Senin, 11 Juni 2012

ATAS NAMA HATI NURANI

Membaca Sajak-sajak W. Muttaqien Ahmad
(SAJAK-SAJAK PERLAWANAN, PERGULATAN, KESAKSIAN, DAN CINTA)
Halimi Zuhdy*)
Selanjutnya sampaikan simpatiku pada pra pendosa, para pemain gagah-penantang para tuannya, dan selalu bertanya apa ini semua. Apakah aku menggenapkan atau mengganjilkan, atau di sini aku Cuma untuk berkeringat, lain tidak. Setan, you aturlah!  (W. Muttaqien).
            Sampai pada sebuah dunia yang teramat maya, aku berani untuk percaya, yang kekal hanya cita-cita (W. Muttaqien)

Dalam  kehidupan sehari-hari pengalaman-pengalaman kita memasuki atau menciptakan berbagai peristiwa tidak pernah jelas. Artinya, pengalaman-pengalaman itu tidak pernah mencapai bentuknya secara kongkret : pengalaman hampir selalu dalam kondisnya yang in abstrcto. Bagai seorang novelis atau cerpenis, membangun struktur naratif sebuah novel atau cerpen hampir sama dengan memberi bentuk pada pengalaman yang dimilikinya itu. Demikian juga penyair, menulis puisi pada hakekatnya merupakan suatu proses pemberian bentuk pengalaman itu lewat bahasa pilihannya (A. Suyuti). Oleh karena itu, mungkin ada benarnya tatkala Altenbernd mengatakan bahwa poetry as the interpretative dramatization of experience; atau Shelly yang mengatakan bahwa puisi merupakan rekaman detik-detik paling indah dalam hidup; atau Supardi Djoko Damono yang beranggapan bahwa puisi merupakan unikum atau hasil pengamatan unik seorang penyair .
            Puisi-puisi  W. Muttaqin Ahmad (selanjutnya WMA) menggambarkan sebuah peristiwa yang sangat kompleks, baik peristiwa batin atau peristiwa dahir, peristiwa batin yang saya maksud; adalah perenungan, releguitas, pergolakan hati dan pemikirannya. Sedangkan peristiwa dahir , seperti  ketimpangan sosial, ketidakadilan, kebobrokan pemerintah dan lainnya.  
Antologi puisi yang berjudul : bung! Ini adalah rekaman peristiwa yang baik oleh WMA. Bagaimana ia berkelindan dengan kata, memilih diksi yang sangat apik dalam setiap peristiwa tersebut, kata-kata biasa menjadi bermagis, sehingga membuncahkan makna yang begitu dalam, dan menghipnotis pembacanya. Seperti puisi  : 2 Baris Tentang Struktur Dan Progres Atau Cuma Sebuah Kemungkinan Yang Tersisa Adalah KerjaSuatu Terjadi Padaku Kemarin Terjadi Padamu Esok di Tempat Yang Sama, Sajak Perjalanan, Hari Besar, Kisah Nun, Jarusalem, Membaca Perang, Blues Ramadhan, Jakarta 27, Yang Mati Begitu Saja, Terlalu Tua Untuk Puisi.  
pada mulanya kata-kata dipekerjakan
kemudian ia berubah menjadi tuan
            puisi di atas, yang berjudul  2 Baris Tentang Struktur dan Progres Atau Cuma Sebuah Kemungkinan Yang Tersisa Adalah Kerja puisi yang tidak begitu panjang tapi memiliki makna yang cukup dalam, bagaimana WMA mengulahnya, menyerapnya, kemudian ia melontarkannya menjadi kekuatan tersendiri /pada mulanya kata-kata dipekerjakan/ ia mengaggap kata-kata pada awalnya sebuah kata biasa, yang diolah, kemudian disebar untuk memberikan manfaat kepada halayak, atau bagaimana kata-kata itu hanya sebagai sebuah wasilah untuk menuangkan hasrat, dan dapat memberikan konstribusi perubahan. Tapi/ kemudian ia berubah menjadi tuan/ di sinilah kekuatan puisi ini, bagaimana kata itu dituankan, bahkan di Tuhankan, kata-kata tidak lagi diperintah tapi memerintah, bahkan ia mempermudak penulisnya, bukan lagi tunduk terhadap semua misi yag ia bawa, tapi menjadi neraka dari kata-katanya, ia menuliskan kata-katanya untuk sebuah konspirasi kehinaan, ia rela melepas kehormatan demi sebuah kata-kata yang dituangkan, ia ridha menjual agamanya hanya dengan kata-kata murahan, ia menjadi binal dengan kata-kata yang tak pernah memberikan manfaat pada dirinya, kata-kata bukan lagi menuntun, tapi menjerumuskan, bukan lagi sinar tapi kegelapan.
            Saya membaca, bahwa WMA memandang  kata-kata sebagai alat yang memberikan kemanfaatan, bukan kata-kata yang kemudia di Tuhankan, yang pada akhirnya kata-kata menjadi sebuah musibah.  Saya mengaitkan puisi WMA tadi dengan tugas puisi, puisi bukan hanya untuk puisi, tapi puisi adalah untuk perubahan. Karena Puisi tak ubahnya makhluq hidup yang kekal. Dia memiliki roh dan taqdir sendiri, kalau penyair suatu waktu meninggalkan dunia. Maka puisinya akan hidup terus sampai sejarah mengubur, dan nasib penyair menjadi tragis ketika tak sempat tahu bagaimana nasib puisinya, karena puisi belum tentu menjadi bagian dari darah dagingnya. Para penyair boleh mati, akan tetapi puisi melampaui usia penyair itu sendiri.
Muhammad Sobary, seorang kolumnis pernah meneriakkan dalam kolomnya “Sastra, Ideologi, dan Dunia Nilai”, puisi membikin lembut cita rasa hidup kita. Puisi menawarkan pilihan dan membuka peluang memperbesar watak humanis kita, dan menghargai manusia dengan harga kemanusiaannya. Saya kira puisi membantu manusia menjadi manusia.
Tapi mengapa puisi dijauhkan dari hidup kita, seolah puisi penyakit menular dalam sekali sentuh “kusta”? siapa yang menjauhkan kita dari puisi? Mengapa Menteri Pendidikan membiarkan pendidikan buruk ini berlangsung di depan kita, dan tak ada yang berteriak mengenai perlunya pendidikan kesusastraan yang memadai agar anak-anak mengerti puisi.
Mengapa penerbit-penerbit tak mau menyumbang bangsanya dengan menerbitkan puisi gratis, atau menjualnya dengan harga murah supaya warga Negara menjadi lebih pintar, lebih sensitive, lebih manusiawi?. Mengapa para banker kikirnya luar biasa terhadap warga negara baik-baik, tapi luar biasa pemurah hatinya kepada pembobol bank dan par` penipu yang biasa mereka bangkrut.
Ini kemudian yang saya pahami dari Puisi WMA/“pada mulanya kata-kata dipekerjakan/kemudian ia berubah menjadi tuan” kata bukan hanya untuk memuaskan nafsu, menikmati kata, bernostalgia dengan paragraf-paragraf, menentramkan hati dan pikiran, namun lebih dari itu puisi dipergunakan sebagai alat revolusi, kemerdekaan dan perubahan. Puisi sebagai ekspresi kemerdekaan, tidak hanya cuma buat hal-hal yang menentramkan, sebab ia juga bisa muncul menggelisahkan. Gunawa Muhamamd pernah berkata, Saya tidak bisa cuma memilih hidup kreatif, tapi sementara itu tidak bersedia untuk, seperti Adam, dilemparkan dari sorga yang menentramkan ke dunia penciptaan yang resah”.
Dalam puisi yang lain :
puisi yang kau bilang omong kosong itu
campuran hati, jali, lemak usia, batuk, 40 helai uban
suatu saat, mungkin-kau baru bisa mengerti
usia puisi bergantung pada kefasihan bunyi
yang lindap diantara isi dan imaji

puisi yang kau kutuk itu
melulu Aju, masa lalu, dan sekaum asing
kata yang memang setengah mampus
untuk hidup di belantara dusta
yang samar makna dan mulanya

puisi yang kau harapkan itu
enggan datang di belukar nalar
yang alpa merasai katakata seperti
dingin garpu di piring kosongmu
yang gemetar menantang lapar

Puisi akan selalu menyisakan seribu pemaknaan dan penafsiran, ia tidak akan pernah utuh ditafsirkan karena pesona yang selalu melekat dalam kata-katanya. larik-lariknya tak tersekat oleh kebakuan bahasa, dia bebas menerbangkan sayap-sayap maknanya.
Percy Bysche Shelly seorang penyair berkata, puisi adalah rekaman dari saat-saat yang paling baik dan paling menyenangkan dari pikiran-pikiran yang paling baik dan paling menyenangkan. Rekaman perasaan dan peristiwa menjadi indah, jika untaian kata tertata menjadi rangkaian puisi, membaca puisi WMA, seperti membaca peristiwa diri dan kedirian seseorang, bahkan merekam percikan-percikan paling istimewa yang terjadi dalam diri.
sebuah pengungkapan yang tulus, memancarkan cahaya kesetiaan yang tinggi, setiap kata serasa ada kedekatan dengan pribadi-pribadi yang dituju, ia tidak hanya mengungkapkan kata, tapi mampu merahasiakannya, dan kemudian ia belai dengan kalimat-kalimat cinta yang begitu indah. Walau tak mengandung intuisi yang melejit, ia mampu memberikan tetesan-tetesan inspirasi dan evaluasi dari diri bagi pembacanya.

****
Puisi dilahirkan untuk melawan kemungkaran, kerakusan,  kebobrokan, ia bukan hanya sebuah pemanis dunia, penghilang rasa penat, atau hanya sebuah sabu-sabu yang membuat pembacanya sakau, atau penulis itu sendiri terjebak dengan kata-kata yang dituliskan.
            Puisi adalah kelahiran yang sempurna dari hati, pikiran dan khayal. Meskipun selalu tampak keanihan-keanihan dan penyimpangan (distorting) dari bahasa yang lazim dipergunakan, namun dengan keanihan itulah, puisi dapat membebaskan dirinya dari keakraban dan kungkungan, sehingga ia mampu menunjukkan realitas yang sebenarnya. Kelahirnya membuat rongsokan baru, suasana baru, penciptaan baru (creating) pencerahan, dan revolusi pikiran, batin dan diri.
saya sangat terkesan dengan puisi WMA yang berjudul : TERLALU TUA UNTUK PUISI
ia menggambar noda. di geligi dan sepatunya. noda yang sudah
berumur. menutupnya di bawah daun pepaya. kemudian memasaknya
bersama telur-telur berisi puisi. sebuah puisi yang cuma berisi gambar-gambar
yang mirip kepala. tubuhnya terlalu sepuh untuk melakukan perjalanan
yang mulai kadaluarsa. ia memilih bertelur saja. telurnya disiapkan untuk
sarapan. ia memasak dengan sangat lama. membumbuinya dengan uap
keringat yang telah menjadi noda di sela ketiak seorang presiden yang
selalu bangun kesiangan. waktu makan presiden sering bernyanyi.
ia menyanyi mentah saja sejak telurtelurnya lebih dulu mendalu. ia
memasak sendiri telur di wajahnya. orangorang memandangnya sampai
jatuh waktu. telurtelur gugur satusatu membatalkan diri.

ia menggendong noda di klise dan warna petang. mencari penginapan.

Ini sebuah keritik cerdas, dengan pemilihan diksi yang sangat baik, dengan andding yang baik pula. ia menggendong noda di klise dan warna petang. mencari penginapan.

Puisi sebenarnya bukan merupakan karya yang sederhana, melainkan organisme yang sangat kompleks. Puisi diciptakan dengan berbagai unsur bahasa dan estetika yang saling melengkapi, sehingga puisi terbentuk dari berbagai makna yang saling bertautan. Dengan demikian, pada hakekatnya puisi merupakan gagasan yang dibentuk dengan susunan, penegasan dan gambaran semua materi dan bagian-bagian yang menjadi komponennya dan merupakan kesatuan yang indah (Abrams).  Itulah yang dilakukan oleh WMA dalam beberapa puisinya, walau dalam beberapa puisinya yang lain keterpautannya masih belum jelas, seperti puisi Peringatan, Hening, dan Permainan.
****
Membaca puisi WMA seperti berlabuh dalam samudera makna, ia tak hanya melipstik kata dengan perasaannya, bermain dengan sampul yang jelimet, berbunga-bunga pada setiap kalimatnya, tapi ia mampu memberikan kejutan, kecupan, pesona  realitas kehidupan, dan tidak sulit mencuri makna dalam setiap kecupannya. seperti puisinya yang berjudul “PADAMU”
doaku sampaikah padamu
yang kupetik dari pagi
dan kudatangi lewat laku
sayangku, semakin ajal
segala terjal segala kental
kubawa padamu

         &nbrp;  ia memilih kata-kata begitu cermat, ada masa yang ia lipatkan, bagaimana ia mencintai seseorang dengan sepenuh hati, mendoakan dalam setiap seloroh, ia rela berkorban hanya atas nama kasih sayang. Dalam sajak ini, WMA lebih memadatkan makna, dari pada bermain-main dengan kata-kata, walau puisi tidak lepas dari pemilihan diksi yang lebih fantastis dan memiliki ambiguitas yang tinggi, karena semakin ambigu suatu puisi, ia semakin indah. Pemahaman keindahan sering kali, haya dilihat dari diksi saja, tanpa melihat makna yang termaktup di dalamnya, kadang kata-katanya bermutiara namun tak memiliki makna, tidak ada pesan  yang  disampaikan,  kata-kata langit atau dandan dijadikan tujuan, bukan dijadikan alat untuk menuju pesan yang sebenarnya, sehingga menjadi puisi kosong, atau sebaliknya makna yang jelas dan benar-benar jelas, namun tidak menghiraukan diksi.  
Saya tidak bisa menghakimi mana yang disebut puisi indah, puisi yang baik dan benar,   tapi secara garis besar  puisi itu benar-benar bisa disebut puisi kalau ia mampu memberikan makna dengan ukiran kata-kata yang indah. Kemudian apakah kata-kata yang tidak indah tidak bisa disebut puisi, belum tentu, karena ada yang mementingkan makna tanpa menghiraukan diksi, tapi ini juga bisa disebut puisi, indah dan tidak kembali pada penilaan pembaca. Biarkan puisi yang terpampang dinilai dan dihukumi oleh pembaca. Karena setiap orang memiliki alasan tersendiri untuk menyebut itu puisi. ini yang pernah saya singgung dalam tulisan Penyair Salon, sebuah judul puisi yang saya ambil dari sajak Rendra.

****
Puisi lebih dari pada karya tulis lain merupakan sebuah otentik yang mencakup banyak nilai di antara yang pokok nilai estetik dan etis. Puisi itu milik nurani manusia, maka siapapun berhak menulisnya. Tiada batas dan sekat bagi orang-orang yang ingin menuliskannya, tidak pernah pandang bulu, pandang suku dan pandang latar belakang, mereka berhak menuliskan, mengalirkan rangkaian kata-kata dengan seluruh semang`t jiwa, hati dan pikiran mereka. Tukang becak, guru, siswa, buruh bahkan kyiai pun berhak mengungkapkan deraian kata dengan tetesan-tetesan tinta pada dalam lembaran-lembaran kertas. Ini yang dilakukan WMA dalam puisi-puisinya nya, ia benar-benar memainkan hati nuraninya untuk menulis kata perkata.
Seperti : 99 Sajadah, Rambut Takdirku, Sang Penyair, Dunia Itu Tuna, Dusta Dalam Kaca, Suatu Pagi Bersama Satir, Masih Ada tapi, Suatu pagi Sebuah Kerinduan, Careful With That Axe Agung, dan Hari Besar. Bukan hanya judul-judul tadi yang begitu menggoda, tapi masih banyak puisi-puisi yang lainnya, menggoda untuk semakin memperdalam maknanya.
Puisi yang ditulis dengan hati nurani, akan memancarkan seribu cahaya, memiliki arti keagungan dan dapat menyejukkan, ia akan selalu berbingkai kebenaran dalam larik-lariknya. Hati nurani adalah berita kebenaran yang kadang tidak terungkap dalam realitas, puisi, ladang mengungkapkannya, ia mampu menyiratkan makna, membersitkan makna, sehingga pembaca mampu mengambil hikmah dari kata-katanya. Islah Gusmian, mengatakan “ adakah yang lebih bening dari mata hati, kala ia menegur kita tanpa suara. Adakah yang lebih jujur dari nurani, saat ia menegur kita tanpa kata-kata. Adakah yang lebih tajam dari mata-hati, ketika ia menghentak kita dari ragam kesalahan dan alpa. Barangkali kata itu yang pantas untuk mewakili puisi-puisi WMA.
***
Setelah saya menulusuri lebih dalam puisi-puisi WMA kutemuai musik-musik kata, ia tidak hanya memanjakan makna, tapi mampu mengurainya dalam ritme-ritem cantik. Ada keserasian dalam kalimat, membacanya seperti mendendangkan lagu, tapi ia tidak tenggelam dengan pemujaan ritme, ia memberikan kandungan kata-kata demikian baik, sehingga kata-kata itu terbungkus rapi. Suatu ketika Gunawan Muhammad “adalah terlampau sederhana jika masalah yang dihadapi penyair hanya sebatas pada anasir penciptaan. Juga terlampau sederhana jika masalahnya sebatas pada sekedar pencarian dan penemuan sebentuk nilai artistik yang selanjutnya diekspresikan dalam verbalisasi sebuah sajak keseluruhan proses pencarian yang dilakukannya di setiap kemungkinan penciptaan”. Demikian Jassin seorang kritikus sastra Indonesia mengatakan bahwa puisi ialah pengucapan dengan perasaan…dalam puisi itu pikiran dan perasaan seolah-olah bersayap, ditambah lagi oleh syarat-syarat keindahan bahasa tinggi rendah tekanan suara (ritme). Bunyi dan lagu.
Puisi ialah pelahiran manusia seluruhnya, manusia, agung dengan pikiran dan perasaannya. Tapi, puisi menjadi hambar dan tak pernah punya taring, jika ia hanya mengungkapkan dengan kata-kata klise, berbunga-bunga, namun tak ada rasa yang kuat dalam setiap kata, puisi menjadi. Hampa!
            Puisi “Purnama” dan “Membaca Perang” mungkin menjadi contoh bagaimana WMA mempermainkan perasaannya dengan untaian kata indah.
Purnama pecah
Malam terbelah
Orang-orang punah wajah
            Puisi pendek ini yang paling saya suka dari puisi-puisi WMA , walau tidak panjang, saya mampu menemukan perasaannya yang menngelanyut dalam dirinya. Sedangkan puisi Membaca Perang :
yang bertempur tidak bertafakur. ia memandang padamu yang
sedarah semerah amarah. /tidak mungkin perang disebabkan cinta lalu
menghadirkannya/

semesta perang bukan semesta kerinduan. ia memandang ke
bukan cahaya. kubaca pelan-pelan dendam yang mengular/. kesumat
bersambat/
menusuk pengertian/

yang membaca cinta tidak perlu curiga./ menahan lapar mata
mencemburui si buta. hakikat cinta adalah cahaya
berpinak di hati
            huruf-huruf yang saya garis bawahi, adalah permainan kata yang cantik. Dalam struktur fisik puisi kita temui istilah bunyi. Dan peranan bunyi mendapat perhatian penting dalam menentukan makna yang dihasilkan puisi, jika puisi dibaca. Ia menyangkut rima, ritma dan metrum. Walau puisi WMA tidak semuanya mengandung bunyi yang serasi, tapi sudah cukup untuk melihat bagaimana ia memainkan bunyi.
***
A Suyuti pernah berkata bahwa kreativitas seorang penyair sesungguhnya tidak terletak pada kemampuannya dalam menciptakan nilai-nilai, tetapi lebih ditentukan oleh kapasitas kemampuannya dalam menangkap berbagai gelagat dan isyarat yang terjadi di sekelilingnya sebagai peristiwa budaya; menyeleksi dan menafsirkan sesuai dnegan visinya untuk kemudian dan mengukuhkan dan mengutuhkannya dalam bentuk keindahan bahasa yang disebut sajak. Melalui karya sajaknya itulah seorang penyair mencoba berbagi nilai dengan para pembacanya, bisa kita lihat bagaimana WMA menangkap gelagat itu, dalam puisinya “Pada Sebuah Esai”, “Kita Bermusuhan Saja”, “Welly pada Suatu malam” dan puisi panjang yang merekap segala dekap adalah puisinya “Hari Besar”. Abdul Wahib, menjelaskan bagaimana puisi itu dapat dilahirkan dengan baik dan hasil yang memuaskan, menurutnya dalam proses melahirjan sebuah puisi, ada tiga faktor yang harus digaris bawahi, yakni; pikiran, perasaan dan khayal. Ketiga faktor ini bekerja sama di bawah disiplin keselarasan. Sehingga membenihkan sebuah hasil karya yang berhasil dan dapat dinikmati. Saya mendapati puisi-puisi WMA sangat disiplin dalam keselarannya, walau kadang ditemukan beberapa puisinya ketergesa-gesaan, sehingga terkesan kurang kuat dalam nada dalam hal ini feeling dan tone.
Puisi yang terangkai dari kata, kemudian kalimat, dan menjadi bait, diselingi koma dan titik agar tidak tidak terjatuh, walau kadang titik dan koma hanya sebagai pembatas, bukan sebagai tujuan. Setiap kata-kata dipilih bukan hanya untuk kata dan keindahan, tapi memiliki kekuatan yang mampu memberikan pesan, pesan yang bukan hanya pesan, tapi pesan yang sangat dalam dan bahkan menghujam. Dan setiap penyair memulai dengan tahapan-tahapan yang tidak mudah, dimulai dari tahapan preparasi, kemudian inkubasi,  dan diteruskan dengan iliminasi, dan diakhiri dnegan verifikasi. Para penyair boleh mati, akan tetapi puisi melampaui usia penyair itu sendiri, ia akan menjadi sejarah keabadian, yang tidak akan lekang oleh hempasan waktu.[ ].
malam bulan/gelap memunggungimu/mencatat yang paling telanjang (WMA)

*) temui di www.halimizuhdy.blogspot.com/ silahkan bergabung di Toriqot Sastra (fb)

2 komentar:

  1. Assalamualaikum ....
    kok nggak update ustadz....
    pengagummu sedang merindukan bait-bait cinta ala halimi zuhdi

    BalasHapus