Sabtu, 09 Juni 2012

MEMBACA PUISI HERI CAHYO

[Kata Pengiring] It's been a Decade
 Halimi Zuhdy *)


………Berikan aku satu kata puisi daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi yang kukasih. Angkasa ini bisu. Angkasa ini sepi. Tetapi aku telah sampai pada tepi. dar mana aku tak mungkin lagi kembali. (soebagio Sastrowarjono).


Puisi, sebagai wakil hati dan pikiran, atau ekspresi dari dalam diri seseorang. Tidak heran, jika puisi selalu memberikan kejutan-kejutan nada dan cinta, rindu dan kebencian, kasih dan permusuhan, juga sering menjelma kata-kata yang sangat menakjubkan, kadang sang penulisnya tidak merasa bahwa puisi terbang begitu tinggi tak kenal bumi, tapi terasa menyentuh bahkan tenggelam dalam perut bumi.



Terkadang ungkapan puisi keluar dengan rasa dan prasa, sehingga membuat hati merdecak begitu dahsyat, membiarkan angan melalang buana menemui malaikat yang selalu memberikan warna, menghentak-hentak seakan ia bergelombang bersama sunami. Puisi adalah warna perasaan kita, hentakan dan kesedihan hati terukir lewat baris-baris bermakna, membumbung memenuhi kertas putih yang kemudian menjadi begitu indah ketika terbaca, huruf demi huruf seperti gelombang bergumul bergulung menuju pantai asmara.

Puisi dengan berbagai ekspresi menunculkan sejuta aksi, puisi tanpa ekspresi pun akan memberikan ribuan kunci menuju pintu-pintu yang tak pernah rapat terkunci, terbuka masuk tanpa sang juru kunci yang melibatkan hati, pikiran dan aksi.Setiap insan yang masih punya kesadaran diri, ia akan mampu menyerap diri yang kemudian dimunculkan lewat hentakan hati, dan memunculkan aksi lewat hamparan tangan dan dengungan suara.

Puisi sebenarnya bukan merupakan karya yang sederhana, melainkan organisme yang sangat kompleks. Puisi diciptakan dengan berbagai unsur bahasa dan estetika yang saling melengkapi, sehingga puisi terbentuk dari berbagai makna yang saling bertautan. Dengan demikian, pada hakekatnya puisi merupakan gagasan yang dibentuk dengan susunan, penegasan dan gambaran semua materi dan bagian-bagian yang menjadi komponennya dan merupakan kesatuan yang indah, demikian kata Abrams.

Puisi memancarkan seribu aura, memunculkan cahaya, dan menebar kesejukan dari dunia lain, yang pembacanya mampu menundukkan perasaannya untuk selalu bernostalgia dengan kata-kata yang terbingkai dalamnya. Emily Dickenson mengatakan “kalau aku membaca sesuatu dan dia membuat tubuhku begitu sejuk sehingga tiada api yang dapat memanaskan aku, maka aku tahu bahwa itu adalah puisi. Hanya dengan cara inilah aku mengenal puisi’. Puisi mampu membakar semangat, meneriakkan kesungguhan, menancapkan ego dan menumbuhkan keagungan. Byron dalam bukunya menulis “puisi adalah lava imajinasi yang letusannya mencegah timbulnya gempa bumi.”

***
            Membaca sajak Heri seperti berlabuh dalam samudera makna, ia tak hanya memoles kata dengan perasaannya, bermain dengan diksi yang jelimet, berbunga-bunga pada setiap kalimatnya, tapi ia mampu memberikan kecupan demi kecupan realitas kehidupan, dan tidak sulit mencuri makna dalam setiap kecupannya. seperti puisinya yang berjudul “Kelaparan”

ada yang bilang kelaparan membunuh
yang lain menyatakan kelaparan menghancurkan
lainnya lagi berkata kelaparan membuat sekarat
tetapi Yang Maha Satu mengisyaratkan adalah bukti cinta 


dalam sajak ini Heri, lebih memadatkan makna, dari pada bermain-main dengan kata-kata, walau puisi tidak lepas dari pemilihan diksi yang lebih fantastis dan memiliki ambiguitas yang tinggi, karena semakin ambigu suatu puisi, ia semakin indah. Pemahaman keindahan sering kali, haya dilihat dari diksi saja, tanpa melihat makna yang termaktup di dalamnya, kadang kata-katanya bermutiara namun tak memiliki makna, tidak ada pesan  yang  disampaikan,  kata-kata langit atau dandan dijadikan tujuan, bukan dijadikan alat untuk menuju pesan yang sebenarnya, sehingga menjadi puisi kosong, atau sebaliknya makna yang jelas dan benar-benar jelas, namun tidak menghiraukan diksi.  Saya tidak bisa menghakimi mana yang disebut puisi indah, puisi yang baik dan benar,   tapi secara garis besar  puisi itu benar-benar bisa disebut puisi kalau ia mampu memberikan makna dengan ukiran kata-kata yang indah. Kemudian apakah kata-kata yang tidak indah tidak bisa disebut puisi, belum tentu, karena ada yang mementingkan makna tanpa menghiraukan diksi, tapi ini juga bisa disebut puisi, indah dan tidak kembali pada penilaan pembaca. Biarkan puisi yang terpampang dinilai dan dihukumi oleh pembaca. Karena setiap orang memiliki alasan tersendiri untuk menyebut itu puisi.

Kesederhanaan kata-kata yang digunakan Heri, mampu dibaca oleh berbagai tingkatan, baik pemula, menengah dan para penyair. Apalagi puisi Heri terdiri dari dua bahasa, yang sangat pdting untuk pembelajar bahasa Inggris sebagai media pembelajaran. Pembelajaran sastra melalui karya sastra (puisi).


***
Puisi lebih dari pada karya tulis lain merupakan sebuah otentik yang mencakup banyak nilai di antara yang pokok nilai estetik dan etis. Puisi itu milik nurani manusia, maka siapapun berhak menulisnya. Tiada batas dan sekat bagi orang-orang yang ingin menuliskannya, tidak pernah pandang bulu, pandang suku dan pandang latar belakang, mereka berhak menuliskan, mengalirkan rangkaian kata-kata dengan seluruh semangat jiwa, hati dan pikiran mereka. Tukang becak, guru, siswa, buruh bahkan kyiai pun berhak mengungkapkan deraian kata dengan tetesan-tetesan tinta pada dalam lembaran-lembaran kertas. Ini yang dilakukan Heri dalam puisi-puisinya nya, ia benar-benar memainkan hati nuraninya untuk menulis kata perkata,  dengan anding relejiguitas yang menjadi ciri khasnya.

Seperti dalam puisi Ayah, Rintik Hujan, Badai Malam Hari, Hakekat Ujian, Allah Allah Allah, Sepasang pengamen Bisu, dan masih banyak puisi-puisinya yang mengandung sufistik, sebuah perenungan yang sangat dalam, dengan hati nurani yang menjadi acuan.

Puisi yang ditulis dengan hati nurani, akan memancarkan seribu cahaya, memiliki arti keagungan dan dapat menyejukkan, ia akan selalu berbingkai kebenaran dalam larik-lariknya. Hati nurani adalah berita kebenaran yang kadang tidak terungkap dalam realitas, puisi, ladang mengungkapkannya, ia mampu menyiratkan makna, membersitkan makna, sehingga pembaca mampu mengambil hikmah dari kata-katanya. Islah Gusmian, mengatakan “ adakah yang lebih bening dari mata hati, kala ia menegur kita tanpa suara. Adakah yang lebih jujur dari nurani, saat ia menegur kita tanpa kata-kata. Adakah yang lebih tajam dari mata-hati, ketika ia menghentak kita dari ragam kesalahan dan alpa. Barangkali kata itu yang pantas untuk mewakili puisi-puisi Heri Cahyo.


***

Percy Bysche Shelly seorang penyair masyhur berkata, puisi adalah rekaman dari saat-saat yang paling baik dan paling menyenangkan dari pikiran-pikiran yang paling baik dan paling menyenangkan. Rekaman perasaan dan peristiwa menjadi indah, jika untaian kata tertata menjadi rangkaian puisi, membaca puisi Heri, seperti membaca peristiwa diri dan kedirian seseorang, bahkan merekam percikan-percikan paling yang terjadi dalam diri. Seperti puisi 11 Juni :

kadang ...
terasa sangat sulit menemukan
setiap tersandung batu kecil

"apa yang membuat kita kuat?"
begitu kita bertanya

kita cari jawabnya
di ujung langit
hanya untuk mencari
sedikit arti,
arti tentang kebersamaan

ketika kita menemukannya
dan kemudian merayakannya

berpadu hati
begitu kami temukan

ku lihat lagi
ke sisi lain

ada ..
tiga bayangan berbaring disamping kita
itulah cinta kita

wajah-wajah itu
yang menambat hatiku di rumah
rumah cinta ..

terima kasih sayangku
tlah menemaniku
lalui tahun-tahun
yang terkadang muram

sebuah pengungkapan yang tulus, memancarkan cahaya kesetiaan yang tinggi, setiap kata serasa ada kedekatan dengan pribadi-pribadi yang dituju, ia tidak hanya mengungkapkan kata, tapi mampu merahasiakannya, dan kemudian ia belai dengan kalimat-kalimat cinta yang begitu indah. Walau tak mengandung intuisi yang melejit, ia mampu memberikan tetesan-tetesan inspirasi dan evaluasi dari diri bagi pembacanya.


***
Puisi juga menjadi penghias kehidupan, ia menaburkan benih-benih cinta, menguap rasa, menjalarkan kerinduan, mengatakan hakekat yang terbungkus kalimat yang indah. Jassin seorang kritikus sastra Indonesia mengatakan bahwa puisi ialah pengucapan dengan perasaan…dalam puisi itu pikiran dan perasaan seolah-olah bersayap, ditambah lagi oleh syarat-syarat keindahan bahasa tinggi rendah tekanan suara (ritme). Bunyi dan lagu. Puisi ialah pelahiran manusia seluruhnya, manusia, agung dengan pikiran dan perasaannya. Tapi, puisi menjadi hambar dan tak pernah punya taring, jika ia hanya mengungkapkan dengan kata-kata klise, berbunga-bunga, namun tak ada rasa yang kuat dalam setiap kata, puisi menjadi. Hampa!

  Puisi “Ini Yang Kubisa” mungkin menjadi contoh sederhana bagaimana Heri Cahyo mempermainkan perasaannya dengan untaian kata indah.

maafkan aku
beginilah yang aku bisa
saat mencintaimu,
tanpa kata-kata indah
dan untaian  bunga,
tapi sekedar tatapan mata
peredam rindu. 

Puisi pendek ini yang paling saya suka dari puisi-puisi heri, walau tidak panjang, saya mampu menemukan perasaannya yang menngelanyut dalam dirinya, dan endingnya yang sangat menarik : tapi sekedar tatapan mata, peredam rindu.


***

Abdul Wahib, menjelaskan bagaimana puisi itu dapat dilahirkan dengan baik dan hasil yang memuaskan, menurutnya dalam proses melahirkan sebuah puisi, ada tiga faktor yang harus digaris bawahi, yakni; pikiran, perasaan dan khayal. Ketiga faktor ini bekerja sama di bawah disiplin keselarasan. Sehingga membenihkan sebuah hasil karya yang berhasil dan dapat dinikmati. Kerja seorang penyair dalam hal ini adalah membina ketiga unsur tersebut kemudian menatanya menurut sistem-sistem tertentu. Demikian ide kreatif Heri Cahyo, ia melakukan perenungan ketika melihat sebuah peristiwa yang ada disekitarnya, kemudian memainkan perasaannya dengan baik, yang kadang daya hayalnya begitu menggelora.

Puisi tak ubahnya makhluq hidup yang kekal. Dia memiliki roh dan taqdir sendiri, kalau penyair suatu waktu meninggalkan dunia. Maka puisinya akan hidup terus sampai sejarah mengubur, dan nasib penyair menjadi tragis ketika tak sempat tahu bagaimana nasib puisinya, karena puisi belum tentu menjadi bagian dari darah dagingnya. Para penyair boleh mati, akan tetapi puisi melampaui usia penyair itu sendiri.

Puisi akan selalu menyisakan seribu pemaknaan dan penafsiran, ia tidak akan pernah utuh ditafsirkan karena pesona yang selalu melekat dalam kata-katanya. larik-lariknya tak tersekat oleh kebakuan bahasa, dia bebas menerbangkan sayap-sayap maknanya .[ ].



Halimi Zuhdy *) :  Mursyid Toriqot Sastra - Kandidat Doktor Bahasa Arab UIN Maliki

Tidak ada komentar:

Posting Komentar