirannya yang menyertainya.
Menurut Maman, puisi yang baik adalah puisi yang ditulis dengan baik, bukan puisi toilet. Puisi baik, puisi yang benar-benar hadir, bukan hanya diawang-awang, memoles kata, tapi tak punya makna.
Seperti Hamzah Fansuri, dengan metafor yang hangat, pesan yang kuat. Maka, kata Maman, selain Hamzah membawakan puisi indah, dengan pesannya penuh hikmah, ia juga datang sebagai seorang intelek. 

Seperti kehadiran Islam, ia tidak hanya datang bertandang dari pedagang, dan tidak hanya untuk transaksi ekonomi, tapi mereka juga membawa sastra (puisi), seperti Hamzah Fansuri yang mengubah bahasa Parsi dan bahasa Arab dengan bahasa melayu (pegon), apakah Hamzah Fansuri biasa-biasa? 

Pastilah tidak, karena karya sastranya tersebar di kerajaan, dan dibacakannya. Dari sanalah Islam  berkembang, ia hadir tidak dengan kekerasan, ia hadir dengan perdamaian, dan akrab dengan bahasa budaya Nusantara. 

Ketersebaran Islam cukup cepat, dan ini yang banyak mengilhami sastra melayu, kemudian hadir; hikayat, syiir, qisah, dan karya lainnya. 

Islam dan Sastra Melayu, juga bahasanya, memiliki ikatan kuat, bahkan 4rb   bahasa Melayu diambil dari bahasa Arab. Karena keakraban inilah, di antara sebab Bahasa Melayu dipilih menjadi bahasa Indonesia, selain faktor lainnya. 

Apakah bersastra bebas ediologi, dan sastra hanya untuk sastra? Pastilah tidak. Setiap orang menulis karya sastra, ia punya pesan, kalau tidak ber-pesan apakah masih disebut sastra?. Maka, sastra yang baik, adalah sastra untuk kebaikan. 

Sukerejo, 20 Desember 2018
Ditulis di belakang panggung, setelah membaca puisi dalam penutupan Muktamar Sastra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar