Halimi Zuhdy
Sulit dipercaya, tapi itulah nyata. Debur ombak bagai alunan musik klasik, yang menyapa telinga tuk mengkantuk. Gemercik airnya, dirindu si pecandu gerimis. Sapaan anginnya, membuat kepayang, tak ingin menghindar, lembut seperti berbisik.
Di kampung Ayer inilah, keunikan kurasakan, manusia tidak mau didaratkan, walau darat adalah awal tumpah darah insan. Mereka, 30.000 penduduk, asyik masyuk, hidup mati, susah senang, berada di sebuah kampung air, di atas air, gelombang yang menyapa, seperti hanya desiran angin cinta.
Sudah 1.300 tahun, tempat ini dihuni, di sinilah peradaban Brunai menjadi gambarannya. Tempat ini, terluas se Asia Tenggara bahkan terbesar di dunia, sebuah tempat yang dihuni oleh manusia. Kini, kampung ini dilengkapi, masjid, restoran, warung, rumah sakit dan lainnya, anak-anak pun bermain begitu riang. Sungguh, unik dan nyata.
Setelah Shalat Isyak, perahu yang membawa kami, melesat cepat, menuju kampung Ayer, tak terasa ruang-ruang waktu begitu kilat, air akrab dengan darah kami, angin menyapa malam, terdengar suara ikan dan kucing berkecipak, suara pujian yang mederak, suara musik dangdung pun merayap ditelinga, tapi kampung ini sepi senyap, mungkin karena petang, tapi sepertinya inilah gambaran Negeri ini, tak banyak berbincang dengan orang, tak ada gerombolan manusia, tak ada pulai warung-warung berpesta kopi, asap-asap pun tak menyapa awan. Senyap... Senyap.
Kampung Ayer ini memberi kesan tersendiri, ia seperti mengajarkan pada kami, bahwa hidup itu pilihan, air atau tanah, seakan-akan mereka menyata "Biarkan kehidupan kami, berselimut ombak, didera angin, tapi di sinilah kebahagiaan itu kami dapat, Maka janganlah kau melihat kami sengsara, kami orang paling bahagia, karena angin, air, dan api selalu menyapa, walau pada akhirnya tanahlah tempat tidur tampa nyawa kita".
Kampug Ayer, 20/2/2018
https://www.instagram.com/p/BftN3czHWim/
https://www.instagram.com/p/BftN3czHWim/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar