Halimi Zuhdy
Akhir-akhir ini, diberbagai tempat, setiap jengkal jalan, yang saya lalui, selalu saya temukan “Polisi Tidur”, bahkan “ia” tidak lagi rendah, tapi sudah sangat menggangu perjalanan.
Kira-kira tanda apakah “polisi Tidur” itu, apakah hanya alat untuk memperlambat pengendara mobil atau motor, atau ada sesuatu di balik semakin maraknya pemasangan polisi tidur itu.
Setelah saya coba merenung, itu sangat terkait dengan prilaku dan akhlaq masyarakat pengendara dan masyarakat pemakai jalan tersebut. Kenapa harus ada polisi tidur? Karena sudah tidak lagi peduli dengan keselamatan orang lain, atau bahkan dirinya, atau kecepatan yang tidak terkontrol sehingga banyak orang mengalami kecelakaan. Kemudian diberiperingatan disepanjang jalan, dengan tulisan “harap pelan-pelan”, tetapi juga di _labrak_, ini menandakan bahwa bahasa tulisan sudah tidak dipedulikan, peringatan apapun sudah diabaikan, apakah tidak bisa membaca? Saya yakin, pasti bisa, namun sudah abai.
Ditambah lagi dengan tulisan “ngebut benjut”, tapi tulisan itu pun seperti angin lewat, pengendara masih saja abai, sama dengan tulisan “hanya anjing yang kencing di sini”, “hanya sampah masyarakat yang membuang sampah di sini”, itu adalah kemarahan masyarakat yang terganggu dengan sesuatu yang dilanggar, berarti tanda apakah itu, ketika banyak yang sudah tidak peduli dengan lingkungan, keselamatan, kesehatan, keindahan, keamanan, dan lainnya. Kenapa harus ada kata-kata yang begitu menghentak?
.
Aturan demi aturan dilanggar, peringatan demi peringatan diabaikan, berarti ada yang sakit dengan masyarakat tersebut, sehingga karena masyarakat sekitar jalan itu terganggu atau sering terjadi kecelakaan, maka jalan terakhir adalah dipasang “polisi tidur”, dilambatkan paksa, dihentikan paksa, karena sudah tidak peduli dengan peringatan dan kata-kata. .
Aturan
dibuat, seringkali karena ada masalah, maka semakin banyak peraturan,
menandakan semakin banyak masalah atau pelanggara yang dilakukan.
Apakah boleh membuat “polisi tidur”? boleh dengan syarat tertentu (itu pun tidak seperti yang saya temukan dalam berbagai tempat, membahayakan), tetapi pada dasarnya ada larangan dari pemerintah Pasal 274 menyebutkan “setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan atau gangguan fungsi jalan” seperti yang dimaksud dalam pasal 28 ayat 1 dapat dipidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 24.000.000. Yang salah pembuat polisi tidur atau pengendara yang terlalu cepat dan abai peraturan?
Berarti ada dua tanda di sini, “polisi tidur” dan masyarakat pengguna jalan, serta masyarakat yang berada di sekitar polisi tersebut. Kira-kira ada apa dengan masyarakat pengguna dan pembuatnya?. Atau dengan zaman yang sudah berubah, semua serba terburu-buru, serba cepat, serba instan walau sebenarnya itu tidak baik dilakukan.
Louis Hjelmslev, ber-madzhab Saussurean, berpendapat; bahwa sebuah tanda tidak hanya mengandung hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya. "Polisi Tidur" dibuat bukan hanya gundukan tanah yang berada di atas jalan, tapi ia juga bagian dari cerminan masyarakatnya. Seperti celurit dan keris, orang Madura meletakkankan senjatanya depan, dan orang jawa meletakkannya di belakang, tanda apakah?. Silahkan diabalisis. He. _Allah 'alam bishawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar