Membaca Sajak-sajak W. Muttaqien
Ahmad
(SAJAK-SAJAK PERLAWANAN,
PERGULATAN, KESAKSIAN, DAN CINTA)
Halimi Zuhdy*)
Selanjutnya sampaikan simpatiku pada pra pendosa, para pemain
gagah-penantang para tuannya, dan selalu bertanya apa ini semua. Apakah aku
menggenapkan atau mengganjilkan, atau di sini aku Cuma untuk berkeringat, lain
tidak. Setan, you aturlah! (W.
Muttaqien).
Sampai pada sebuah
dunia yang teramat maya, aku berani untuk percaya, yang kekal hanya cita-cita (W.
Muttaqien)
Dalam kehidupan sehari-hari pengalaman-pengalaman
kita memasuki atau menciptakan berbagai peristiwa tidak pernah jelas. Artinya,
pengalaman-pengalaman itu tidak pernah mencapai bentuknya secara kongkret :
pengalaman hampir selalu dalam kondisnya yang in abstrcto. Bagai seorang
novelis atau cerpenis, membangun struktur naratif sebuah novel atau cerpen
hampir sama dengan memberi bentuk pada pengalaman yang dimilikinya itu.
Demikian juga penyair, menulis puisi pada hakekatnya merupakan suatu proses
pemberian bentuk pengalaman itu lewat bahasa pilihannya (A. Suyuti). Oleh
karena itu, mungkin ada benarnya tatkala Altenbernd mengatakan bahwa poetry
as the interpretative dramatization of experience; atau Shelly yang
mengatakan bahwa puisi merupakan rekaman detik-detik paling indah dalam hidup;
atau Supardi Djoko Damono yang beranggapan bahwa puisi merupakan unikum atau
hasil pengamatan unik seorang penyair .
Puisi-puisi
W. Muttaqin Ahmad (selanjutnya WMA)
menggambarkan sebuah peristiwa yang sangat kompleks, baik peristiwa batin atau peristiwa
dahir, peristiwa batin yang saya maksud; adalah perenungan, releguitas,
pergolakan hati dan pemikirannya. Sedangkan peristiwa dahir , seperti ketimpangan sosial, ketidakadilan, kebobrokan
pemerintah dan lainnya.
Antologi puisi
yang berjudul : bung! Ini adalah rekaman peristiwa yang baik oleh WMA.
Bagaimana ia berkelindan dengan kata, memilih diksi yang sangat apik
dalam setiap peristiwa tersebut, kata-kata biasa menjadi bermagis, sehingga
membuncahkan makna yang begitu dalam, dan menghipnotis pembacanya. Seperti
puisi : 2 Baris Tentang Struktur Dan
Progres Atau Cuma Sebuah Kemungkinan Yang Tersisa Adalah Kerja, Suatu Terjadi Padaku Kemarin Terjadi
Padamu Esok di Tempat Yang Sama, Sajak Perjalanan, Hari Besar, Kisah Nun,
Jarusalem, Membaca Perang, Blues Ramadhan, Jakarta 27, Yang Mati Begitu Saja,
Terlalu Tua Untuk Puisi.
“pada mulanya kata-kata dipekerjakan
kemudian ia
berubah menjadi tuan”
puisi
di atas, yang berjudul 2 Baris
Tentang Struktur dan Progres Atau Cuma Sebuah Kemungkinan Yang Tersisa Adalah
Kerja puisi yang tidak begitu panjang tapi memiliki makna yang cukup dalam,
bagaimana WMA mengulahnya, menyerapnya, kemudian ia melontarkannya menjadi
kekuatan tersendiri /pada mulanya kata-kata dipekerjakan/ ia mengaggap
kata-kata pada awalnya sebuah kata biasa, yang diolah, kemudian disebar untuk
memberikan manfaat kepada halayak, atau bagaimana kata-kata itu hanya sebagai
sebuah wasilah untuk menuangkan hasrat, dan dapat memberikan konstribusi
perubahan. Tapi/ kemudian ia berubah menjadi tuan/ di sinilah kekuatan
puisi ini, bagaimana kata itu dituankan, bahkan di Tuhankan, kata-kata tidak
lagi diperintah tapi memerintah, bahkan ia mempermudak penulisnya, bukan lagi
tunduk terhadap semua misi yag ia bawa, tapi menjadi neraka dari kata-katanya,
ia menuliskan kata-katanya untuk sebuah konspirasi kehinaan, ia rela melepas
kehormatan demi sebuah kata-kata yang dituangkan, ia ridha menjual
agamanya hanya dengan kata-kata murahan, ia menjadi binal dengan kata-kata yang
tak pernah memberikan manfaat pada dirinya, kata-kata bukan lagi menuntun, tapi
menjerumuskan, bukan lagi sinar tapi kegelapan.
Saya
membaca, bahwa WMA memandang kata-kata
sebagai alat yang memberikan kemanfaatan, bukan kata-kata yang kemudia di Tuhankan,
yang pada akhirnya kata-kata menjadi sebuah musibah. Saya mengaitkan puisi WMA tadi dengan tugas
puisi, puisi bukan hanya untuk puisi, tapi puisi adalah untuk perubahan. Karena
Puisi tak ubahnya makhluq hidup yang kekal.
Dia memiliki roh dan taqdir sendiri, kalau penyair suatu waktu
meninggalkan dunia. Maka puisinya akan hidup terus sampai sejarah mengubur, dan
nasib penyair menjadi tragis ketika tak sempat tahu bagaimana nasib puisinya,
karena puisi belum tentu menjadi bagian dari darah dagingnya. Para penyair
boleh mati, akan tetapi puisi melampaui usia penyair itu sendiri.
Muhammad Sobary, seorang kolumnis pernah meneriakkan
dalam kolomnya “Sastra, Ideologi, dan Dunia Nilai”, puisi membikin lembut cita
rasa hidup kita. Puisi menawarkan pilihan dan membuka peluang memperbesar watak
humanis kita, dan menghargai manusia dengan harga kemanusiaannya. Saya kira
puisi membantu manusia menjadi manusia.
Tapi mengapa puisi dijauhkan dari
hidup kita, seolah puisi penyakit menular dalam sekali sentuh “kusta”? siapa
yang menjauhkan kita dari puisi? Mengapa Menteri
Pendidikan membiarkan pendidikan buruk ini berlangsung di depan kita, dan tak
ada yang berteriak mengenai perlunya pendidikan kesusastraan yang memadai agar
anak-anak mengerti puisi.
Mengapa penerbit-penerbit tak mau menyumbang bangsanya
dengan menerbitkan puisi gratis, atau menjualnya dengan harga murah supaya
warga Negara menjadi lebih pintar, lebih sensitive, lebih manusiawi?. Mengapa
para banker kikirnya luar biasa terhadap warga negara baik-baik, tapi luar
biasa pemurah hatinya kepada pembobol bank dan par` penipu yang biasa mereka
bangkrut.
Ini kemudian yang saya pahami dari Puisi WMA/“pada mulanya
kata-kata dipekerjakan/kemudian ia berubah menjadi tuan” kata bukan hanya untuk memuaskan nafsu, menikmati
kata, bernostalgia dengan paragraf-paragraf, menentramkan hati dan pikiran,
namun lebih dari itu puisi dipergunakan sebagai alat revolusi, kemerdekaan dan
perubahan. Puisi sebagai ekspresi kemerdekaan, tidak hanya cuma
buat hal-hal yang menentramkan, sebab ia juga bisa muncul menggelisahkan.
Gunawa Muhamamd pernah berkata, Saya tidak bisa cuma memilih hidup kreatif,
tapi sementara itu tidak bersedia untuk, seperti Adam, dilemparkan dari sorga
yang menentramkan ke dunia penciptaan yang resah”.
Dalam puisi yang lain :
puisi yang kau bilang omong kosong
itu
campuran hati, jali, lemak usia,
batuk, 40 helai uban
suatu saat, mungkin-kau baru bisa
mengerti
usia puisi bergantung pada kefasihan
bunyi
yang lindap diantara isi dan imaji
puisi yang kau kutuk itu
melulu Aju, masa lalu, dan sekaum
asing
kata yang memang setengah mampus
untuk hidup di belantara dusta
yang samar makna dan mulanya
puisi yang kau harapkan itu
enggan datang di belukar nalar
yang alpa merasai katakata seperti
dingin garpu di piring kosongmu
yang gemetar
menantang lapar
Puisi akan selalu menyisakan
seribu pemaknaan dan penafsiran, ia tidak akan pernah utuh ditafsirkan karena
pesona yang selalu melekat dalam kata-katanya. larik-lariknya tak tersekat oleh
kebakuan bahasa, dia bebas menerbangkan sayap-sayap maknanya.
Percy
Bysche Shelly seorang penyair berkata, puisi adalah rekaman dari saat-saat yang
paling baik dan paling menyenangkan dari pikiran-pikiran yang paling baik dan
paling menyenangkan. Rekaman perasaan dan peristiwa menjadi
indah, jika untaian kata tertata menjadi rangkaian puisi, membaca puisi WMA,
seperti membaca peristiwa diri dan kedirian seseorang, bahkan merekam
percikan-percikan paling istimewa yang terjadi dalam diri.
sebuah pengungkapan yang tulus, memancarkan cahaya
kesetiaan yang tinggi, setiap kata serasa ada kedekatan dengan pribadi-pribadi
yang dituju, ia tidak hanya mengungkapkan kata, tapi mampu merahasiakannya, dan
kemudian ia belai dengan kalimat-kalimat cinta yang begitu indah. Walau tak
mengandung intuisi yang melejit, ia mampu memberikan tetesan-tetesan inspirasi
dan evaluasi dari diri bagi pembacanya.
****
Puisi dilahirkan
untuk melawan kemungkaran, kerakusan,
kebobrokan, ia bukan hanya sebuah pemanis dunia, penghilang rasa penat,
atau hanya sebuah sabu-sabu yang membuat pembacanya sakau, atau penulis itu
sendiri terjebak dengan kata-kata yang dituliskan.
Puisi adalah kelahiran yang sempurna dari hati, pikiran dan khayal.
Meskipun selalu tampak keanihan-keanihan dan penyimpangan (distorting) dari bahasa
yang lazim dipergunakan, namun dengan keanihan itulah, puisi dapat membebaskan
dirinya dari keakraban dan kungkungan, sehingga ia mampu menunjukkan realitas
yang sebenarnya. Kelahirnya membuat rongsokan baru, suasana baru, penciptaan
baru (creating) pencerahan, dan revolusi pikiran, batin dan diri.
saya sangat terkesan dengan puisi
WMA yang berjudul : TERLALU TUA UNTUK PUISI
ia menggambar
noda. di geligi dan sepatunya. noda yang sudah
berumur.
menutupnya di bawah daun pepaya. kemudian memasaknya
bersama telur-telur berisi puisi. sebuah puisi
yang cuma berisi gambar-gambar
yang mirip
kepala. tubuhnya terlalu sepuh untuk melakukan perjalanan
yang mulai
kadaluarsa. ia memilih bertelur saja. telurnya disiapkan untuk
sarapan. ia
memasak dengan sangat lama. membumbuinya dengan uap
keringat yang
telah menjadi noda di sela ketiak seorang presiden yang
selalu bangun
kesiangan. waktu makan presiden sering bernyanyi.
ia menyanyi
mentah saja sejak telurtelurnya lebih dulu mendalu. ia
memasak sendiri
telur di wajahnya. orangorang memandangnya sampai
jatuh waktu.
telurtelur gugur satusatu membatalkan diri.
ia menggendong
noda di klise dan warna petang. mencari penginapan.
Ini sebuah
keritik cerdas, dengan pemilihan diksi yang sangat baik, dengan andding yang
baik pula. ia menggendong
noda di klise dan warna petang. mencari penginapan.
Puisi sebenarnya bukan merupakan karya yang sederhana,
melainkan organisme yang sangat kompleks. Puisi diciptakan dengan berbagai
unsur bahasa dan estetika yang saling melengkapi, sehingga puisi terbentuk dari
berbagai makna yang saling bertautan. Dengan demikian, pada hakekatnya puisi
merupakan gagasan yang dibentuk dengan susunan, penegasan dan gambaran semua
materi dan bagian-bagian yang menjadi komponennya dan merupakan kesatuan yang
indah (Abrams). Itulah yang dilakukan oleh WMA dalam beberapa
puisinya, walau dalam beberapa puisinya yang lain keterpautannya masih belum
jelas, seperti puisi Peringatan, Hening, dan Permainan.
****
Membaca puisi WMA
seperti berlabuh dalam samudera makna, ia tak hanya melipstik kata dengan
perasaannya, bermain dengan sampul yang jelimet, berbunga-bunga pada
setiap kalimatnya, tapi ia mampu memberikan kejutan, kecupan, pesona realitas kehidupan, dan tidak sulit mencuri
makna dalam setiap kecupannya. seperti puisinya yang berjudul “PADAMU”
doaku sampaikah
padamu
yang kupetik
dari pagi
dan kudatangi
lewat laku
sayangku,
semakin ajal
segala terjal
segala kental
kubawa padamu
&nbrp; ia
memilih kata-kata begitu cermat, ada masa yang ia lipatkan, bagaimana ia mencintai
seseorang dengan sepenuh hati, mendoakan dalam setiap seloroh, ia rela
berkorban hanya atas nama kasih sayang. Dalam sajak ini, WMA lebih memadatkan
makna, dari pada bermain-main dengan kata-kata, walau puisi tidak lepas dari
pemilihan diksi yang lebih fantastis dan memiliki ambiguitas yang tinggi,
karena semakin ambigu suatu puisi, ia semakin indah. Pemahaman keindahan sering
kali, haya dilihat dari diksi saja, tanpa melihat makna yang termaktup di
dalamnya, kadang kata-katanya bermutiara namun tak memiliki makna, tidak ada
pesan yang disampaikan, kata-kata langit atau dandan
dijadikan tujuan, bukan dijadikan alat untuk menuju pesan yang sebenarnya,
sehingga menjadi puisi kosong, atau sebaliknya makna yang jelas dan benar-benar
jelas, namun tidak menghiraukan diksi.
Saya tidak bisa
menghakimi mana yang disebut puisi indah, puisi yang baik dan benar,
tapi secara garis besar puisi itu benar-benar bisa disebut
puisi kalau ia mampu memberikan makna dengan ukiran kata-kata yang indah.
Kemudian apakah kata-kata yang tidak indah tidak bisa disebut puisi, belum
tentu, karena ada yang mementingkan makna tanpa menghiraukan diksi, tapi ini
juga bisa disebut puisi, indah dan tidak kembali pada penilaan pembaca. Biarkan puisi yang terpampang dinilai dan dihukumi oleh
pembaca. Karena setiap orang memiliki alasan tersendiri untuk menyebut itu
puisi. ini yang pernah
saya singgung dalam tulisan Penyair Salon, sebuah judul puisi yang saya ambil
dari sajak Rendra.
****
Puisi lebih dari pada karya tulis lain merupakan sebuah
otentik yang mencakup banyak nilai di antara yang pokok nilai estetik dan etis.
Puisi itu milik nurani manusia, maka siapapun berhak menulisnya. Tiada batas
dan sekat bagi orang-orang yang ingin menuliskannya, tidak pernah pandang bulu,
pandang suku dan pandang latar belakang, mereka berhak menuliskan, mengalirkan
rangkaian kata-kata dengan seluruh semang`t jiwa, hati dan pikiran mereka. Tukang becak, guru,
siswa, buruh bahkan kyiai pun berhak mengungkapkan deraian kata dengan
tetesan-tetesan tinta pada dalam lembaran-lembaran kertas. Ini yang dilakukan WMA dalam puisi-puisinya nya, ia benar-benar memainkan
hati nuraninya untuk menulis kata perkata.
Seperti : 99 Sajadah, Rambut Takdirku, Sang Penyair, Dunia
Itu Tuna, Dusta Dalam Kaca, Suatu Pagi Bersama Satir, Masih Ada tapi, Suatu
pagi Sebuah Kerinduan, Careful With That Axe Agung, dan Hari Besar. Bukan hanya
judul-judul tadi yang begitu menggoda, tapi masih banyak puisi-puisi yang
lainnya, menggoda untuk semakin memperdalam maknanya.
Puisi
yang ditulis dengan hati nurani, akan memancarkan seribu cahaya, memiliki arti
keagungan dan dapat menyejukkan, ia akan selalu berbingkai kebenaran dalam
larik-lariknya. Hati nurani adalah berita kebenaran yang kadang tidak terungkap
dalam realitas, puisi, ladang mengungkapkannya, ia mampu menyiratkan makna,
membersitkan makna, sehingga pembaca mampu mengambil hikmah dari kata-katanya.
Islah Gusmian, mengatakan “ adakah yang lebih bening dari mata hati, kala ia
menegur kita tanpa suara. Adakah yang lebih jujur dari nurani, saat ia menegur
kita tanpa kata-kata. Adakah yang lebih tajam dari mata-hati, ketika ia
menghentak kita dari ragam kesalahan dan alpa. Barangkali kata itu yang pantas untuk mewakili puisi-puisi WMA.
***
Setelah saya menulusuri lebih dalam puisi-puisi WMA
kutemuai musik-musik kata, ia tidak hanya memanjakan makna, tapi mampu
mengurainya dalam ritme-ritem cantik. Ada keserasian dalam kalimat, membacanya
seperti mendendangkan lagu, tapi ia tidak tenggelam dengan pemujaan ritme, ia
memberikan kandungan kata-kata demikian baik, sehingga kata-kata itu terbungkus
rapi. Suatu ketika Gunawan Muhammad “adalah terlampau sederhana jika masalah
yang dihadapi penyair hanya sebatas pada anasir penciptaan. Juga terlampau
sederhana jika masalahnya sebatas pada sekedar pencarian dan penemuan sebentuk
nilai artistik yang selanjutnya diekspresikan dalam verbalisasi sebuah sajak
keseluruhan proses pencarian yang dilakukannya di setiap kemungkinan
penciptaan”. Demikian Jassin seorang kritikus sastra Indonesia mengatakan bahwa
puisi ialah pengucapan dengan perasaan…dalam puisi itu pikiran dan perasaan
seolah-olah bersayap, ditambah lagi oleh syarat-syarat keindahan bahasa tinggi
rendah tekanan suara (ritme). Bunyi dan lagu.
Puisi
ialah pelahiran manusia seluruhnya, manusia, agung dengan pikiran dan
perasaannya. Tapi, puisi menjadi hambar dan tak pernah punya taring,
jika ia hanya mengungkapkan dengan kata-kata klise, berbunga-bunga, namun tak
ada rasa yang kuat dalam setiap kata, puisi menjadi. Hampa!
Puisi “Purnama” dan
“Membaca Perang” mungkin menjadi contoh bagaimana WMA mempermainkan perasaannya
dengan untaian kata indah.
Purnama pecah
Malam terbelah
Orang-orang punah wajah
Puisi pendek ini yang
paling saya suka dari puisi-puisi WMA , walau tidak panjang, saya mampu
menemukan perasaannya yang menngelanyut dalam dirinya. Sedangkan puisi Membaca
Perang :
yang bertempur tidak bertafakur.
ia memandang padamu yang
sedarah semerah amarah.
/tidak mungkin
perang disebabkan cinta lalu
menghadirkannya/
semesta perang bukan semesta
kerinduan. ia memandang ke
bukan cahaya. kubaca pelan-pelan
dendam yang mengular/. kesumat
bersambat/
menusuk pengertian/
yang membaca cinta tidak
perlu curiga./ menahan lapar mata
mencemburui si buta. hakikat
cinta adalah cahaya
berpinak
di hati
huruf-huruf
yang saya garis bawahi, adalah permainan kata yang cantik. Dalam struktur fisik
puisi kita temui istilah bunyi. Dan peranan bunyi mendapat perhatian penting
dalam menentukan makna yang dihasilkan puisi, jika puisi dibaca. Ia menyangkut
rima, ritma dan metrum. Walau puisi WMA tidak semuanya mengandung bunyi yang
serasi, tapi sudah cukup untuk melihat bagaimana ia memainkan bunyi.
***
A Suyuti pernah berkata bahwa kreativitas seorang penyair
sesungguhnya tidak terletak pada kemampuannya dalam menciptakan nilai-nilai,
tetapi lebih ditentukan oleh kapasitas kemampuannya dalam menangkap berbagai
gelagat dan isyarat yang terjadi di sekelilingnya sebagai peristiwa budaya;
menyeleksi dan menafsirkan sesuai dnegan visinya untuk kemudian dan mengukuhkan
dan mengutuhkannya dalam bentuk keindahan bahasa yang disebut sajak. Melalui
karya sajaknya itulah seorang penyair mencoba berbagi nilai dengan para
pembacanya, bisa kita lihat bagaimana WMA menangkap gelagat itu, dalam puisinya
“Pada Sebuah Esai”, “Kita Bermusuhan Saja”, “Welly pada Suatu malam” dan puisi
panjang yang merekap segala dekap adalah puisinya “Hari Besar”. Abdul Wahib,
menjelaskan bagaimana puisi itu dapat dilahirkan dengan baik dan hasil yang
memuaskan, menurutnya dalam proses melahirjan sebuah puisi, ada tiga faktor
yang harus digaris bawahi, yakni; pikiran, perasaan dan khayal. Ketiga faktor ini
bekerja sama di bawah disiplin keselarasan. Sehingga membenihkan sebuah hasil
karya yang berhasil dan dapat dinikmati. Saya mendapati
puisi-puisi WMA sangat disiplin dalam keselarannya, walau kadang ditemukan
beberapa puisinya ketergesa-gesaan, sehingga terkesan kurang kuat dalam nada
dalam hal ini feeling dan tone.
Puisi yang terangkai dari kata, kemudian kalimat, dan
menjadi bait, diselingi koma dan titik agar tidak tidak terjatuh, walau kadang
titik dan koma hanya sebagai pembatas, bukan sebagai tujuan. Setiap kata-kata
dipilih bukan hanya untuk kata dan keindahan, tapi memiliki kekuatan yang mampu
memberikan pesan, pesan yang bukan hanya pesan, tapi pesan yang sangat dalam
dan bahkan menghujam. Dan setiap penyair memulai dengan tahapan-tahapan yang
tidak mudah, dimulai dari tahapan preparasi, kemudian inkubasi, dan diteruskan dengan iliminasi, dan
diakhiri dnegan verifikasi. Para penyair boleh mati, akan tetapi
puisi melampaui usia penyair itu sendiri, ia akan menjadi
sejarah keabadian, yang tidak akan lekang oleh hempasan waktu.[ ].
malam bulan/gelap memunggungimu/mencatat yang paling
telanjang (WMA)
*) temui di www.halimizuhdy.blogspot.com/ silahkan
bergabung di Toriqot Sastra (fb)
Assalamualaikum ....
BalasHapuskok nggak update ustadz....
pengagummu sedang merindukan bait-bait cinta ala halimi zuhdi
doanya dapat selalu berselancar
BalasHapus