Membaca puisi karya Nizar Qabbani dalam diwan 100 risalah cinta, uhibbuki jiddan juga dikenal dengan judul al-hubb al-mustahil
Halimi Zuhdy
1. Analisis Bahasa Uhibbuki Jiddan
a. Pemilihan diksi
Diantara struktur fisik puisi adalah Diksi, ia meruapakan pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata. Geoffrey menjelaskan bahwa bahasa puisi mengalami 9 (sembilan) aspek penyimpangan, yaitu penyimpangan leksikal, penyimpangan semantis, penyimpangan fonologis, penyimpangan sintaksis, penggunaan dialek, penggunaan register (ragam bahasa tertentu oleh kelompok/profesi tertentu), penyimpangan historis (penggunaan kata-kata kuno), dan penyimpangan grafologis (penggunaan kapital hingga titik).
Dalam pemilihan diksi Nizar Qabbani sangat cermat dan sangat sistemtis, dan cocok dengan suasana, ia mampu melahirkan sugesti luar biasa. Bisa kita perhatikan dari judulnya Uhibbuki jiddan, jarang sekali ada kalimat seperti diatas, biasanya Uhibbuki syadida, atau innani uhibbuki, uhibbuki haqqa al-hubbi, uhibbuki kathira dan kata-kata lainnya, kalau penggunaan uhibbuki sudah biasa tapi yang menyertainya “ jiddan” sangat jarang sekali digunakan oleh para penulis, sehingga ketika saya membaca tema dari puisi ini, sudah tahu bahwa ini tulisan Nizar Qabbani, dari mana?dari diksi yang dipilihnya. Dengan tambahan jiddan Nizar mampu memberikan sugesti kepada para pembaca.
Pada puisi selanjutnya ia mampu memberikan kekuatan dalam kecintaannya dengan pengakuan “aku tahu” (a’rifu) yang diulangi beberapa kali : a’rifu anna thariq ila al-mustahil thawil, a’rifu annaki sitta al-nisa’, a’rifu anna zaman al-habib intaha, wa a’rifu anna wushul ilaiki.. ilaiki intihar, a’rifu anni tawarrattu jiddan, a’rifu anni saahzumu jiddan, a’rifu anni bighabati ‘ainik wahdi aharib, a’rifu anni ughamiru bira’si, a’rifu anna hawaki intihar, wa ‘arifu an lan yajia an-nahar, A’rifu mundzul bidayah bianni syaafsyalu, walau bersifat tidak pasti, tapi ia mampu memberikan kepastian di atas ketidakpastian, penggunaan a’rifu sungguh sangat tepat dibandingkan a’lamu. Dan peletakan a’rifu diletakkan setelah uhibbuki jiddan pada setiap bait puisi.
Dari kecintaan (uhibbuki) dan pengetahuan (a’rifu) kemudian disambung dengan laisa ladayya badilul (tiada bagiku pengganti), yang di dalamnya ada : rasa, pengakuan terhadap rasa, kemudian penginkaran. Ini juga terjadi pada pemilihan diksi berikutnya a’rifu, mata dan lastu. Ia mampu memberikan gelombang rasa dalam setiap kalimat dan bait puisinya, ia menulisnya tidak linier, ia selalu memberikan kejutan-kejutan, seperti pada baris selanjutnya : uhibbuki jiddan/.... uhibbuki jiddan wa a’rifu inni a’isyu bimanfiin/ wa anta bimanfiin wa baini wabainak../rihun, wabarqun,waghaimun,wa ra’dun,wa thaljun, wa narun.../wa..a’rifu annal wushul ilaiki ..ilaiku intihar...kesungguhan cinta yang ia suguhkan pada “engkau”, sampai meninggalkan kewujudan dirinya dan kehinaan dirinya, demi sebuah pengakuan atas cinta yang sesungguhnya. Ia melemparkan dirinya pada jurang yang sangat dalam bukan untuk mati, tapi ia melemparkan dirinya untuk menguji kehebatan cinta yang bersemayam dalam dirinya, walau kadang ia mengeluh atas kesulitan yang ia hadapi karena sulitnya untuk meraih cintanya, seperti ia berjalan menuju kematian : :/wa ilaiki intihar....dan rela untuk menghancurkankan dirinya demi sebuah pengakuan cinta, bahkan ia menggiring sang pujaan untuk membantu dirinya merobek dirinya demi cinta ;/anumazziqa nafsi liajlika ayyatuha al-ghaliyah.
Setelah ia mampu memberikan sugesti dari dua lirik sbelumnya dengan rasa, pengakuan dan penginkaran. Pada bait dan larik selanjutnya ia menciptakan suasana yang lebih romantis ;/uhibbuki jiddan/wa a’rifu anni usafiru fi bahri ainiki duna yakin/wa athruku a’li, wa ra’yi, wa arkudu ..arkudu khalfa jununy/; bagaimana ia menari-menari dan berlari di lautan matanya tanpa kepastian, sampai ia meninggalkan pikirannya untuk berfikir cinta padanya, ia tidak lagi memikirkan cinta tapi merasakan cinta. Ia rela berlari dengan kegilaan cinta untuk mendapatkan pengakuan cinta. Pemilihan diksi /usafiru fi bahri ‘ainik duna yakin/ mengganggambarkan luasnya harapan cinta yang dihembuskan oleh si aku, tapi karena ia mengetahu betapa sulit ditenggelamkan oleh lautan itu, maka ia menggunaka /duna yakin/walau luas tapi sulit dan penuh onak dan duri, akhirnya tak ada kepastian bagaimana cinta itu ditenggelamkan dan menemukan mutiara di dalamnya. Si Aku lirik rela melepaskan semuaya demi mengejar dan tenggelam dalam gelombang cinta,/ Aya imraah tamsaku qalba baina yadaiha/saaltuki billahi...la tatrukini.../ la tatrukini....ketika cinta mampu menenggelamkan, tapi maukan dia untuk melakukan, ketika cinta begitu kuat mampukah ia masuk pada perangkap kekuatan itu, si Aku lirik sangat ingin rekali masuk dalam perangkap dan tenggelam bersamanya, tapi mungkinkan si kamu lirik mau untuk melakukannya, karena ketakutan si Aku untuk tidak bisa tenggelam dan masuk pada perangkap, ia mengulang kata-kata /la tatrikini/..la tatrukini..jangan tinggalkan aku..jangan tinggalkan aku../fama akuna ana idza lam takuni/..bagaimana jadinya diriku, jika kau tak berada disisiku, pemilihan diksi sangat apik sekali. Karena ketakutan itulah ia kemudian mengulan jiddan beberapa kali, dan ini tidak biasa/uhibbuki jiddan..jiddan..jiddan wa arfadu minnari hubbiki an astaqila.
Pemilihan diksi dari setiap liriknya sungguh sangat menarik sekali, setiap kata yang diungkapkan selalu ada sugesti, memberikan nafas-nafas tersendiri pada setiap kalimat, ketika setiap kalimat mampu bernafas, maka bait-bait itu mampu menghembuskan kekuatan pesan yang luar biasa, pesan sulit diterima dengan baik, jika kata-kata dan kalimatnya mati. Pada lirik ini, Nizar mampu melakukan itu/uhibbuki/a’rifu anni tawarratthu jiddan/wa ahraqtu khalfi jami’al marakib/wa a’rifu anni sa’zumu jiddan/biraghmi ulufin nisa’i/wa raghama ulufi al-tajarib/. Aku mencintaimu, sebuah ungkapan yang menjadi ciri khas puisi ini, karena kesulitan untuk mendapatkan cinta itulah ia ungkapkan/ a’rifu anni tawarratthu jiddan/aku tahu ini sangat sulit bagiku, kemudian /ahraqtu khalfi jamial marakib/aku bakar seluruh perahu dibelakangku, kemudian saya teringat bagaimana Nizar menggunakan kata-kata yang menarik ini, sama seperti ungkapan Abdurrahmi Al-Dhakhil ketika dalam posisi yang sangat sulit dalam menghadapi ribuan tentara musuh, mundur sebuah penghianatan maju bunuh diri, tapi setiap pemimpin memiliki pilihan yang harus dipilih, maka Al-Dhahil memilih membakar semua perahu yang dinaiki oleh tentaranya, agar mereka tidak mundur dan takut menghapami musuh, musatunya jalan adalah menang atau mati. Pilihan yang sulit kemduain menemukan solusi yang terbaik itulah, sehingga tentara Islam ini menang di Spanyol. Ini juga terjadi pada pemilihan diksi Nizar/ahraqtu khalfi jamial marakib/karena kekuatan itulah ia rela membakar keinginan-keinginan lain untuk mendapatkan sang pujaan hati. Dia rela mengalahkan ribuan wanita yang merasuk dalam dirinya, hanya untuk mendapatkan sang pujaan hati, rela dicaci ribuan wanita demi pujian sang jantung hati /wa a’rifu anni saahzumu jiddan/biraghmi ulufin nisa’i/wa raghama ulufi al-tajarib.
Uhibbuki Jiddan/ ia mengawali larik keempatnya seperti larik-larik sebelumnya, Nizar mampu mengulah diksi puisi sangat menarik, walau maknanya sederhana, tapi permainan kata-kata yang ia gunakan mampu menggetarkan/wa a’rifu anni bighabati ainaiki wahdy uharib/waanni kakulli al-majanin hawaltu shaida al-kawakib/bagaimana perjuangan aku lirik sungguh luar biasa,ia menggambarkan aku lirik dikebun mata sangpujaan, sendiri berjuang menemukan kesejatian cinta menuju pujaan hati, dan aku lirik menggambarkan seperti orang-orang gila yang berusaha menjaring dan menangkap galaksi. Aku tetap mencintaimu dengan kesanggupanku, karena kekelanku sampai sekarang adalah kehidupan, aku jadikan cinta pada di antara keajaiban, itu diungkapkan dalam diksi yang cukup menarik/waabqa uhibbuki raghma iqtina’i/bianna baqai ila al-ann hayyan/uqawimu hubbuk ihda al-ajaib/. Pemilihan diksi yang menarik pertian dalam lirik ini, adalah rima ada pada kata-kata terkahir /uharib/al-kawakib/al-ajaib.
Dilarik yang kelima Nizar menggunakan diksi sangat cermat sekali, bagaimana baris pertama dan baris terakhir memiliki ketersambungan yang indah/uhibbuki jiddan/wa ‘arifu anni ughamiru biraksi/wa anna hishani khasirun/wa anna al-thariqa libaiti abiki/aku tahu, bahwa aku membanjiri pikiranku, pertahananku tak kuat lagi, dan jalan terang ada di gubuk bapakmu,yang dijaga ribuan laskar tentara, aku tetap mencintaimu dengan keyakinanku, karena menyebut namamu sebuah pengingkaran, dan aku berjuang di atas catatan-catatan.
Diksi yang dilakukan oleh Nizar kadang seperti gelombang sunami, kadang seperti pengantin yang lagi bermesraan, kadang seperti susunan mutiara yang dijejer di atas etalase. Ia mampu men-suasanakan kata dalam hakekatnya. Bisa kita lihat dalam larik terakhir /uhibbuki jiddan/ sebagai kata pembuka untuk mendendangkan kata dalam setiap lariknya, ini yang memberikan sensasi kepada para pembaca, bagaimana ia mengulang kalimat itu sampai dua belas kali dan indahnya ia menutupnya juga dengan /uhibbuki jiddan/ setelah ia memaparkan keinginan cinta, tapi dari awal ia sudah pesimis bahwa cintanya akan tertolak/wa a’rifu mundzu al-bidayah bianni syaafsyalu/ dan ia juga memprediksi ia tidak akan menang dalam memperoleh cintanya, terbunuh dalam memperjuangkannya, ia sudah benar-benar tergeletak bahkan sudah tak kuasa dalam percaturan cintanya/wa anni khilal fushul alriwayah saaqtulu/ ia juga mengimajinasikan bagaimana ia mengantarkan kepalanya kepangkuannya dan terdiam selama tiga puluh hari seperti anak kecil yang tenang di pangkuannya/wa yuhmalu ra’si ilaiki/waanni saabqa thalathina yauman/musja katihifli ‘ala rukbataiki/. Dan apa pun yang terjadi, aku lrik tetap bahagia walau dalam kegalauan sekalipun, dan kegalauan cinta itu pun dia rasakan sebuah kebahagiaan, dan tetap dalam mempertahankan cintanya/waafrahu jiddan birau’ati tilkan nihayah/wa abqa uhibbuki/uhibbuki jiddan.
b. Gaya bahasa
Selain pemilihan kata (diksi) yang cermat, Nizar Qabbani juga banyak menggunakan gaya bahasa. Ia menggunakan gaya bahasa untuk memberikan kesan-kesan tertentu, melahirkan keindahan, dan cara mengungkapkan pikirannya secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadiannya. Beberapa gaya bahasa yang ditemukan adalah : Metafora (isti’arah), simile (tasybih), Metonimia (kinayah), personifikasi, dan hiperbola.
- Atruku a’li
- Tamsaku al-qalba
- Arfudu min nari hubbiki
- Ahraqtu khalfi jamia al-marakib
- Biraghmi uluf alnisa’
- Bighabati ainik wahdi uharibu
- Wainni kakulli almajanin hawaltu shaidal kawakib
- Yahmilu ra’si ilaiki
- Musja katifli ala rukbataiki
- An-umazziqa nafsi liajliki
- Bahru ainik
- Bighabati ainik wahdi uharibu
- Qatilun ‘ala syafataiki intisharun
- Wa inni uharibu fauqa aldafatir
- &nbssp; Uluf nisa’
- Uluf tajarib
- Kullu almajanin
- Muhashirin biuluf al-‘asakir
- Uharibu fauqa aldafatir
c. Versifikasi
Struktur fisik puisi Nizar Qabani ketika dilihat dari sisi versifikasi, ditemukan beberapa kalimat yang terkait dengannya. Versifikasi yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima mencakup : onomatope (tiruan terhadap bunyi), bentuk intern pola bunyi (aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi [kata], dan sebagainya (Waluyo), dan pengulangan kata/ungkapan. Ritma merupakan tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi. Ritma sangat menonjol dalam pembacaan puisi. Mitrum adalah variasi tekanan kata atau suku kata.
Kalau dalam bahasa Arab dikenal dengan Iqa’, beberapa bunyi yang ditemukan dalam uhibbuki jiddan adalah :
Dalam kajian rima ada pengulangan bunyi, penulis menemukan 12 kalimat / uhibbuki jiddan/ dari awal sampai akhir puisi yang diulang. Selain uhibbuki jiddan /adalah /a’rifu/ beberapa ungkapan dalam setiap bait puisi banyak didahului dengan kata ini, seperti ; a’rifu anna thariq ila al-mustahil thawil, a’rifu annaki sitta al-nisa’, a’rifu anna zaman al-habib intaha, wa a’rifu anna wushul ilaiki.. ilaiki intihar, a’rifu anni tawarrattu jiddan, a’rifu anni saahzumu jiddan, a’rifu anni bighabati ‘ainik wahdi aharib, a’rifu anni ughamiru bira’si, a’rifu anna hawaki intihar, wa ‘arifu an lan yajia an-nahar, A’rifu mundzul bidayah bianni syaafsyalu, pengulangan ini memberikan arti taukit (kesungguhan, keyakinan, kemantapan, dan kepercayaan), walau diulang-ulang ungkapan ini tidak membosankan, bahkan memberikan sensasi yang luar biasa, untuk menyatakan kesungguhan cinta yang mendalam, sang Aku lirik benar-benar menyatakan cintanya dengan kesungguhan. Kemudian /a’rifu/,walau tidak sama dengan /uhibbuki jiddan/ tapi kata ini memberikan efek yang luar biasa. Sebuah pengakuan akan pengetahuan dirinya terhadap kamu lirik. Dan itu semunya diungkapkan untuk menyatakan ketidakmampuannya untuk menembus cinta itu.
Kemudian bentuk interpola bunyi yang ada dalam puisi ini seperti 1)……narun, …..intiharun, 2)….. ghaliyah, …….thaniyah, 3)…. syajar ,….mathar, 4)....uharibu….Ajarib, 5) …Syaafshalu…saaqtulu. selain persamaan bunyi yang sama pada setiap akhir bait, juga panjang dan pendeknya sama. Ini menarik sekali jika kita membacanya dengan berpatokan pada tajwid yang benar. Dan juga penekanannya pada setiap huruf bisa menyentuh rasa. Ada persamaan awal seperti ya man ghazalat….., ya man hamiyyatuki……. Dan juga persamaan suara itu terjadi juga dalam tiga baris waanna hishani khasir/waanna thariq libaiti abiki/ muhashirun biulufin al’asakir/wa abqa uhibbuki raghma yakini/bianna altalafdha bismiki kufrun/waani uharibu faqa dafatir/.
Permainan bunyi kata raihun, barqun, ghaimun, ra’dun, saljun, narun,dalam satu kalimat juga sangat menarik sekali, walau hanya satu baris dalam puisi Nizar Qabbani. Tapi ini memberikan sentuhan dahsyat pada hati, apalagi dikaitkan dengan artinya.
2. Analisis makna
Setelah melalui tahap analisi form puisi Nizar Qabbani, sesuai dengan titik berat kajian new criticism. Maka penulis memiliki kesimpulan bahwa Nizar Qabbai berhasil mengolah kata dengan sangat baik, baik dari diksi (pemilihan kata), imagenary (metaphor, simile, onomatopea, dan sebagainya), paradoks, ironi, dan sebagainya. Puisinya hidup, memiliki makna dan sugesti yang cukup dalam. Ia mampu memberikan kejutan-kejutan dalam setiap baris puisinya. Membacanya serasa menaiki perahu di samudera, kadang dihadang angin, dihempas gelombang, dan kadang berjalan dengan tenang ditemani hembusan-hembusan angin yang semilir, ketika bergelombang tidak hanya disuguhi lautan, tapi panorama keindahan laut yang luar biasa. Kata-katanya mudah dimengeti, walau jalinan diksinya cukup rumit, tapi bukan berarti tidak indah, ia mengurai keindahan dalam kerumitan kata-kata itu.
Dalam kajian new criticism, bentuk sangat menentukan isinya. Dari form puisi Nizar Qabbani tersebut, penulis memiliki beberapa kesimpulan makna yang terkesan.
Ada ketidak pastian cinta yang ia inginkan, walau bersifat tidak pasti, tapi ia mampu memberikan kepastian di atas ketidakpastian, karena ada harapan yang tinggi untuk memperoleh cinta, ia rela mengehempaskan dirinya pada gelombang dan karang..
Nizar Qabbani benar-benar melebur dalam kehangatan cinta, bagaimana ia memainkan perasaan, kecintaan, dan pengetahuan kesungguhan cinta yang ia berikan sampai meninggalkan kewujudan dirinya dan kehinaan dirinya, demi sebuah pengakuan atas cinta yang sesungguhnya. Ia melemparkan dirinya pada jurang yang sangat curam bukan untuk mati, tapi ia melemparkan dirinya untuk menguji kehebatan cinta yang bersemayam dalam dirinya, walau kadang ia mengeluh atas kesulitan yang ia hadapi karena sulitnya untuk meraih cintanya, seperti ia berjalan menuju kematian.
Cinta bukan lagi untuk dipikirkan dan ungkapkan tapi dirasakan, bagaimana ia menari-menari dan berlari di lautan matanya tanpa kepastian, sampai ia meninggalkan pikirannya untuk bercinta. Ia rela berlari dengan kegilaan cinta untuk mendapatkan pengakuan cinta, yang kemudian mampu dirasakan.
Walau tak butuh pengakuan, kadang ia butuh sapaan cinta, sapaan yang mampu mebuat dia tenang, walau kadang belaian tak ada, karena cinta bukanlah membelai, tapi bagaimana ia mampu menikmati sapaan cinta itu, dan menjadi sebuah energy untuk bangkit dan berjuang.
Dalam cinta ada kerelaan, pengorbanan, dan keihlasan. Cinta tak membutuhkan apapun, dan bahkan tidak mengharap apa pun, karena cukuplah bagi si pencinta keberadaan dirinya dalam hatinya, sehingga menjadi damai dan tenang. Karena krelaan itulah si pecinta rela melepaskan semuaya demi mengejar dan tenggelam dalam gelombang cinta, ketika cinta mampu menenggelamkan, tapi maukan dia untuk melakukan, ketika cinta begitu kuat mampukah ia masuk pada perangkap kekuatan itu, pecinta sangat ingin sekali masuk dalam perangkap dan tenggelam bersamanya, tapi mungkinkan ia mau untuk melakukannya.
Dalam cinta, tak mengenal menyerah, ia harus terus mereguk cinta itu, sehingga dalam puisinya Nizar ia menggambarkan “aku akan bakar seluruh perahu dibelakangku”, ini sama dengan ungkapan Abdurrahmi Al-Dhakhil ketika dalam posisi yang sangat sulit dalam menghadapi ribuan tentara musuh, mundur sebuah penghianatan maju bunuh diri, tapi setiap pemimpin memiliki pilihan yang harus dipilih, maka Al-Dhahil memilih membakar semua perahu yang dinaiki oleh tentaranya, agar mereka tidak mundur dan takut menghapami musuh, musatunya jalan adalah menang atau mati. Pilihan yang sulit kemduain menemukan solusi yang terbaik itulah, sehingga tentara Islam ini menang di Spanyol.
Walau cinta tidak dapat diprediksi apa yang akan terjadi, tetapi cinta dapat dibaca lewat gerak tubuh yang terbingkai, gerak tubuh pun juga terkadang tidak dapat dibaca, itulah misteri cinta. Walau tak mampu berbuat banyak dalam cinta, ia hanya berusa mengalir seperti air, walau ia tak mampu mngelir kerena dibendung, ia mampu menyerap. Apa yang dirasakan dalam puisi ini, ada kepasrahan total dalam cinta, walau dari awal dan terakhir dalam puisi ini ada pesimistis untuk mendapatkannya, tapi tetaplah ia tak mengurangi rasa cinta itu.
أحبك جداً
أحبك جدا
واعرف ان الطريق الى المستحيل طويل
واعرف انك ست النساء
وليس لدي بديل
واعرف أن زمان الحبيب انتهى
ومات الكلام الجميل
لست النساء ماذا نقول..
احبك جدا..
احبك جدا وأعرف اني أعيش بمنفى
وأنت بمنفى..وبيني وبينك
ريح وبرق وغيم ورعد وثلج ونار.
واعرف أن الوصول اليك..اليك انتحار
ويسعدني..
أن امزق نفسي لأجلك أيتها الغالية
ولو..ولو خيروني لكررت حبك للمرة الثانية..
يا من غزلت قميصك من ورقات الشجر
أيا من حميتك بالصبر من قطرات المطر
أحبك جدا واعرف أني أسافر في بحر عينيك دون يقين
وأترك عقلي ورأيي وأركض..أركض..خلف جنوني
أيا امرأة..تمسك القلب بين يديها
سألتك بالله ..لا تتركيني
لا تتركيني..
فما أكون أنا اذا لم تكوني
أحبك جدا ..وجدا وجدا وأرفض من نار حبك أن أستقيلا
وهل يستطيع المتيم بالحب أن يستقيلا..
وما همني..ئن خرجت من الحب حيا
وما همني ان خرجت قتيلا
أحبك جداً
وأعرفُ أني تورطتُ جداً
وأحرقتُ خلفي جميع المراكبْ
وأعرفُ أني سأهزُم جداً
برغم أُلوف النساء
ورغم أُلوف التجاربْ
أحبُكِ جداً ... !
وأعرفُ أني بغابات عينيكِ وحدي أحاربْ
وأني كـُكل المجانين حاولتُ صيد الكواكبْ
وأبقى أحبُك رغم اقتناعي
بأن بقائي إلى الآن حياً
أقاوُم حبُك إحدى العجائبْ
أحبُكِ جداً ... !
وأعرفُ أني أُغامر برأسي
وأن حصاني خاسرْ
وأن الطريق لبيت أبيكِ
محاصر بألوف العساكرْ
وأبقى أحبُك رغم يقـيـني
بأن التلفُظ باسمكِ كفر
وأني أحاربُ فوق الدفاترْ
أحبُكِ جداً ... !
وأعرفُ أن هواكِ انتحارْ
وأني حين سأكمل دوري
سيُرخى علي الستارْ
والقي برأسي على ساعديك
وأعرفُ أن لن يجـئ النهارْ
وأقنعُ نفسي بأن سُقُوطي
قـتيلٍ على شفـتيك انتصارْ
أحبُكِ جداً !
وأعرفُ منذُ البداية بأني سأفشل
وأني خـلال فصُول الرواية سأقـتل
ويحُمل رأسي إليكِ
وأني سأبقى ثلاثين يوماً
مُسجـى كطفلٍ على رُكبتيكِ
وأفرح جداً بروعة تلك النهاية
وأبقى أحبُكِ
أحبكِ جداً ... !!!
1. Analisis Bahasa Uhibbuki Jiddan
a. Pemilihan diksi
Diantara struktur fisik puisi adalah Diksi, ia meruapakan pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata. Geoffrey menjelaskan bahwa bahasa puisi mengalami 9 (sembilan) aspek penyimpangan, yaitu penyimpangan leksikal, penyimpangan semantis, penyimpangan fonologis, penyimpangan sintaksis, penggunaan dialek, penggunaan register (ragam bahasa tertentu oleh kelompok/profesi tertentu), penyimpangan historis (penggunaan kata-kata kuno), dan penyimpangan grafologis (penggunaan kapital hingga titik).
Dalam pemilihan diksi Nizar Qabbani sangat cermat dan sangat sistemtis, dan cocok dengan suasana, ia mampu melahirkan sugesti luar biasa. Bisa kita perhatikan dari judulnya Uhibbuki jiddan, jarang sekali ada kalimat seperti diatas, biasanya Uhibbuki syadida, atau innani uhibbuki, uhibbuki haqqa al-hubbi, uhibbuki kathira dan kata-kata lainnya, kalau penggunaan uhibbuki sudah biasa tapi yang menyertainya “ jiddan” sangat jarang sekali digunakan oleh para penulis, sehingga ketika saya membaca tema dari puisi ini, sudah tahu bahwa ini tulisan Nizar Qabbani, dari mana?dari diksi yang dipilihnya. Dengan tambahan jiddan Nizar mampu memberikan sugesti kepada para pembaca.
Pada puisi selanjutnya ia mampu memberikan kekuatan dalam kecintaannya dengan pengakuan “aku tahu” (a’rifu) yang diulangi beberapa kali : a’rifu anna thariq ila al-mustahil thawil, a’rifu annaki sitta al-nisa’, a’rifu anna zaman al-habib intaha, wa a’rifu anna wushul ilaiki.. ilaiki intihar, a’rifu anni tawarrattu jiddan, a’rifu anni saahzumu jiddan, a’rifu anni bighabati ‘ainik wahdi aharib, a’rifu anni ughamiru bira’si, a’rifu anna hawaki intihar, wa ‘arifu an lan yajia an-nahar, A’rifu mundzul bidayah bianni syaafsyalu, walau bersifat tidak pasti, tapi ia mampu memberikan kepastian di atas ketidakpastian, penggunaan a’rifu sungguh sangat tepat dibandingkan a’lamu. Dan peletakan a’rifu diletakkan setelah uhibbuki jiddan pada setiap bait puisi.
Dari kecintaan (uhibbuki) dan pengetahuan (a’rifu) kemudian disambung dengan laisa ladayya badilul (tiada bagiku pengganti), yang di dalamnya ada : rasa, pengakuan terhadap rasa, kemudian penginkaran. Ini juga terjadi pada pemilihan diksi berikutnya a’rifu, mata dan lastu. Ia mampu memberikan gelombang rasa dalam setiap kalimat dan bait puisinya, ia menulisnya tidak linier, ia selalu memberikan kejutan-kejutan, seperti pada baris selanjutnya : uhibbuki jiddan/.... uhibbuki jiddan wa a’rifu inni a’isyu bimanfiin/ wa anta bimanfiin wa baini wabainak../rihun, wabarqun,waghaimun,wa ra’dun,wa thaljun, wa narun.../wa..a’rifu annal wushul ilaiki ..ilaiku intihar...kesungguhan cinta yang ia suguhkan pada “engkau”, sampai meninggalkan kewujudan dirinya dan kehinaan dirinya, demi sebuah pengakuan atas cinta yang sesungguhnya. Ia melemparkan dirinya pada jurang yang sangat dalam bukan untuk mati, tapi ia melemparkan dirinya untuk menguji kehebatan cinta yang bersemayam dalam dirinya, walau kadang ia mengeluh atas kesulitan yang ia hadapi karena sulitnya untuk meraih cintanya, seperti ia berjalan menuju kematian : :/wa ilaiki intihar....dan rela untuk menghancurkankan dirinya demi sebuah pengakuan cinta, bahkan ia menggiring sang pujaan untuk membantu dirinya merobek dirinya demi cinta ;/anumazziqa nafsi liajlika ayyatuha al-ghaliyah.
Setelah ia mampu memberikan sugesti dari dua lirik sbelumnya dengan rasa, pengakuan dan penginkaran. Pada bait dan larik selanjutnya ia menciptakan suasana yang lebih romantis ;/uhibbuki jiddan/wa a’rifu anni usafiru fi bahri ainiki duna yakin/wa athruku a’li, wa ra’yi, wa arkudu ..arkudu khalfa jununy/; bagaimana ia menari-menari dan berlari di lautan matanya tanpa kepastian, sampai ia meninggalkan pikirannya untuk berfikir cinta padanya, ia tidak lagi memikirkan cinta tapi merasakan cinta. Ia rela berlari dengan kegilaan cinta untuk mendapatkan pengakuan cinta. Pemilihan diksi /usafiru fi bahri ‘ainik duna yakin/ mengganggambarkan luasnya harapan cinta yang dihembuskan oleh si aku, tapi karena ia mengetahu betapa sulit ditenggelamkan oleh lautan itu, maka ia menggunaka /duna yakin/walau luas tapi sulit dan penuh onak dan duri, akhirnya tak ada kepastian bagaimana cinta itu ditenggelamkan dan menemukan mutiara di dalamnya. Si Aku lirik rela melepaskan semuaya demi mengejar dan tenggelam dalam gelombang cinta,/ Aya imraah tamsaku qalba baina yadaiha/saaltuki billahi...la tatrukini.../ la tatrukini....ketika cinta mampu menenggelamkan, tapi maukan dia untuk melakukan, ketika cinta begitu kuat mampukah ia masuk pada perangkap kekuatan itu, si Aku lirik sangat ingin rekali masuk dalam perangkap dan tenggelam bersamanya, tapi mungkinkan si kamu lirik mau untuk melakukannya, karena ketakutan si Aku untuk tidak bisa tenggelam dan masuk pada perangkap, ia mengulang kata-kata /la tatrikini/..la tatrukini..jangan tinggalkan aku..jangan tinggalkan aku../fama akuna ana idza lam takuni/..bagaimana jadinya diriku, jika kau tak berada disisiku, pemilihan diksi sangat apik sekali. Karena ketakutan itulah ia kemudian mengulan jiddan beberapa kali, dan ini tidak biasa/uhibbuki jiddan..jiddan..jiddan wa arfadu minnari hubbiki an astaqila.
Pemilihan diksi dari setiap liriknya sungguh sangat menarik sekali, setiap kata yang diungkapkan selalu ada sugesti, memberikan nafas-nafas tersendiri pada setiap kalimat, ketika setiap kalimat mampu bernafas, maka bait-bait itu mampu menghembuskan kekuatan pesan yang luar biasa, pesan sulit diterima dengan baik, jika kata-kata dan kalimatnya mati. Pada lirik ini, Nizar mampu melakukan itu/uhibbuki/a’rifu anni tawarratthu jiddan/wa ahraqtu khalfi jami’al marakib/wa a’rifu anni sa’zumu jiddan/biraghmi ulufin nisa’i/wa raghama ulufi al-tajarib/. Aku mencintaimu, sebuah ungkapan yang menjadi ciri khas puisi ini, karena kesulitan untuk mendapatkan cinta itulah ia ungkapkan/ a’rifu anni tawarratthu jiddan/aku tahu ini sangat sulit bagiku, kemudian /ahraqtu khalfi jamial marakib/aku bakar seluruh perahu dibelakangku, kemudian saya teringat bagaimana Nizar menggunakan kata-kata yang menarik ini, sama seperti ungkapan Abdurrahmi Al-Dhakhil ketika dalam posisi yang sangat sulit dalam menghadapi ribuan tentara musuh, mundur sebuah penghianatan maju bunuh diri, tapi setiap pemimpin memiliki pilihan yang harus dipilih, maka Al-Dhahil memilih membakar semua perahu yang dinaiki oleh tentaranya, agar mereka tidak mundur dan takut menghapami musuh, musatunya jalan adalah menang atau mati. Pilihan yang sulit kemduain menemukan solusi yang terbaik itulah, sehingga tentara Islam ini menang di Spanyol. Ini juga terjadi pada pemilihan diksi Nizar/ahraqtu khalfi jamial marakib/karena kekuatan itulah ia rela membakar keinginan-keinginan lain untuk mendapatkan sang pujaan hati. Dia rela mengalahkan ribuan wanita yang merasuk dalam dirinya, hanya untuk mendapatkan sang pujaan hati, rela dicaci ribuan wanita demi pujian sang jantung hati /wa a’rifu anni saahzumu jiddan/biraghmi ulufin nisa’i/wa raghama ulufi al-tajarib.
Uhibbuki Jiddan/ ia mengawali larik keempatnya seperti larik-larik sebelumnya, Nizar mampu mengulah diksi puisi sangat menarik, walau maknanya sederhana, tapi permainan kata-kata yang ia gunakan mampu menggetarkan/wa a’rifu anni bighabati ainaiki wahdy uharib/waanni kakulli al-majanin hawaltu shaida al-kawakib/bagaimana perjuangan aku lirik sungguh luar biasa,ia menggambarkan aku lirik dikebun mata sangpujaan, sendiri berjuang menemukan kesejatian cinta menuju pujaan hati, dan aku lirik menggambarkan seperti orang-orang gila yang berusaha menjaring dan menangkap galaksi. Aku tetap mencintaimu dengan kesanggupanku, karena kekelanku sampai sekarang adalah kehidupan, aku jadikan cinta pada di antara keajaiban, itu diungkapkan dalam diksi yang cukup menarik/waabqa uhibbuki raghma iqtina’i/bianna baqai ila al-ann hayyan/uqawimu hubbuk ihda al-ajaib/. Pemilihan diksi yang menarik pertian dalam lirik ini, adalah rima ada pada kata-kata terkahir /uharib/al-kawakib/al-ajaib.
Dilarik yang kelima Nizar menggunakan diksi sangat cermat sekali, bagaimana baris pertama dan baris terakhir memiliki ketersambungan yang indah/uhibbuki jiddan/wa ‘arifu anni ughamiru biraksi/wa anna hishani khasirun/wa anna al-thariqa libaiti abiki/aku tahu, bahwa aku membanjiri pikiranku, pertahananku tak kuat lagi, dan jalan terang ada di gubuk bapakmu,yang dijaga ribuan laskar tentara, aku tetap mencintaimu dengan keyakinanku, karena menyebut namamu sebuah pengingkaran, dan aku berjuang di atas catatan-catatan.
Diksi yang dilakukan oleh Nizar kadang seperti gelombang sunami, kadang seperti pengantin yang lagi bermesraan, kadang seperti susunan mutiara yang dijejer di atas etalase. Ia mampu men-suasanakan kata dalam hakekatnya. Bisa kita lihat dalam larik terakhir /uhibbuki jiddan/ sebagai kata pembuka untuk mendendangkan kata dalam setiap lariknya, ini yang memberikan sensasi kepada para pembaca, bagaimana ia mengulang kalimat itu sampai dua belas kali dan indahnya ia menutupnya juga dengan /uhibbuki jiddan/ setelah ia memaparkan keinginan cinta, tapi dari awal ia sudah pesimis bahwa cintanya akan tertolak/wa a’rifu mundzu al-bidayah bianni syaafsyalu/ dan ia juga memprediksi ia tidak akan menang dalam memperoleh cintanya, terbunuh dalam memperjuangkannya, ia sudah benar-benar tergeletak bahkan sudah tak kuasa dalam percaturan cintanya/wa anni khilal fushul alriwayah saaqtulu/ ia juga mengimajinasikan bagaimana ia mengantarkan kepalanya kepangkuannya dan terdiam selama tiga puluh hari seperti anak kecil yang tenang di pangkuannya/wa yuhmalu ra’si ilaiki/waanni saabqa thalathina yauman/musja katihifli ‘ala rukbataiki/. Dan apa pun yang terjadi, aku lrik tetap bahagia walau dalam kegalauan sekalipun, dan kegalauan cinta itu pun dia rasakan sebuah kebahagiaan, dan tetap dalam mempertahankan cintanya/waafrahu jiddan birau’ati tilkan nihayah/wa abqa uhibbuki/uhibbuki jiddan.
b. Gaya bahasa
Selain pemilihan kata (diksi) yang cermat, Nizar Qabbani juga banyak menggunakan gaya bahasa. Ia menggunakan gaya bahasa untuk memberikan kesan-kesan tertentu, melahirkan keindahan, dan cara mengungkapkan pikirannya secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadiannya. Beberapa gaya bahasa yang ditemukan adalah : Metafora (isti’arah), simile (tasybih), Metonimia (kinayah), personifikasi, dan hiperbola.
- Isti’arah/Metafora : adalah bahasa kiasan sejenis perbandingan namun tidak menggunakan kata pembanding. Di sini perbandingan dilakukan secara langsung tanpa kata sejenis bagaikan, ibarat, laksana, dan semacamnya.
- Atruku a’li
- Tamsaku al-qalba
- Arfudu min nari hubbiki
- Ahraqtu khalfi jamia al-marakib
- Biraghmi uluf alnisa’
- Bighabati ainik wahdi uharibu
- Wainni kakulli almajanin hawaltu shaidal kawakib
- Yahmilu ra’si ilaiki
- Tasybih/Simile : adalah bahasa kiasan berupa pernyataan satu hal dengan hal lain dengan menggunakan kata-kata pembanding.
- Musja katifli ala rukbataiki
- Personifikasi/Penginsanan adalah gaya bahasa yang mempersamakan benda-benda dengan manusia, punya sifat, kemampuan, pemikiran, perasaan, seperti yang dimiliki dan dialami oleh manusia.
- An-umazziqa nafsi liajliki
- Bahru ainik
- Bighabati ainik wahdi uharibu
- Qatilun ‘ala syafataiki intisharun
- Metonimia/kinayah : bahasa kiasan dalam bentuk penggantian nama atas sesuatu.
- Wa inni uharibu fauqa aldafatir
- Hiperbola : adalah gaya bahasa berupa pernyataan yang sengaja dibesar-besarkan dan dibuat berlebihan.
- &nbssp; Uluf nisa’
- Uluf tajarib
- Kullu almajanin
- Muhashirin biuluf al-‘asakir
- Uharibu fauqa aldafatir
c. Versifikasi
Struktur fisik puisi Nizar Qabani ketika dilihat dari sisi versifikasi, ditemukan beberapa kalimat yang terkait dengannya. Versifikasi yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima mencakup : onomatope (tiruan terhadap bunyi), bentuk intern pola bunyi (aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi [kata], dan sebagainya (Waluyo), dan pengulangan kata/ungkapan. Ritma merupakan tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi. Ritma sangat menonjol dalam pembacaan puisi. Mitrum adalah variasi tekanan kata atau suku kata.
Kalau dalam bahasa Arab dikenal dengan Iqa’, beberapa bunyi yang ditemukan dalam uhibbuki jiddan adalah :
Dalam kajian rima ada pengulangan bunyi, penulis menemukan 12 kalimat / uhibbuki jiddan/ dari awal sampai akhir puisi yang diulang. Selain uhibbuki jiddan /adalah /a’rifu/ beberapa ungkapan dalam setiap bait puisi banyak didahului dengan kata ini, seperti ; a’rifu anna thariq ila al-mustahil thawil, a’rifu annaki sitta al-nisa’, a’rifu anna zaman al-habib intaha, wa a’rifu anna wushul ilaiki.. ilaiki intihar, a’rifu anni tawarrattu jiddan, a’rifu anni saahzumu jiddan, a’rifu anni bighabati ‘ainik wahdi aharib, a’rifu anni ughamiru bira’si, a’rifu anna hawaki intihar, wa ‘arifu an lan yajia an-nahar, A’rifu mundzul bidayah bianni syaafsyalu, pengulangan ini memberikan arti taukit (kesungguhan, keyakinan, kemantapan, dan kepercayaan), walau diulang-ulang ungkapan ini tidak membosankan, bahkan memberikan sensasi yang luar biasa, untuk menyatakan kesungguhan cinta yang mendalam, sang Aku lirik benar-benar menyatakan cintanya dengan kesungguhan. Kemudian /a’rifu/,walau tidak sama dengan /uhibbuki jiddan/ tapi kata ini memberikan efek yang luar biasa. Sebuah pengakuan akan pengetahuan dirinya terhadap kamu lirik. Dan itu semunya diungkapkan untuk menyatakan ketidakmampuannya untuk menembus cinta itu.
Kemudian bentuk interpola bunyi yang ada dalam puisi ini seperti 1)……narun, …..intiharun, 2)….. ghaliyah, …….thaniyah, 3)…. syajar ,….mathar, 4)....uharibu….Ajarib, 5) …Syaafshalu…saaqtulu. selain persamaan bunyi yang sama pada setiap akhir bait, juga panjang dan pendeknya sama. Ini menarik sekali jika kita membacanya dengan berpatokan pada tajwid yang benar. Dan juga penekanannya pada setiap huruf bisa menyentuh rasa. Ada persamaan awal seperti ya man ghazalat….., ya man hamiyyatuki……. Dan juga persamaan suara itu terjadi juga dalam tiga baris waanna hishani khasir/waanna thariq libaiti abiki/ muhashirun biulufin al’asakir/wa abqa uhibbuki raghma yakini/bianna altalafdha bismiki kufrun/waani uharibu faqa dafatir/.
Permainan bunyi kata raihun, barqun, ghaimun, ra’dun, saljun, narun,dalam satu kalimat juga sangat menarik sekali, walau hanya satu baris dalam puisi Nizar Qabbani. Tapi ini memberikan sentuhan dahsyat pada hati, apalagi dikaitkan dengan artinya.
2. Analisis makna
Setelah melalui tahap analisi form puisi Nizar Qabbani, sesuai dengan titik berat kajian new criticism. Maka penulis memiliki kesimpulan bahwa Nizar Qabbai berhasil mengolah kata dengan sangat baik, baik dari diksi (pemilihan kata), imagenary (metaphor, simile, onomatopea, dan sebagainya), paradoks, ironi, dan sebagainya. Puisinya hidup, memiliki makna dan sugesti yang cukup dalam. Ia mampu memberikan kejutan-kejutan dalam setiap baris puisinya. Membacanya serasa menaiki perahu di samudera, kadang dihadang angin, dihempas gelombang, dan kadang berjalan dengan tenang ditemani hembusan-hembusan angin yang semilir, ketika bergelombang tidak hanya disuguhi lautan, tapi panorama keindahan laut yang luar biasa. Kata-katanya mudah dimengeti, walau jalinan diksinya cukup rumit, tapi bukan berarti tidak indah, ia mengurai keindahan dalam kerumitan kata-kata itu.
Dalam kajian new criticism, bentuk sangat menentukan isinya. Dari form puisi Nizar Qabbani tersebut, penulis memiliki beberapa kesimpulan makna yang terkesan.
Ada ketidak pastian cinta yang ia inginkan, walau bersifat tidak pasti, tapi ia mampu memberikan kepastian di atas ketidakpastian, karena ada harapan yang tinggi untuk memperoleh cinta, ia rela mengehempaskan dirinya pada gelombang dan karang..
Nizar Qabbani benar-benar melebur dalam kehangatan cinta, bagaimana ia memainkan perasaan, kecintaan, dan pengetahuan kesungguhan cinta yang ia berikan sampai meninggalkan kewujudan dirinya dan kehinaan dirinya, demi sebuah pengakuan atas cinta yang sesungguhnya. Ia melemparkan dirinya pada jurang yang sangat curam bukan untuk mati, tapi ia melemparkan dirinya untuk menguji kehebatan cinta yang bersemayam dalam dirinya, walau kadang ia mengeluh atas kesulitan yang ia hadapi karena sulitnya untuk meraih cintanya, seperti ia berjalan menuju kematian.
Cinta bukan lagi untuk dipikirkan dan ungkapkan tapi dirasakan, bagaimana ia menari-menari dan berlari di lautan matanya tanpa kepastian, sampai ia meninggalkan pikirannya untuk bercinta. Ia rela berlari dengan kegilaan cinta untuk mendapatkan pengakuan cinta, yang kemudian mampu dirasakan.
Walau tak butuh pengakuan, kadang ia butuh sapaan cinta, sapaan yang mampu mebuat dia tenang, walau kadang belaian tak ada, karena cinta bukanlah membelai, tapi bagaimana ia mampu menikmati sapaan cinta itu, dan menjadi sebuah energy untuk bangkit dan berjuang.
Dalam cinta ada kerelaan, pengorbanan, dan keihlasan. Cinta tak membutuhkan apapun, dan bahkan tidak mengharap apa pun, karena cukuplah bagi si pencinta keberadaan dirinya dalam hatinya, sehingga menjadi damai dan tenang. Karena krelaan itulah si pecinta rela melepaskan semuaya demi mengejar dan tenggelam dalam gelombang cinta, ketika cinta mampu menenggelamkan, tapi maukan dia untuk melakukan, ketika cinta begitu kuat mampukah ia masuk pada perangkap kekuatan itu, pecinta sangat ingin sekali masuk dalam perangkap dan tenggelam bersamanya, tapi mungkinkan ia mau untuk melakukannya.
Dalam cinta, tak mengenal menyerah, ia harus terus mereguk cinta itu, sehingga dalam puisinya Nizar ia menggambarkan “aku akan bakar seluruh perahu dibelakangku”, ini sama dengan ungkapan Abdurrahmi Al-Dhakhil ketika dalam posisi yang sangat sulit dalam menghadapi ribuan tentara musuh, mundur sebuah penghianatan maju bunuh diri, tapi setiap pemimpin memiliki pilihan yang harus dipilih, maka Al-Dhahil memilih membakar semua perahu yang dinaiki oleh tentaranya, agar mereka tidak mundur dan takut menghapami musuh, musatunya jalan adalah menang atau mati. Pilihan yang sulit kemduain menemukan solusi yang terbaik itulah, sehingga tentara Islam ini menang di Spanyol.
Walau cinta tidak dapat diprediksi apa yang akan terjadi, tetapi cinta dapat dibaca lewat gerak tubuh yang terbingkai, gerak tubuh pun juga terkadang tidak dapat dibaca, itulah misteri cinta. Walau tak mampu berbuat banyak dalam cinta, ia hanya berusa mengalir seperti air, walau ia tak mampu mngelir kerena dibendung, ia mampu menyerap. Apa yang dirasakan dalam puisi ini, ada kepasrahan total dalam cinta, walau dari awal dan terakhir dalam puisi ini ada pesimistis untuk mendapatkannya, tapi tetaplah ia tak mengurangi rasa cinta itu.
أحبك جداً
أحبك جدا
واعرف ان الطريق الى المستحيل طويل
واعرف انك ست النساء
وليس لدي بديل
واعرف أن زمان الحبيب انتهى
ومات الكلام الجميل
لست النساء ماذا نقول..
احبك جدا..
احبك جدا وأعرف اني أعيش بمنفى
وأنت بمنفى..وبيني وبينك
ريح وبرق وغيم ورعد وثلج ونار.
واعرف أن الوصول اليك..اليك انتحار
ويسعدني..
أن امزق نفسي لأجلك أيتها الغالية
ولو..ولو خيروني لكررت حبك للمرة الثانية..
يا من غزلت قميصك من ورقات الشجر
أيا من حميتك بالصبر من قطرات المطر
أحبك جدا واعرف أني أسافر في بحر عينيك دون يقين
وأترك عقلي ورأيي وأركض..أركض..خلف جنوني
أيا امرأة..تمسك القلب بين يديها
سألتك بالله ..لا تتركيني
لا تتركيني..
فما أكون أنا اذا لم تكوني
أحبك جدا ..وجدا وجدا وأرفض من نار حبك أن أستقيلا
وهل يستطيع المتيم بالحب أن يستقيلا..
وما همني..ئن خرجت من الحب حيا
وما همني ان خرجت قتيلا
أحبك جداً
وأعرفُ أني تورطتُ جداً
وأحرقتُ خلفي جميع المراكبْ
وأعرفُ أني سأهزُم جداً
برغم أُلوف النساء
ورغم أُلوف التجاربْ
أحبُكِ جداً ... !
وأعرفُ أني بغابات عينيكِ وحدي أحاربْ
وأني كـُكل المجانين حاولتُ صيد الكواكبْ
وأبقى أحبُك رغم اقتناعي
بأن بقائي إلى الآن حياً
أقاوُم حبُك إحدى العجائبْ
أحبُكِ جداً ... !
وأعرفُ أني أُغامر برأسي
وأن حصاني خاسرْ
وأن الطريق لبيت أبيكِ
محاصر بألوف العساكرْ
وأبقى أحبُك رغم يقـيـني
بأن التلفُظ باسمكِ كفر
وأني أحاربُ فوق الدفاترْ
أحبُكِ جداً ... !
وأعرفُ أن هواكِ انتحارْ
وأني حين سأكمل دوري
سيُرخى علي الستارْ
والقي برأسي على ساعديك
وأعرفُ أن لن يجـئ النهارْ
وأقنعُ نفسي بأن سُقُوطي
قـتيلٍ على شفـتيك انتصارْ
أحبُكِ جداً !
وأعرفُ منذُ البداية بأني سأفشل
وأني خـلال فصُول الرواية سأقـتل
ويحُمل رأسي إليكِ
وأني سأبقى ثلاثين يوماً
مُسجـى كطفلٍ على رُكبتيكِ
وأفرح جداً بروعة تلك النهاية
وأبقى أحبُكِ
أحبكِ جداً ... !!!
Subhanallah,, ustadz...ana ingin juga belajar menganalisa karya saastra.. bisakah ustadz, belajr langsung sama jenengan,,
BalasHapustafaadaly, bir farhi wa surur
BalasHapusArtinya sekalian di share ustadz🙏🙏🙏🙏
BalasHapus