Halimi Zuhdy
(Kajian Ramadhan 3)
Setiap ayat dalam al-Qur’an, selalu memberikan mutiara tiada henti; indah dilihat, enak dibaca dan membuat hati bahagia dalam mengkajinya. Ayat yang sering diulang-ulang ketika bulan Ramadhan adalah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
(Kajian Ramadhan 3)
Setiap ayat dalam al-Qur’an, selalu memberikan mutiara tiada henti; indah dilihat, enak dibaca dan membuat hati bahagia dalam mengkajinya. Ayat yang sering diulang-ulang ketika bulan Ramadhan adalah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkanatas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah:
183)
Dalam Ilmu Balaghah dan Ilmu Nawwu, kalimat yang tidak disebutkan pelakunya (pasif) ada beberapa sebab di antaranya: karena sudah diketahui, untuk memuliakan, untuk menjaga dari hinaan, atau untuk menyamakan dengan sebelumnya, atau tidak penting untuk disebutkan, serta untuk menghinakan, juga Menurut Imam as-Suyuti untuk meringkas. Kira-kira yang ada di dalam ayat di atas bermakna apa? Untuk menentukan, kita harus melihat konteks Ayatnya dulu, namun di sini, penulis tidak membuat makalah, hanya ringkasan saja, maka penulis mengambil beberapa contoh saja.
Menggunakan pasit terkadang terkait dengan kesulitan, kemasyakkatan, kesusahan dan kewajiban, dan kata aktif_selalu digunakan untuk menampakkan kebaikan-kebaikan, atau pelaku yang terkait dengan kebaikan-kebaikan, Pasif Seperti zuyyina linnasi hubbusysyahawat, atau kejelekan yang tidak pantas untuk diriNya (utuu al-kitabah) berbeda dengan kebaikan (ataina hum al-kitaba). Demikian dalam kesulitan dan kewajiban menggunakan kutiba bukan _katabna_. Sedangkan dalam kebaikan-kebaikan selalu menggunakan aktif (menampakkan diri, pelaku) seperti dalam surat al-Maidah (21), al-Mujadalah (22), al-An’am (12), al-A’raf (156). Yang menggunakan _katabana_yang terkait dengan kesulitan, kemasyakkatan, atau kewajiban al-Maidah (45). Demikian pula dalam penggunakan kutiba ‘ala dengan kutiba li, yang pertama terkait dengan kemasyakkatan, kesulitan dan kewajiban, sedangkan _kutiba li_ terkait dengan kebaikan-kebaikan, seperti; illa kutiba lahum amalun shaleh (at-Taubah; 120), (an-Nisa’;127), (at-Taubah;121).
Dalam Ilmu Balaghah dan Ilmu Nawwu, kalimat yang tidak disebutkan pelakunya (pasif) ada beberapa sebab di antaranya: karena sudah diketahui, untuk memuliakan, untuk menjaga dari hinaan, atau untuk menyamakan dengan sebelumnya, atau tidak penting untuk disebutkan, serta untuk menghinakan, juga Menurut Imam as-Suyuti untuk meringkas. Kira-kira yang ada di dalam ayat di atas bermakna apa? Untuk menentukan, kita harus melihat konteks Ayatnya dulu, namun di sini, penulis tidak membuat makalah, hanya ringkasan saja, maka penulis mengambil beberapa contoh saja.
Menggunakan pasit terkadang terkait dengan kesulitan, kemasyakkatan, kesusahan dan kewajiban, dan kata aktif_selalu digunakan untuk menampakkan kebaikan-kebaikan, atau pelaku yang terkait dengan kebaikan-kebaikan, Pasif Seperti zuyyina linnasi hubbusysyahawat, atau kejelekan yang tidak pantas untuk diriNya (utuu al-kitabah) berbeda dengan kebaikan (ataina hum al-kitaba). Demikian dalam kesulitan dan kewajiban menggunakan kutiba bukan _katabna_. Sedangkan dalam kebaikan-kebaikan selalu menggunakan aktif (menampakkan diri, pelaku) seperti dalam surat al-Maidah (21), al-Mujadalah (22), al-An’am (12), al-A’raf (156). Yang menggunakan _katabana_yang terkait dengan kesulitan, kemasyakkatan, atau kewajiban al-Maidah (45). Demikian pula dalam penggunakan kutiba ‘ala dengan kutiba li, yang pertama terkait dengan kemasyakkatan, kesulitan dan kewajiban, sedangkan _kutiba li_ terkait dengan kebaikan-kebaikan, seperti; illa kutiba lahum amalun shaleh (at-Taubah; 120), (an-Nisa’;127), (at-Taubah;121).
Demikian juga. dalam Al-Qur’an kita banyak menemukan kata kataba,
namun yang bermakna diwajibkan, atau mewajibkan yang diikuti kata ‘ala (علي,) dan satu ayat yang tidak
menggunakan 'ala yaitu kitaban
mauqutan. Dan yang menarik ada satu ayat _katabah Allah ala nafsihir
rahmah_ yang bermakna Allah “mewajibkan” atas diriNya Rahmat. Disini bisa
berarti Allah telah mewajibakan Rahmat bagi orang yang telah melakukan
kewajiban puasa (Deden M) "Kutiba" digunakan dalam beberapa ayat,
karena curahan rahmat Allah yang luar biasa. Selain puasa, yang diwajibkan
dengan menggunakan kata “kutiba” adalah tentang Qishash (QS al-Baqarah: 78),
Wasiat (QS al-Baqarah: 80), dan Perang (QS- al-Baqarah: 216). Ini, karena
ketiganya, sama halnya dengan puasa, diwajibkan sebagai bukti dekatnya rahmat
Allah. Oleh karenanya, dalam Qishash, dijelaskan cara memaafkan, dijelaskan
pula bahwa di dalam Qishash ada kehidupan. Demikian pula dalam Wasiat dan
Perang. (Samar an-Nudz dan Deden Muhammad). Dan ada pula yang berpendapat,
menggunakan “kutiba”, karena wajibnya puasa itu sendiri bagi manusia, dan
sangat penting dalam menjaga kesehatan dan pertumbuhannya. Walau pun tidak
diwajibkan oleh Allah sebagai pengatur manusia, seharusnya sudah menjadi
kewajiban manusia untuk menunaikan ibadah puasa, karena pentingnya puasa dalam
kehidupan seseorang.
Rujukan: Al-Qur’an, Lamasat Bayaniyah, Asror Ayatushiyam
Halimi
Zuhdy: Dosen Bahasa dan Sastra Arab UIN Maualan Malik Ibrahim Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar