Rabu, 24 Oktober 2018

KECEWA


Halimi Zuhdy

"Ia selalu saya dukung untuk maju, bahkan jam berapa pun ia butuh saya, saya selalu ada untuknya, tapi sekarang seperti kacang lupa kulitnya".

"Yang menjadikan ia seperti itu, saya, mengapa dia sekarang melupakan semuanya".

"Dulu, itu saya yang bangun, sampai megah, sekarang semuanya pada ngaku-ngaku, dan telunjuknya panjang-panjang".

"Aku ini kurang apa, semuanya sudah saya lakukan untuknya, tapi mengapa dia sekarang tega berbuat itu padaku".

"Aku sudah berkorban harta, fisik, dan psikis untuknya, dia sekarang sok, bahkan seperti melukis di atas air".

"Dia dulu saya anggap anak sendiri, bahkan melebihi siapapun, tapi setelah sukses, tak pernah lagi dia mengingatku".

"Dulu saya yang mengusahakan dia untuk dapat beasiswa dan sampai selesai studinya, tapi acara wisuda saya tidak diundang".

"Dulu yang mengangkat dia juga saya, tapi dasar anak tidak tahu diuntung, dia sudah berani mengecewakan saya".

"Dulu organisasi itu kecil, ketika saya pimpin, semuanya berubah luar biasa, dan kamu bisa lihat sendiri, tapi setelah itu, mereka tidak pernah ingat, siapa yang membesarkan".


"Saya mencinyainya melebihi anak saya, tetapi apa balasannya, susu dibalas air tuba"
"Sudah saya sering nasehati, tapi tetap saja seperti itu, tidak sadar-sadar. Apa tak punya otak, ya!!".

"Saya berdakwah puluhan kali, tetap saja mereka bloon dan tidak sadar-sadar, dasar manusia syaithan".

"Saya sudah mengajarinya beberapa kali, tapi otaknya bebal sekali, mungkin orang tuanya tak pernah mendoakan, atau otaknya sudah tumpul".

Kalimat-kalimat kekecewaan sering muncul dalam; hati, ucapan, tulisan, bahkan menjadi curhatan di media sosial.

Mengapa harus ada kecewa, kalau dunia digerakkan oleh Yang punya. Apakah tidak boleh kecewa? jika boleh, apakah dengan kecewa akan menyelesaikan segala sesal dan sedih, tidakkah dengannya akan menjadi penyakit akut.

(Pantaskah Kecewa);
Bagaimana dengan Nabi Nuh AS, ia lebih pantas kecewa, karena berdakwah 500 tahun, yang beriman hanya 70-80 orang, itupun orang orang yang lemah, bahkan istrinya dan anaknya juga mengingkarinya. Tapi, beliau tidak kecewa, bahkan sabar menghadapi kaumnya yang terus menerus menyembah patung-patung berhala bernama; Wadd, Suwa’, Ya’uq, Yagust, dan Nasr. Ia pun, mendapatkan gelar Ulul Azmi. Karena, bukan berapa banyak umat yang harus didapatkan, tetapi setiap usaha adalah pahala di sisiNya, dan beliau mengerti yang memberikan hidayah adalah Allah. Beliau pun tidak kecewa.

Bagaimana dengan Imam Syafi'i ketika mengajari Rabi' bin Sulaiman, maka ia lebih pantas kecewa, bagaimana tidak, Imam Syafii mengulang satu masalah sampai 40 kali, tetao Rabi' juga tidak memahaminya, namun Imam Syafi'i dengan kesabarannya tetap mengajarinya, sampai ia memahami. Imam Syafi'i tidak kecewa.

Apakah ada yang lebih pantas untuk kecewa dari Kholid bin Walid? Ia yang dijuluki pedang Allah (Saifullah), Panglima perang terkemuka, tidak terkalahkan, pemberani, strategi perangnya diakui kawan dan lawan, menjadi Panglima sejak masa Nabi, tetapi ketika Sayyina Umar bin Khattab menjadi Khalifah, beliau yang masih gagah, kedudukannya diberikan kepada orang lain oleh khalifah, yaitu Abu Ubaidah Amir bin Jarrah.

Mengapa ia diganti, apakah ia gagal, atau melakukan kesalahan, atau mungkin berkhianat?. Ternyata, beliau tidak melakukan kesalahan apapun, malah diberhentikan karena Khalid tidak terkalahkan.
Disinilah kecerdasan sang khalifah, diberhentikannya untuk memberikan pembelajaran kepada semuanya, bahwa Allahlah yang memberikan kemenangan, kekuatan, kekuasaan dan kehebatan.
Apakah Walid kecewa, tidak sama sekali, bahkan ia juga ikut berperang berada di belakang panglima perang baru, Abu Ubaidillah.

Mengapa kadang harus ada kecewa dalam setiap langkah yang diambil, setiap sesuatu yang diperjuangankan, segala yang diberikan pada orang lain, bahkan mengeluh dan tidak berhenti membicarakan kebaikannya kepada orang lain, mungkin karena ia melakukannya, tidak murni karena Allah. Sehingga, kekecewaan itu muncul, karena ada harapan besar dari orang lain, berupa pujian, hadiah, kedudukan dan lainnya.

Sebesar apapun perjuangan, setinggi apapun cita-cita, dan sehebat apapun harapan, dan kemudian tidak sesuai dengan yang diinginkan, disanalah ujian, bukankah pahala Allah akan tetap diberikan. Dan, bukankah Allah melihat kemurnian dan usaha seseorang, bukan pada hasilnya? Karena hasil adalah bagian dari Taqdir Allah. Seperti Muballigh (hanya menyampaikan), seperti Da'i (hanya mengajak), bukankah yang memberikan hidayah adalah Allah?. Tapi, semuanya akan kembali kepada, "Tidak ada usaha yang sia-sia", maka tidak usah kecewa. Walau ada kekecewaan itu kadang manusiawi, tapi apakah dengan kecewa semuanya menjadi selesai? Allah 'Alam

Allah berfirman:
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu mencintai sesuatu, padahal itu amat buruk bagimu. (Mengapa?) Allah maha mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Albaqarah: 216).

"Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (darjatnya), jika kamu orang-orang yang beriman". (Ali Imraan : 139)
Dan dalam ayat yang lain, "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya………." (Al-Baqarah : 286)

Malang, 23/10/2018
PP. Darun Nun Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar