Untuk Guruku D. Zawawi Imron
Halimi Zuhdy
Kaulah penjaja cinta
yang tak pernah lelah
oleh terik mentari, hempas gelombang
tusuk duri, gersang gurun,
gelap malam, terjal Arjuna,
celoteh penguasa yang penuh dusta,
kau jajakan cinta pada Maha Cinta
Kau kumandangkan alunan cinta
Dari desa yang terpencil
Ke kota yang penuh bising
Bahkan ke manca negara yang tak pernah hening dan pesing
Kau alunkan kata-kata rindu
Lewat saja-sajak syahdumu
Bila aku merantau
Sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
Di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
Lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar (Ibu, 1966)
Kau semakin mesra berdendang dengan kata-kata
Sedangkan aku menangis karena penuh dosa dan nista
Kubaca sajakmu yang semakin mempesona
Bila kasihmu ibarat samudra
Sempit lautan teduh
Tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
Tempatku berlayar menebar pukat dan melempar sauh
Lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
Kalau ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
Namumu ibu, yang kan kusebut paling dahulu
Lantaran aku tahu
Engkau ibu dan aku anakmu (Ibu, 1966)
Guruku D.Zawawi Imron
Meskipun kau tak pernah kenal aku
Menyapa pun tidak
Alif-Alif mu telah menyegarkanku
Tuk berpesta rindu pada kealpaan
Kau ajak aku berdzikir
Berhompimpa dengan hidup, berhompimpa dengan mati
Berhompimpa dengan nasib, hompimpa, hompimpa, hompimpa itu katamu
Pak Zawawi kau ajarkan aku
Tuk mengija kehidupan dengan Alif Alif Tuhan
Alifmu, alif, alif
Susuk di dagingku, kompas di hatiku
Alifmu tegak jadi cagak, meliut jadi belut
Hilang jadi angan, tinggal bekas menetaskan
Terang hingga aku berkesiur pada angin kecil takdirmu (Dzikir, 1983)
Kau terlahir
Di pulau terpencil
Yang penuh dengan desir dan gelombang angin
1946 itulah tahun yang kuingat dan kuhapal
Kau kibarkan pulaumu dengan penuh pesona
Meskipun banyak orang terauma
Seusap debu hinggaplah, setetes embun hinggaplah,
Sebasah madu hinggaplah
Menanggung biru langit moyangku, menanggung karat
Emas semesta, menanggung parau sekarat tujuh benua
Di sini
Perkenankan aku berseru
-madura, engkaulah tangisku
Itu katamu
Aku lari mengejar ombak aku terbang memeluk bulan
Dan memetik bintang-gemintang
Di ranting-ranting roh nenek moyangku
Di ubun langit kuucapkan sumpah
-madura, akulah darahmu. (Madura Akulah Darahmu)
D. Zawawi Imron
Kau hajatkan punggungmu
Di desa yang katanya tak ada kuasa
Batang-Batang bukti kesalehan kata
Kau pilih menginjakkan kakimu
Di pematang sawah, sungai-sungai kecil,
Gemercing terjun, biru-biru ombak
Bernyanyi dengan camar-camar, berkenalan dengan merpati,
Menunggu kuncup kelopak,
berpestas dengan mayang,
Bermesra dengan tembang-tembang Tuhan
Tak seperti mereka,
Yang memilih sorga di atas altara dusta
Dalam begini, meski bias kutebak kabut besok akan meledak,
Renyai musim labuh akan menunggu kuncup bersujud dalam kelopak
Hai, camar-camar yang nakal, kenalkan (Perjalanan Laut, 1978)
D. Zawai imron
Kaulah pahlawan, meskipun tak ada pedang
Kaulah pahlawan, meskipun tak berperang
Kaulah pahlawan, karena kata-katamu yang menawan
Kau jadikan celurit murka menjadi celurit emas
Kau tusuk rembulan dengan ilalang-ilalang cintamu
Kau jelajahi kerongkongan kering dengan manis kata
Tahun 1995 kau tumpahkan
Jiwa kepahlawananmu lewat Dialog Bukit Kamboja
Kelam mendesak kami berpisah, di hati tidak
Angin pun tiba dari tenggara. Daun-daun dan bunga ilalang
Memperdengarkan gemelan doa
Memacu roh agar tak jijik menyeka nanah
Pada luka anak-anak desa di bawah
Untuk sebuah hormat
Sebuah cinta yang sepanas dengan bendera
Tidak sekedar untuk sebuah palu (Dialog Bukit Kamboja, 1995)
D. Zawawi Imron
Kini kau telah berumur
Tapi jiwamu bak janur
Mekar mengakar mencakar
Kau masih melewati sederet pohon tembakau
Kau nikmati matahari bangkit dari bukit
Di malam hari kau masih menikmati senyum rembulan
Di balik dedaunan pohon siwalan
Kau nikmati capung-capung kemerahan
Terbang hinggap dipinggirmu
Berkejaran, sesekali menyapu permukaan
Kau masih asyik mendengar “sauh-sauh Ayat Tuhan”
Kau masih tegak kayak cagak seperti alif
Yang kau ajarkan padaku di tahun 1983
Di tangamu
Air, gelombang menjadi tinta
Di tanganmu
Celurit dan pohon siwalan, menjadi pena
Di tanganmu
Darat, laut, langit, gunung, pasir, sungai, laut, sumur
Dedaunan, reranting, kompyor, gua, bunga dan kembang
Menjadi kata, kata yang mempesona dan bermakna
Dan menjadikan kanvas-kanvas penuh rupa
Bapak D. Zawawi Imron,
kau juga tidak lupa
Mengajariku hidup optimis
Meskipun dunia lagi menangis dan meringis
Menggalah bintang, adik
Jatuhlah bulan
Mengalah dengan janur kuning
Kakak bilang, adik
Kian jauh
Jauh hingga alun-alun
Meskipun :
bantalku adalah ombak
selimutku angin (1996, Judul Buku)
Guruku, izinkan aku menyentuh kalbumu
lewat derai kata-kataku,
dan merajut namamu dalam bingkai hidupku
Halimi Zuhdy
Kaulah penjaja cinta
yang tak pernah lelah
oleh terik mentari, hempas gelombang
tusuk duri, gersang gurun,
gelap malam, terjal Arjuna,
celoteh penguasa yang penuh dusta,
kau jajakan cinta pada Maha Cinta
Kau kumandangkan alunan cinta
Dari desa yang terpencil
Ke kota yang penuh bising
Bahkan ke manca negara yang tak pernah hening dan pesing
Kau alunkan kata-kata rindu
Lewat saja-sajak syahdumu
Bila aku merantau
Sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
Di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
Lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar (Ibu, 1966)
Kau semakin mesra berdendang dengan kata-kata
Sedangkan aku menangis karena penuh dosa dan nista
Kubaca sajakmu yang semakin mempesona
Bila kasihmu ibarat samudra
Sempit lautan teduh
Tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
Tempatku berlayar menebar pukat dan melempar sauh
Lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
Kalau ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
Namumu ibu, yang kan kusebut paling dahulu
Lantaran aku tahu
Engkau ibu dan aku anakmu (Ibu, 1966)
Guruku D.Zawawi Imron
Meskipun kau tak pernah kenal aku
Menyapa pun tidak
Alif-Alif mu telah menyegarkanku
Tuk berpesta rindu pada kealpaan
Kau ajak aku berdzikir
Berhompimpa dengan hidup, berhompimpa dengan mati
Berhompimpa dengan nasib, hompimpa, hompimpa, hompimpa itu katamu
Pak Zawawi kau ajarkan aku
Tuk mengija kehidupan dengan Alif Alif Tuhan
Alifmu, alif, alif
Susuk di dagingku, kompas di hatiku
Alifmu tegak jadi cagak, meliut jadi belut
Hilang jadi angan, tinggal bekas menetaskan
Terang hingga aku berkesiur pada angin kecil takdirmu (Dzikir, 1983)
Kau terlahir
Di pulau terpencil
Yang penuh dengan desir dan gelombang angin
1946 itulah tahun yang kuingat dan kuhapal
Kau kibarkan pulaumu dengan penuh pesona
Meskipun banyak orang terauma
Seusap debu hinggaplah, setetes embun hinggaplah,
Sebasah madu hinggaplah
Menanggung biru langit moyangku, menanggung karat
Emas semesta, menanggung parau sekarat tujuh benua
Di sini
Perkenankan aku berseru
-madura, engkaulah tangisku
Itu katamu
Aku lari mengejar ombak aku terbang memeluk bulan
Dan memetik bintang-gemintang
Di ranting-ranting roh nenek moyangku
Di ubun langit kuucapkan sumpah
-madura, akulah darahmu. (Madura Akulah Darahmu)
D. Zawawi Imron
Kau hajatkan punggungmu
Di desa yang katanya tak ada kuasa
Batang-Batang bukti kesalehan kata
Kau pilih menginjakkan kakimu
Di pematang sawah, sungai-sungai kecil,
Gemercing terjun, biru-biru ombak
Bernyanyi dengan camar-camar, berkenalan dengan merpati,
Menunggu kuncup kelopak,
berpestas dengan mayang,
Bermesra dengan tembang-tembang Tuhan
Tak seperti mereka,
Yang memilih sorga di atas altara dusta
Dalam begini, meski bias kutebak kabut besok akan meledak,
Renyai musim labuh akan menunggu kuncup bersujud dalam kelopak
Hai, camar-camar yang nakal, kenalkan (Perjalanan Laut, 1978)
D. Zawai imron
Kaulah pahlawan, meskipun tak ada pedang
Kaulah pahlawan, meskipun tak berperang
Kaulah pahlawan, karena kata-katamu yang menawan
Kau jadikan celurit murka menjadi celurit emas
Kau tusuk rembulan dengan ilalang-ilalang cintamu
Kau jelajahi kerongkongan kering dengan manis kata
Tahun 1995 kau tumpahkan
Jiwa kepahlawananmu lewat Dialog Bukit Kamboja
Kelam mendesak kami berpisah, di hati tidak
Angin pun tiba dari tenggara. Daun-daun dan bunga ilalang
Memperdengarkan gemelan doa
Memacu roh agar tak jijik menyeka nanah
Pada luka anak-anak desa di bawah
Untuk sebuah hormat
Sebuah cinta yang sepanas dengan bendera
Tidak sekedar untuk sebuah palu (Dialog Bukit Kamboja, 1995)
D. Zawawi Imron
Kini kau telah berumur
Tapi jiwamu bak janur
Mekar mengakar mencakar
Kau masih melewati sederet pohon tembakau
Kau nikmati matahari bangkit dari bukit
Di malam hari kau masih menikmati senyum rembulan
Di balik dedaunan pohon siwalan
Kau nikmati capung-capung kemerahan
Terbang hinggap dipinggirmu
Berkejaran, sesekali menyapu permukaan
Kau masih asyik mendengar “sauh-sauh Ayat Tuhan”
Kau masih tegak kayak cagak seperti alif
Yang kau ajarkan padaku di tahun 1983
Di tangamu
Air, gelombang menjadi tinta
Di tanganmu
Celurit dan pohon siwalan, menjadi pena
Di tanganmu
Darat, laut, langit, gunung, pasir, sungai, laut, sumur
Dedaunan, reranting, kompyor, gua, bunga dan kembang
Menjadi kata, kata yang mempesona dan bermakna
Dan menjadikan kanvas-kanvas penuh rupa
Bapak D. Zawawi Imron,
kau juga tidak lupa
Mengajariku hidup optimis
Meskipun dunia lagi menangis dan meringis
Menggalah bintang, adik
Jatuhlah bulan
Mengalah dengan janur kuning
Kakak bilang, adik
Kian jauh
Jauh hingga alun-alun
Meskipun :
bantalku adalah ombak
selimutku angin (1996, Judul Buku)
Guruku, izinkan aku menyentuh kalbumu
lewat derai kata-kataku,
dan merajut namamu dalam bingkai hidupku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar