Kamis, 27 Desember 2018

Dipertemukan Puisi (5)

(Kenangan Yang Tersisa dari Muktamar Sastra Sukorejo)
Halimi Zuhdy

Dulu, ketika baru menjadi warga Facebook, saya suka menulis puisi, hampir dua hari sekali, dan dikirimkan keberbagai grup dan blog. Mungkin, ceceran puisi-puisi itu kalau dikumpulkan sekitar 400 judul puisi, baik yang berbahasa Indonesia dan berbahasa Arab. 

Puisi yang berbahasa Arab, akhirnya punya tempat sendiri di www.sastrahalimi.blogspot.com dan grup FB Toriqot Sastra, serta bergabung dengan grup Multaqa Syiir Arab, sedangkan beberapa puisi berbahasa Indonesia termaktub di www.jendelasastra.com, www.halimizuhdy.com, dan www.sastraindonesia.com dan beberapa puisi dimuat di koran lokal dan nasional. 


Dan juga termatub dalam 10 antologi puisi, "Tuhan Tak Ada Kata Cinta UntukMu", "Berguru Pada Sajak", "Negeri Tikus" dan lainnya. Sisanya, entah kemana. He. Dan juga Pada tahun 2009 dan 2010 masih gencar-gencarnya menulis puisi, saya pernah menulis  puisi "Dzikir", beberapa minggu setelahnya, masuk ke pesan Facebook saya, beberapa puisi, di antaranya berjudul, "Dzikir" dari Kyai R. Ahmad Azaim Ibrahimy yang masih  thalab ilmi di Makkah Al-Mukarromah, 

Dzikir
(Retro Sajak Halimi Zuhdy, Malang 2002 M.)
Sahabat...
engkau terlena dalam sekapan malam
engkau hembuskan nafasmu dengan pelan-pelan
tuk mengungkap rahasia keagungan-Nya
darahmu mendidih
badanmu gemetar
ketika kalimat-Nya dilantunkan
Sahabat...
engkau pun bergumam,
"Sang Penguasa cinta
aku tak dapat membendung lautan air mataku
yang terus mengalir bersama kalimat-Mu!"
Sahabat...
cintamu hanya untuk-Nya
cintamu abadi pada-Nya
engkau tenggelamkan segala hawa nafsumu
untuk menembus tabir-tabir cinta-Nya
dzikir khafi
dzikir jahri
dzikir jali
menyelimuti jawamu
Sahabat...
dapatkah kita meraih cinta-Nya
dengan lumuran dosa-dosa?
dapatkah kita mengambil kasih sayang-Nya
dengan tangan yang kotor?
dapatkah kita melihat keagungan-Nya
dengan mata penuh kemaksiatan?
Makkah, 2010 M.
Saya merasa tersanjung, karena puisi itu sampai ke Makkah. He. Dan dengan puisi itu, yang kemudian saya mencari tahu siapakah beliau. Beberapa tahun kemudian, ustadzah  Hanum menghadiahi buku puisi, "Jalan Ini Rindu" dan tertulis di atasnya,  Sang penulis W.A.A. Ibrahimy, sampulnya bergambar foto beliau, yang tidak asing di FB. Kemudian, saya buka lagi pesan puisi bebeberapa tahun silam, ternyata beliau  adalah  Pengasuh P.P Salafiyah Syafiyah Sukorejo. Dan pada Muktamar Sastra Sukorejo, puisi itu mempertemukan saya dengan Hadratihi. Alhamdulillah. 

Ketika mendengar Muktamar Sastra akan dilaksanakan di Sukorejo,   saya langsung mengingat puisi beliau yang berjudul, "Untuk Tanah Leluhur" yang juga menjadi pijak tanah saya Madura,
Tulus seharum mayang
rela sepasrah talon kerontang
di musim angin dan gelombang
Madura, aku tak sempat menjadi tanahmu
aku tak sempat menjadi airmu
aku tak sempat menjadi langitmu
namun aku hurufmu yang terbaca
nafasku, denyut nadiku, kedip mataku
rambut sampai telunjuk jariku
adalah juga madu dan darahmu
yang diperas dari keringat sejarah
aku madu ketika engkau madu
dan akupun darah ketika engkau darah
di telapak waktu
menapak sajak haru biru
ketika lautmu terbelah jembatan peradaban
kepulauanmu bertabur biji-biji industri dan kecemasan
siapa menyangkal, aku siapkan akal
siapa merasa besar, aku siapkan kata pengkar
melawan, aku lawan
mengalah, aku anggap sudah
celuritku teracung-acung
dari semangat membusung
di setiap denyut darahnya
ada titisan darah pejuang!
WAA. Ibrahimy
Makkah, 1 Mei 2004 M.

Maka, di Muktamar Sastra itulah juga dipertemukan oleh Puisi dengan Raedu Badrus Shaleh, yang sebelumnya juga sudah bermesra di Malang dengan Hadrah Kyai-nya, dan juga dengan Sosiawan Leak, yang sebelumnya juga pernah bertemu di UIN Malang, yang asyik pula bertemu dengan Ustadz Zainul Walid sang penggerak sastra di PP. Salafiyah Syafiiyah, juga dipertemukan Puisi dengan banyak penyair dari Sabang sampai Merauki di acara Muktamar Sastra Sukorejo, yang namanya tidak bisa saya sebutkan satu-satu, tapi Insyallah selalu di hati. He

Kemeriahan Muktamar Sastra Sukorejo, juga mengingatkan saya dan bernostalgia dengan para penyair dari beberapa negara, yang waktu itu acara "Festival Puisi Internasional" pada tahun 2012, dengan tema, "What's Poetry",  saya juga membacakan puisi "Syauq" bersama beberapa penyair:  D. Zawawi Imron, Mbali Bloom, Chirikure Chirikure, Mahendra, Hagar Peeters, Ulrike Draesner, Y. Thendra BP, Gracia Asri, Diah Hadaning, Sujata Bhatt, Rustum Kozain, Bengt Berg, Arne Rautenberg, Vonani Bila, W. Haryanto, Nikola Madzirov, Charl-Pierre Naude, Sarah Holland-Bhatt, Hans van de Waarsenberg, Martin Glaz-Serup, Hasta Indriyana, Courtney Sina Meredith, Fikar W.Eda, Nanang Suryadi, Gerdur Kristny, F.Aziz Manna, Samar Gantang.

Banyak cerita, puisi yang sebagai wasilah, mempertemukan saya dengan para sastrawan di  Timur Tengah dan beberapa negara, sehingga beberapa minggu yang lalu dijadikan Duta oleh penyair Internasional Munir Mazyed, sebagai The Ambassadors Of Munir Mazyed Foundation For Art and Culture. Bimasyiatillah. 

Mudah-mudahan Allah selalu memberikan keberkahan dengan pertemuan tersebut, dan Allahlah yang mempertemukan, bukan puisi, he. Judul di atas, puisi sebagai wasilah saja. Dan dapat menambah silaturahim, serta mempererat hubungan rindu antar sesama manusia, sebagai bekal bertemu pada Sang Maha Karya, Allah Azzawajalla 

Malang, 25 Desember 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar