Kalau Tuhan ada di lagit, bagaimana aku menggapaiNya,
kalau Tuhan ada di mana-mana, bagaimana aku mampu menyatu denganNya, kalau
Tuhan dekat mengapa aku sering tak mampu berkomunikasi dengaNya.
Beberapa hari ini saya dibrondong pertanyaan tentang Tuhan oleh
anak saya. Pertanyaan biasa, namun cara menjawabnya yang tidak biasa,
membutuhkan energi untuk berfikir, jawabannya harus bisa memahamkan, dan juga benar. Saya harus mengingat-ingat kembali ilmu kalam
di Madrasah dulu, atau Teologi Islam yang diajarkan di
Perguruan tinggi, tapi pertanyaan itu juga menggelitik pikiran, karena
ditanyakan oleh anak sekecil seperti Nayif Azmy. Namun,
beberapa hari ini, pertanyaan itu agak sedikit terobati oleh Film di MNCTV
Raden Kian Santang, film anak kecil yang cukup baik, yang semuanya dimuarakan
pada Tuhan.
Pertanyaan-pertanyaan yang terlontar adalah; 1) Tuhan itu di mana,
kalau di Surga berarti Tuhan tidak di neraka, kalau Tuhan di langit, berarti di
bumi tidak ada Tuhan, kalau Tuhan di mana-mana berarti Tuhan banyak dong?,
2) Tuhan itu berapa, kalau Tuhan satu, bagaimana kalau tuhan mengurus sungai,
lautan, manusia dan lainya?, 3) Tuhan
itu dekat atau jauh, kalau dekat mengapa ada yang berkata, saya sudah jauh dari
Tuhan?.
Saya mencoba untuk menjawab pertanyaan anak saya tentang “ Tuhan
itu di mana, kalau di Surga berarti Tuhan tidak di neraka, kalau Tuhan di
langit, berarti di bumi tidak ada Tuhan, kalau Tuhan di mana-mana berarti Tuhan
banyak dong?”. Dialog lengkapnya tentang Tuhan seperti berikit ;
Saya bertanya, “Nayif, Tuhan itu di mana?”
“Tuhan itu di Surga bi” jawabnya
“kalau Tuhan di Surga, berarti di neraka atau di luar surga itu tidak
ada Tuhan?”
“oh, Tuhan itu di langit bi” ia mencoba untuk mencari jawaban yang
paling benar baginya, karena ia melihat langit yang luas, dan juga banyak orang
yang berdoa menengadah tangannya ke langit, ketika kecil pun saya juga menjawab
dengan jawaban yang sama, ketika ditanya tentang Tuhan saya sering menjawab
bahwa Tuhan di atas, kalau di atas berarti di langit.
“ Nayif, kalau Tuhan itu di langit, berarti Tuhan itu jauh dari
kita, dan Tuhan juga jauh dari bumi,
sedangkan kita di bumi, bagaimana Tuhan mengatur kita” jawabku.
“berarti Tuhan itu, ada di mana-mana”
“kalau Tuhan di mana-mana, berarti Tuhan punya
tempat?” sanggaku
“kalau seperti itu, Tuhan itu tak punya tempat
bi?” dia masih mengejar saya untuk menemukan jawaban.
Saya diam sejenak, mengingat-ingat puisi yang
pernah saya tulis “Tuhan Pun Berdzikir”, yang mungkin masih ada hubungannya
dengan ilmu Kalam, dan juga wihdat al-wujud, walau hal ini tidak pantas
saya terangkan pada anak saya.
“Nayif, tahu air dan gula?”
“Tahu bi, gula itu manis, dan air itu tawar?
jawabnya dengan tegas
“kalau saya bisa mengandaikan, Tuhan itu gula,
dan air itu kamu, apakah kau bisa membedakan antara air dan gula?”
“tidak bisa bi”?
“Nayif, tapi itu hanya pengandaian dan bukan
itu maksud saya”! saya memberikan pengandaian tersebut, agar dia hanya berfikir
tentang sesuatu yang lain.
“berarti Tuhan itu ada di setiap diri manusia dan
menyatu” jawaban ini, tidak saya inginkan, tapi muncul juga dari mulut si kecil,
bagaimana menjawab keberadaan Tuhan dan Tuhan itu satu. Saya teringat perkataan
Rumi “Uangkapan “Aku adalah Tuhan” bukanlah timbul
dari sifat meninggikan diri. Melainkan suatu kerendahan hati yang total.
Seseorang yang berkata “Aku adalah Hamba Tuhan” menyebutkan dua keberadaan,
dirinya dan Tuhan. sedangkan ungkapan “Aku adalah Tuhan” berarti peniadaan
diri, yakni, dia menyerahka keberadaan dirinya sebagai kekosongan. Dikatakan
“Aku adalah Tuhan” bermakna : “Aku tidak ada; segala sesuatu adalah Dia.
Keberadaan adalah Tuhan sendiri, aku bukan keberadaan sama sekali; bukan
apa-apa. “ pernyataan ini luar biasa, lebih dari pengakuan
segala kemulyaan. Sayangnya, banyak yang tidak memahami.
Saya bukan penganut wihdah al-wujud, tapi
mencoba untuk memahami penyatuan diri dengan TuhanNya, dan manusia tidak bisa
lepas dengat Tuhan di mana pun ia berada.
Jawaban di atas untuk anak si kecil nayif,
ternyata masih belum menangkap begitu jelas apa yang dimaksud Tuhan di
mana-mana, Tuhan itu satu tapi ada di berbagai tempat. Saya mencoba
mengilustrasikan lagi.
“Nayif, Tuhan itu satu apa dua” tanyaku
“Katanya abi dulu satu, ia satu dong”
jawaban yang polos
“kalau satu, apa Tuhan bisa berada dalam
setiap manusia”
“ia, berarti Tuhan itu banyak dong bi, Tuhan
sungai, Tuhan laut, Tuhan Manusia, dan setiap Tuhan memiliki tugas tersendiri,
seperti film Krisna, ada Dewa Matahari, dan dewa-dewa yang lain, betul tidak
bi?” ia masih ragu
“Nayif, coba sekarang keluar!” ia bergegas
keluar rumah
“coba lihat di atas sana, ada apa?”
“ada matahari bi!” jawabnya
“coba nayif, telpon temannya di Sumenep dan di
Mojokerto!, tanyakan pada mereka lagi lihat matahari di atas tidak, apakah
menyinari kampunya juga’ suruhku. Kemudian ia menelpon temannya, dan bertanya
seperti yang saya suruh.
“bi, katanya mereka, mataharinya sama
menyinari kampungnya” jawabnya masih kebingungan.
“Nayif, matahari itu satu, tapi bisa menyinari
berbagai tempat, seperti itulah Tuhan, Ia tidak harus banyak untuk berada dalam
setiap diri manusia, Ia tidak harus banyak untuk bisa menggerakkan semua yang
ada di bumi, di langit dan lainnya”
“ oh, gitu ya bi” ia mulai memahami apa yang
di maksud Tuhan Satu, dan Tuhan itu di mana.
Pembaca yang lagi termenung, masih banyak
pernyataan-pertanyaan yang muncul dari si kecil, tapi kadang kita mampu
memjawabnya, kalau dijawab dengan penuh filosofis, mereka juga kebingungan,
kalau dijawab dengan terlalu sufistik mereka juga semakin bingung, apalagi
dengan ilmu kalam dan teologi. Maka, kita menjawab sesuai dengan kemampuan
mereka.
Berlanjut pada edisi berikutnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar