Kamis, 27 Desember 2018

Sastra Pesantren (2)

(Catatan Ringan di Muktamar Sastra Sukorejo)
Halimi Zuhdy

Hadirnya para pakar sastra dengan membincang sastra pesantren di Muktamar Sastra, membawa angin segar, khususnya bagi sastrawan yang belum banyak tahu seluk-beluk sastra pesantren, atau bagi peserta muktamar yang belum pernah mendengarnya. 

Sastra Pesantren diulas apik oleh empat nara sumber; Prof. Dr. Abdul Hadi MW, Ahmadun Yosi Herfanda, R.M. Ng. KH. Agus Sunyoto, KH. Imam Azis. 

Misalnya Ahmadun Yosi, melempar wacana konstruksi dan Revitalisasi Sastra Pesantren, karena sastra pesantren, menurutnya, masih menghadapi persoalan kompleks, baik persoalan konsep dan pengertiannya, maupun corak estetiknya dan wilayah tematiknya. 


Sastra pesantren, masih menimbulkan banyak pengertian, apakah sastra yang lahir di pesantren, atau yang hanya ditulis oleh santri, atau sastra yang bermuatan keislaman (releguitas) saja, atau sastra tentang pesantren walau tidak ditulis oleh santri, atau bagaimana.Maka, hal ini membutuhkan pengertian yang jelas, sehingga kelahirannya juga dapat dipandang dan dikatagorikan sastra pesantren. 

Bila belum ada pengertian khusus, dan belum jelas, maka sastra pesantren, tidak akan menemukan formulanya. Maka, penting untuk dilakukan konstruksi dan revitalisasi Sastra pesantren.
Berbagai bentuk sastra yang berkelindan di pesantren, misalnya; tembang, syiir, nadzoman, hikayat, serat,  kisah dan lainnya. Hikayat, menurut Prof Abdul Hadi, adalah sebutan umum untuk karangan naratif, baik prosa maupun puisi, dengan jenis yang beragam. Dan hikayat inilah yang banyak lahir dari pesantren. 

Menurut Prof. Abdul Hadi, seharusnya Pesantren, juga menciptakan hikayat sendiri dengan gaya sendiri yang kemudian dipopulerkan diberbagai pesantren, seperti hikayat Muhammad saw, tidak hanya membaca: Burdah, Barzanji dan lainnya. Yang Hikayat Nabi Muhammad, dari awal penyebaran Islam di Nusantara, menjadi hal terpenting, karena tanpa mengetehui sosok idola, sulit Islam tersebar dengan baik, maka disinilah pentingnya membacakan hikayat (sirah), atau membuat hikayat Muhammad.

Dengan Muktamar Sastra  di Sukerejo ini, banyak harapan untuk dapat melirik kembali, mengulas kembali, menumbuhkan kembali, bahkan mengembalikan kejayaan sastra Pesantren dengan formula-formula baru, yang mungkin disesuaikan dengan zamannya, untuk juga dapat berkiprah di era Revolusi Industri 4.0 Sastra tidak pernah lahir dengan sendirinya, tanpa kelahiran orang-orang yang peduli terhadapnya. 

Maka, kata Prof Abdul Hadi, "Sebelum lahirnya karya-karya besar, di negeri mana pun di dunia ini, tentu di dahului oleh maraknya perkembangan sastra atau kegiatan penulisan yang memungkinkan munculnya tradisi sastra yang kokoh dan mantap, tidak mungkin serta merta lahir pengarang-pengarang besar seperti di Aceh pada abad 17 M". 

Sukerejo, 20 Desember 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar