Seuntai Kata : “Tak Seindah Puisi”, Katamu!
Puisi lahir dari imaji-imaji yang berkeliaran, juga lahir dari realitas-realitas sekitar yang diwarnai dengan khayal.
Kata-katanya; kadang kaku walau tidak beku, kadang cair meskipun tidak mencair.
Ia selalu hadir dalam lintasan senjarah, menjadi juang walau tidak pernah berjuang, menjadi senjata walau tidak mampu mematikan, atau hanya menjadi teman dalam sepi bagi
yang selalu merasa kesepian. Ia selalu unik dalam kehadirannya.
Puisi, tidak sebatas kata yang diikat kalimat, dipoles dengan titik dan koma, yang menjadi bait-bait indah disanggul larik,
yang liriknya membariskan
rasa, membuat prasa sendiri dalam tubuhnya. Fisiknya; kadang kurus, kadang gemuk, terkadang sedang. Kurus, gemuk dan sedang tidak membuatnya harus
diet, tambah makana pala ginutrisi,
ia selalu menjadi dirinya sendiri.
Ia memliki cara gaya yang berbeda; metafora,
simile,
personifikasi,
litotes,
ironi,
sinekdoke, eufemisme,
repetisi, anafora,
pleonasme,
antitesis,
alusio,
klimaks,
antiklimaks,
satire,
pars pro toto,
totem pro
parte, hingga paradoks.
Rimanya berkelindan di antara huruf huruf, bermusik ria antara kata; di
awal, di tengah, kadang di akhir. Terserah ah, di mana pun ia suka intuk
berima. Karena dalam puisi tak ada paksaan, apalagi harus dipaksa, ia adalah
sungai bandang yang bisa menghentak, ia laut yang mampu mesunami, kadang angin
yang semilir, kadang pula kapas yang manut pada angin. Terserahlah!!.
Wajahnya juga berbeda-beda; di awali huruf sanggul, baris, di akhiri titik,
kadang juga koma, atau tanpa titik dan koma.
Kata-kata dalam puisi selalu menjadi pengantin, dari pinangan (diksi) sang
kekasih, menuju pelaminan dengan wajah (tipografi) cantik, malam-malamnya dihias dengan
imaji-imaji (auditif, visual, taktil) cinta. Ketika mentari sudah tanpak,
batinnya memburu; sense (makna), feeling (rasa), tone (nada), dan intention
(amanat).
Antologi puisi Mahasiswa BSA ini hadir dikala kata-kata lagi gersang,
kalimat-kalimat lagi germercik, bait-bait puisi menyepi, menepi, entah
karena tak ada seoggok emas untuk dijual, atau memang rasa sudah tak puitis,
atau memang tak lagi butuh puisi untuk mengalunkan; rindu, cinta, benci, dan
keangkuhan. Saya dikagetkan dengan puluhan judul yang indah, dari mahasiswa
yang lagi menguapkan hasrat untuk bertingkah.
Antologi
puisi ini adalah rekaman peristiwa yang yang menarik untuk dikaji, diteliti,
direnungi, dan diapresiasi. Bagaimana parapenyair mempermainkan kata biasa,
menjadi bernada, dipenuhi nafas makna. Kata-kata mengalir deras dengan deburnya
yang menari, seperti; Ungkapan Cintaku Padamu,Bangkai, Al Farooghu, Senyum Sampul Biru, Jajaran Patah Hati, Aku sang Penari, Rasa Itu mendatangiku, Pencarian, Kehilangan,Sepiku,
dan puisi-puisi lainnya.
“Riuh, Aku ingin sepi, lalu aku pergi, Bising
Aku ingin tenang, lalu aku berlari
Pergi mencari sepi walau suny, Berlari
Menuju tempat tenang, walau keringat membasahi” (Puisi Pencarian)
“Tentang rahasia cinta, cukuplah diam yang
memaknai
Sungguh telah
kugantungkan sepenuhnya di atas atap bumi
Mengharap dari
penguasanya sebuah perhatian
Dan kepasrahan bagi pengharap menjadi keharusan (Puisi
Ungkapan Cinta Padamu)
Puisi di
atas, yang berjudul Pencarian dan Ungkapan Cinta Padamu bagaimana
ia menyepi, menepi, berdiam, tak ada kebisingan dalam hidup, adalah ungkapan
kejujuran sang penyair, untuk menguak rahasia-rahasia keindahan hening dan bening dalam hidup. Puisi, selalu
hadir menguak realita yang tersebunyi, dari kedalam hati, yang kadang tak
diuangkap pada setiap orang, kecuali pada orang-orang tertentu, itu pun “kalau”.
Sepi, bahasa
yang paling nyaman untuk menulis puisi, sepi selalu menjadi karya dalam
baris-baris puisi, seperti puisi Sepiku
sepi
angin
malam lepas membawa semua kenangan
setiap
kata yang terucap seperti tak bermakna
bisikan
bisikan kerinduan semakin bergemuruh (Puisi
Sepiku)
Antologi puisi yang ditulis bersama,
memunculkan banyak karakter, walau berangkat dari tema yang sama, tapi
kesamaannya adalah perbedaan, itulah yang saya tangkap dari antologi puisi ini.
Kesamaan dan perbedaannya adalah romantisme dari antologi ini, seperti “rindu”
dalam bait-bait beberapa penyair, memiliki rasa dan prasa sendiri, walau
ungkapannya kadang berselingkuh dengan ungkapan yang lain, mungkin karena ada
kesamaan rasa di atap yang sama. Seperti puisi;
Rasa,
Malam Terhenti, Kehilangan, Secangkir Kenangan, Sepiku,
Cemburu, Ramadan Karim, Jajaran Patah Hati, dan Ini Cinta.
saat
fajar mulai membiru
Engkau,
betul-betul fasih berucap
"Aku
mencintaimu,
Selamanya."
Ungkapmu
itu,
usai
menidurkan ku
Lama
sekali (Puisi Malam Terhenti)
Selain puisi yang bernada “cinta, rindu, dan rasa”, dalam antologi ini memiliki
nada yang mirip bahkan sama dalam salah satu kegiatan keagamaan, seperti
“puasa” di Bulan Ramdhan. Namun
keragaman bahasa yang terukir, belum mampu membuat garis-garis
kwatulistiwa dalam setiap barisnya, kata-katanya seperti terpaksa muncul,
dipenjara belum waktunya, dipanggang tidak hangus, dimasak tidak mendidih,
puisi yang belum matang untuk dikeluarkan, akan mengalunkan aroma yang kurang
sedap, walau bunga-bunga kata-katanya begitu indah. Puisi yang lahir tanpa
kehamilan imaji, realitas, pengalaman akan melahirkan kata-kata yang prematur.
Ini yang saya dapatkan dari beberapa puisi di antologi ini.
Puisi yang lahir seharusnya melalui
tirakat “panjang”, bagaimana kata disempuh, imaji dimasak, diolah sedemikian
rupa, menjadi puisi yang benar-benar matang. Tetapi, apapun yang telah lahir
dalam antologi ini, adalah sebuah keindahan yang luar biasa, lebih indah dari
taman Keukenhof Gardens, Lavender, Hitachi Seaside park dan Butchart Gardens,
ia suatu sangat akan menghilang, tapi antologi ini akan abadi, selagi waktu
masih mebutuhkan para penyair, dan pembaca adalah zaman yang berkalimat.
Percy Bysche Shelly
seorang penyair berkata,
puisi adalah rekaman dari saat-saat
yang paling baik dan
paling menyenangkan dari pikiran-pikiran yang paling baik dan paling menyenangkan. Rekaman dalam puisi ini, pastilah yang
terbaik oleh parapenulisnya, bagaimana ia menuangkan, meluangkan, menuntaskan,
dan mempermainkan segala ruh dan raganya untuk mencipta setiap kata yang ada.
Seperti puisi Aku dan Mereka, walau kata-katanya sederhana, dan kurang puitik,
tapi memiliki kekuatan dalam makna;
Aku iri pada
matahari/Yang selalu bersinar di siang hari/Tanpa lupa tuk sinari malam hari/
Aku iri pada
malaikat/Yang selalu berbuat/Tanpa mengenal ma’siat.
Aku iri pada bumi/Yang selalu setia berotasi/Tanpa pernah
mengalami migrasi.
Aku iri pada gunung/Yang rela terpasung/Agar bumi tak
terkatung
Aku iri pada air/Yang bisa terus mengalir/Tanpa mengenal
kata berakhir
Aku iri pada
burung/Yang bisa terus membumbung/Tanpa mengenal kata terkungkung
Aku iri pada
kupu-kupu/Yang selalu bisa temukan madu/Tanpa ada tujuan untuk mengganggu
Aku iri pada
batu karang/Yang selalu
menyambut ombak dengan riang/
Aku iri pada
awan/Yang bisa terus berjalan/Tanpa
takut untuk saling bertabrakan
Membaca puisi di atas, tidak
terlalu sulit untuk memahami, ia sudah membaca dirinya sendiri, memahami
dirinya sendiri, dan menguapkan kepada halayak, bagaimana asap kata-katanya
benar-benar memudarkan cermin retak, atau membuat asap sendiri dalam setiap
barisya. Berbeda dengan puisi Hujan, mengapa Engkau Datang?. /Hujan, kali ini begitu berbeda/Untuk apa datang/
kalau hanya menebar dingin/Besok kuharap kau datang melalui pintu yang
berbeda/Bawakan juga baju hangat yang kau janjikan dahulu/. Puisi dengan
kata-kata yang sederhana juga, tetapi ada imaji yang terkantuk dan terjaga di sana,
sang pembaca pasti mau bertanya-tanya Hujan, mengapa Engkau Datang?.
Setiap puisi yang dicipta,
memiliki alasan untuknya, tetapi kadang tidak ada alasan, mengapa ia harus
dicipta. Bagi seorang penyair, kadang tidak butuh mengapa, kapan, di mana, bagaiman
dan lainnya, yang ia butuhkan hanya pena dan lontar, titik. Dalam antologi ini, beberapa penyair,
sepertinya juga begitu, ia lahirkan, bahkan ia aborsikan puisinya untuk sebuah
ketenangan jiwanya, setelah selesai ia biarkan untuk dinikmati bagi yang ingin
meikmatinya, tetapi bagi yang tidak suka, biarkan ia mencari puisi lainnya.
Karena alasan untuk mencipta sepertinya tidak terlalu penting. Seperti puisi Alasan;
Masihkah
perlu alasan/Mengapa
rintik hujan jatuh ke pelukan bumi.
Masihkah
perlu alasan/Mengapa
Waktu malam menggantikan waktu siang atau bahkan sore hari
Masihkah
perlu alasan/Mengapa
ombak bergulung menepi
Masihkah
perlu alasan/Mengapa
daun bergoyang saat angin menerpai
Manusia,
yang ia bisa hanya alasan/Baginya alasan adalah sebuah keperluan
Ia
beralasan saat datang perintah Tuhan/Saat tiba larangan mungkar/Bahkan saat tertimpa ketetapan/ Namun mereka lupa akan nikmatNya/Lupa kejadian tercipta dirinya/Lupa tentang keberadaannya/Lupa segalanya itu tiada/Karena semua yang di ingat itu
prihal dunia/Padahal
manusia, banyak diajar/Banyak belajar/Tapi tetap saja kurang ajar.
Walau
terciptanya puisi, tidak karena “alasan”, tetapi ia kadang selalu butuh alasan
untuk tercipta, dan dari berbagai alasan itulah puisi selalu butuh pemaknaan
dan penafsiran. Puisi akan selalu menyisakan seribu pemaknaan dan penafsiran,
ia tidak akan pernah utuh ditafsirkan karena pesona yang selalu melekat dalam
kata-katanya. larik-lariknya tak tersekat oleh kebakuan bahasa, dia bebas
menerbangkan sayap-sayap maknanya. Sebuah pengungkapan yang tulus, memancarkan
cahaya kesetiaan yang tinggi, setiap kata serasa ada kedekatan dengan
pribadi-pribadi yang dituju, ia tidak hanya mengungkapkan kata, tapi mampu
merahasiakannya, dan kemudian ia belai dengan kalimat-kalimat cinta yang begitu
indah. Walau tak mengandung intuisi yang melejit, ia mampu memberikan
tetesan-tetesan inspirasi dan evaluasi dari diri bagi pembacanya.
Saya tidak bisa menghakimi mana yang disebut puisi indah, puisi yang baik
dan benar, tapi secara garis besar puisi itu benar-benar bisa disebut
puisi kalau ia mampu memberikan makna dengan ukiran kata-kata yang indah.
Kemudian apakah kata-kata yang tidak indah tidak bisa disebut puisi, belum
tentu, karena ada yang mementingkan makna tanpa menghiraukan diksi, tapi ini
juga bisa disebut puisi, indah dan tidak kembali pada penilaan pembaca. Biarkan
puisi yang terpampang dinilai dan dihukumi oleh pembaca. Karena setiap orang
memiliki alasan tersendiri untuk menyebut itu puisi. ini yang pernah saya
singgung dalam tulisan Penyair Salon, sebuah judul puisi yang saya ambil
dari sajak Rendra.
“Tak Seindah Puisi”, Katamu!, sebuah judul untuk pengantar Antologi Puisi
ini, hanya untuk menekankan, bahwa puisi yang ditulis dengan cara apapun, tetap
memiliki keindahan asalkan berintilaq dari kreatifitas sang penulis. Dan
keindahan itu dapat ditemukan dari berbagai segi, segi dahirnya atau segi
batinnya, kalau segi dahirnya tidak ditemukan keindahan, mungkin segi batinnya,
atau sebaliknya. Kalau belum menemukannya, maka kita mencarinya dari sisi
historisya, dan seterusnya. Maka, puisi akan selalu indah, jika ia kita
benar-benar menganggapnya sebuah realitas kehidupan.
****
Halimi Zuhdy: Penulis beberapa Antologi Puisi, dan Pendiri
Thoriqot Sastra Indonesia. Puisinya bisa dinikmati dalam dua bahasa (Arab dan
Indonesia). www. Halimizuhdy.blogspot.com www.sastrahalimi.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar