Setiap hari kita jalani kehidupan ini dengan penuh gembita,
gembira dan bahkan tak pernah merasa kita berselimut azab. Seakan-akan
bunga selalu mekar, semerbak harumnya merasuk nusuk kesanubari, indah
sekali.
Suatu hari seorang kyai ditanya oleh santrinya,"kyai,
berapa banyak kita berbuat dosa, dusta, dan maksiat, tetapi mengapa
Tuhan tidak mengazab kita?".
Kyai menjawab,"Nak, berapa banyak Allah mengazab kita, tetapi kita tidak mengetahui".
Santri tadi terkaget kaget, azab apa? Kehidupan yang
berjalan indah, azab hanya ada pada masa para nabi terdahulu, sekarang
kalau ada azab hanya di daerah daerah tertentu yang orang orangnya
berprilaku tidak waras. Mereka yang ditimpa azab yang tidak shalat,
tidak menuaikan zakat, dan dosa dosa lainnya.
Kyai menjawab dengan tenangnya, "Nak, azab yang tersembunyi tidak kau rasakan itu lebih besar dari apa yang kau rasakan".
Santri semakin bingung, "masak ada azab yang tidak dirasakan, azabnya pun besar, pasti kyai ngarang", sambil menggerutu.
"Nak, tidakkah hari hari kita, selalu kita lalui dengan
hati kering, gersang, tak ada kenikmatan dalam beribadah, berdoa pun
sama Allah hanya sebatas mengisi kekosongan, tak ada yang diminta, namun
hanya rutinitas doa belaka" Apakah itu bukan azab?
"Nak, kita lalui detik, menit, jam dalam hari hari kita,
tapi kita enggan membuka lembaran lembaran Ayat Allah, gunung pun akan
tunduk terpecah belah jika al Quran diletakkan di atasnya, ("Kalau
sekiranya kami menurunkan Al-Qur'an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu
akan melihatnya tunduk terpecah-belah, disebabkan takut kepada Allah.
Dan perumpamaan-perumpamaan itu kami buat untuk manusia, supaya mereka
berpikir.") (QS.59:21). Apakah hati kita lebih keras dari pada batu
gunung, dan lebih karat dari cadas gunung, sehingga enggan memegang al
Quran apalagi membacanya?. Apakah ini bukan azab yang sesungguhnya?
"Nak, sulitnya bangun malam, lebih menikmati indah
berselimut pekat dengan ricau musik di telinga. Apakah itu bukan Azab?,
kita jauhkan tubuh kita dari bersungkur, menangis, mengiba di tengah
malam, sebagai mana Nabi yang sampai bengkak walaupun dijamin masuk
sorga, tapi kita,lebih memilih nafsu untuk pulas bersama mimpi mimpi
indah. Apakah ini bukan azab besar?"
"Nak, kita harus bekerja, bahkan harus selalu semangat
bekerja. Tetapi apakah kita juga semangat ketika waktu ibadah datang,
apakah kaki selalu ringan untuk shalat, melangkah ke masjid, tepat
waktu, atau kita lebih suka mengobrol, menikmati pemandangan, hidangan,
dan keindahan. Apakah ini bukan azab?".
"Mulut tertahan untuk dzikir kepadaNya, yang telah
memberikan segalanya, kering dari menyebutNya, lupa bahwa Dia yang telah
memberikan kehidupan dan kenikmatan.Apakah ini bukan Azab anakku?"
"Nak, kita selalu lemah berhadapan dengan syahwat, takluk
dengan godaan kemewahan dunia, harta dan lebih suka jabatan, senang
kemasyhuran. Nak, Adakah azab yang lebih besar dari ini wahai anakku?"
"Nak, kita sering lupa membicarakan diri kita, kita lebih
mudah menggunjing orang lain, senang adudomba, suka membuang buang waktu
dengan sesuatu yang tidak penting, dunia lebih kita dahulukan dari pada
akhirat, mengejar kepentingan dunia, lupa urusan akhirat. Nak, inilah
azab yang besar Nak!!!!.Tapi kita selalu lupa, sebelum azab yang tampak
datang.
"Hati hatilah nak, azab yang tampak sering datang pada anak, harta dan kesehatan".
"Kerasnya hati adalah azab yang paling besar nak, dan ia tidak tampak, maka waspadalah selalu dari azab ini".
Mudah mudahan Allah selalu menolong kita dari azab yang tampak dan yang tidak tampak.
Halimi Zuhdy
PP. Darun Nun Malang
PP. Darun Nun Malang
Diadaptasi dari maqulah ihdzaru aliqob ghair almahsusah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar