Betapa indah, Allah swt menciptakan berbagai macam ritual
Ibadah, seperti; Shalat, Puasa, Zakat, haji dan ibadah lainnya. Keidahannya,
bisa kita lihat dan rasakan dari setiap awal dan akhir dari ibadah itu sendiri,
demikian juga proses dari awal menuju akhir.
Akhir dari perjalanan ritual ibadah di atas, menuju sebuah
titik besar, yaitu; pertemuan besar, perkumpulan agung, perhelatan indah, dan
bertemunya ruh dan diri antar manusia dalam satu tempat, satu waktu dan satu
rindu.
Sebuah kerinduan antar manusia yang kemudian diberikan wadah
oleh Allah swt dengan berbagai macam ibadah, ada kerinduan cinta atas nama
kemanusiaan, “zakat”. Ada kerinduan harian yang selalu dipupuk, yang
kemudian memberikan hakekat cinta yang sebenarnya, “shalat dengan Jamaah”.
Rindu yang tidak berhenti dan terus mengalir bagai sungai niil, yang terus
berkarnaval dan bertemu di samudera cinta, “Haji”. Dengan mengasah diri,
membangun keindahan, mentirakatkan diri dan jiwa agar bertemu dengan sesama ruh
yang bersih “puasa”, yang ditutup dengan perhelatan besar di tanah
lapang, dengan satu gerakan dan satu ungkapan takbir membahana dalam prosesi “Shalat
Iid Fitri”.
Kebersamaan, kekuatan, kekokohan, keteguhan, persekutuan,
pertautan, kesatuan itulah harapan Islam yang sebenarnya, bukan; permusuhan,
perbedaan, perkelahian, pertikaian, pertengkaran, kericuhan, persengketaan,
antar umat Islam. Seperti ka’bah yang memiliki tembok-tembok yang kuat, dengan
pondasi yang kokoh, maka percintaan ruh dan diri seseorang dibangun oleh muslim
antar negara di dekat ka’bah, agar perkumpulan atau organisasi (tahwaf) berangkat
dari sebuah cinta dan selalu dekat dengan Tuhan (baitullah). Maka,
membangun sebuah perkumpulan, persatuan, atau organisasi bukan hanya dilandasi
oleh materi, kepentingan pribadi, egosime, kedirian, iri, dan dengki, tetapi berlandaskan
cinta kepada Allah dan Rasulnya. Itulah, seluruh ibadah, di antaranya adalah
Haji, tidak hanya materi yang dikorbankan, tetapi juga jasmani dan ruhani, dan
itupun harus meniru apa yang dilakukan oleh Nabi, kalau tidak, maka hanya
sebuah kesia-siaan.
Pertama kali yang dilakukan muslim adalah persaksian (syahadat)
sebelum melakukan empat rukun Islam (shalat, puasa, zakat dan haji).
Kalau empat rukun dilakukan dan belum melakukan persaksian, maka keempatnya
tidak dapat diterima. Kesaksian di sini, adalah bentuk pengakuan, bahwa apa pun
yang dilakukan nantinya hanyalah untuk Allah, proses menuju Allah, dan kembali
kepada Allah. Disinilah semuanya dibangun, dibangun atas nama Allah, karena
tidak ada artinya sebuah kehebatan, jika ia membangunya atas nama selain Allah,
hanya akan berakhir pada kesombongan. Maka, setelah persaksian selesai, tidak kemudian
berhenti hanya selalu bersama Allah, sendirian. Tetapi ia akan bergumul dengan
keluarga, tetangga, sahabat, dan orang banyak, disinilah persaksian dan rukun
Islam yang empat benar-benar dapat menjadi cerminan yang luar biasa.
Sebagai contoh, seseorang yang memiliki sahabat, maka
bagaimana sahabantnya mengakuinya (persaksian), melakukan intraksi
dengan inten, bersilturahim hati, pikiran, dan jasad (shalat berjamaah).
Menjaga persahabatan, dengan menjaga; rahasianya, dirinya, darahnya,
kehormatannya (puasa). Dan memberi bantuan (zakat) jika tidak
mampu dalam menghidupi dirinya, keluarganya. Dan tidak cukup dengan menjaga
kehormatannya dan mebantunya, tetapi harus selalu ada silturahim (haji) dengannya,
dan semuanya dilandaskan dengan cinta pada Tuhan.
Ibadah seseorang yang paling nyata adalah prilakunya yang
baik kepada sesamanya. Jika seseorang yang terkenal baik ibadahnya; karena
banyak melakukan peribadatan kepada Tuhan, tetapi dia jahad kepada keluarganya,
sahabatnya, dan sesama manusia atau makluk Tuhan lainnya, maka nilai ibadahnya
tidaklah ada artinya; Tidak akan masuk sorga, seseorang yang tetangganya tidak
merasa aman dari kejahatan-kejahatannya”. (HR al-Bukhoriy). "Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saq
ar (neraka)?" Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk
orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang
miskin, dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang
yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga
datang kepada kami kematian". Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafa'at
dari orang-orang yang memberikan syafa'at." (QS. Al-Muddaththir ayat
42-48). Dan banyak sekali hadis yang menjelaskan hal tersebut, bahwa bagaimana
ibadah itu berbanding lurus dengan akhlaqnya, kepada Tuhannya dan kepada
sesamanya.
Pertemuan, persaudaraan, persahabatan, dan persatuan adalah hal
yang sangat penting dari keberagamaan seseorang, maka mari kita eratkan
persatuan, persahabatan dan kesatuan, sebegaimana Allah berfirman, “wa’tashimu
bihablillahi jamia walatafarroqu; berbegang teguhlah dengan tali Allah, dan
janganlah kalian bercerai berai”. Mari kita satukan tempat dan waktu menuju
perkenalan, pengetahuan, ma’rifah (arafah), sebagaimana syariat mewajibkan
kepada jamaah haji untuk berada di Arafah, di waktu dan tempat yang sama, walau berbeda-beda suku,
bangsa dan bahasa. Sebuah pertemuan besar, menuju umat besar, dengan persatuan
dan pengetahuan yang dalam. []
Halimi Zuhdy
PP. Darun Nun Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar