Rabu, 28 Maret 2012

PENYAIR SALON*)




Menulis sajak itu tidak harus menggunakan bahasa yang berbusa-busa diindah-indahkan, dipuitis-puitiskan. Akan tetapi, menulis sajak itu cukuplah menggunakan bahasa yang sederhana, sebab yang puisi bukan cuma bahasanya, melainkan yang puisi itu pengalaman hidup yang dipotret oleh sang penyair. Boleh jadi itu sederhana tetapi berkarakterm unik, sekaligus estetik yang memiliki etik (Abdul Wachid Bs)

Saya tertarik dengan status yang ditulis pak Abdul Wachid Bs di atas, kata-kata yang sederhana tapi mampu memberikan cercahan makna yang mendalam. Mengapa? Banyak sekali para penyair baik pemula atau pun yang sudah malang melintang dengan gagahnya membuat kata-kata yang biasa menjadi kata-kata yang jelimet, yang mengaganggap kata-kata itu indah dan sulit dicerna, semakin kata-kata sulit dicerna maka semakin tanpak nilai puisi itu, atau semakin jelas bahwa ia puisi indah.
Pemahaman keindahan sering kali, haya dilihat dari diksi saja, tanpa melihat makna yang termaktup di dalamnya, kadang kata-katanya bermutiara namun tak memiliki makna, tidak ada pesan  yang  disampaikan,  kata-kata langit atau dandan dijadikan tujuan, bukan dijadikan alat untuk menuju pesan yang sebenarnya, sehingga menjadi puisi kosong, atau sebaliknya makna yang jelas dan benar-benar jeleas, namun tidak menghiraukan diksi.  Saya tidak bisa menghakimi mana yang disebut puisi indah, puisi yang baik dan benar,   tapi secara garis besar  puisi itu benar-benar bisa disebut puisi kalau ia mampu memberikan makna dengan ukiran kata-kata yang indah. Kemudian apakah kata-kata yang tidak indah tidak bisa disebut puisi, belum tentu, karena ada yang mementingkan makna tanpa menghiraukan diksi, tapi ini juga bisa disebut puisi, indah dan tidak kembali pada penilaan pembaca. Biarkan puisi yang terpampang dinilai dan dihukumi oleh pembaca. Karena setiap orang memiliki alasan tersendiri untuk menyebut itu puisi.

Terserah penulis juga membuat kreativitas dalam penulisannya dalam mengungkapkan puisinya ada yang melingkar, zigzag, memutar, bershaf-shaf, ber-rima, dan bahkan hanya titik-titik. Kalau titik-titik misalkan kita pahami suatu puisi yang tidak jelas, bagaimana  dengan penulisnya hanya memberikan titik dalam setiap baris, apakah itu bukan puisi?.

Kadang kita terlalu sombong  menghakimi sebuah puisi, kalau yang menulis puisi orang hebat dengan berbentuk apa pun, sampai-samapai diksi dan makna kadang juga kurang jelas, kita menggangap mereka hebat, dan mengapresiasi dengan cukup luar biasa, bahkan sangat lebay memberikan makna, tapi sebaliknya kalau yang menulis penyair “kacangan” atau “anak kecil” itu dianggap puisi murahan dan bahkan tak berarti.  

Dan ada yang menghukumi pula “beberapa kasus mengenai puisi modern atau puisi cyber belakangan ini makin memprihatinkan jika ditilik dari pokok dan kaidah puisi itu sendiri yaitu 'pemadatan kata'. kebanyakan penyair aktif sekarang baik pemula ataupun bukan lebih mementingkan gaya bahasa dan bukan pada pokok puisi tersebut, ini juga penghukuman terhadap penyair, lagi-lagi bagaimana sang penyair memiliki otoritas untuk menuliskan hasrat menulis kreativitasnya dalam puisi. Saya jadi teringat kata-kata Afrizal Malna “kita tidak usah pusing-pusing mencari arti dalam kata-kata yang tidak dipahami, biarkan kita yang memahami kata-kata itu, kalau mau mencari kebenaran dari makna itu tanyakan saja pada penyairnya”.
Saya bukan penganut penyair salon, perparas cantik, bahkan mendandan puisi dengan kata-kata selangit, dan juga bukan penganut siapa-siapa, meskipun terkadang puisi saya mirip puisi beberapa penyair yang lain, karena oresinalitas yang saya jaga, dan juga tidak meniadakan orang-orang yang memberikan inspirasi dalam setiap bait sair, sehingga ada sebutan intertektualitas dalam karya sastra. Maksudnya, dalam setiap puisi memiliki ciri khas sendiri-sendiri sesuai dengan karakter sang penyair, ketika kita mengkritik penyair yang hanya mementingkan irama puisi, polesan diksi, mungkin juga punya alasan, barangkali ia ingin memberikan sihirnya pada pembaca dengan kata-kata yang berirama, kalimat-kalimat yang metafor, walau terkadang pembaca dibuat kebingungan dengan puisi-puisi tersebut, dan juga ada yang menghilangkan kata-kata salon bahkan tidak memoles sama sekali karena lebih menekankan makna, ia tidak terlalu peduli dengannya.  Dan ini juga masih dalam perdebatan, belum tentu puisi salon tidak bermakna, namun “lebih” mementingkan maknanya.

W.S Rendra , juga menyinggung para penyair salon, mereka yang suka bermain dengan kata-kata, tapi tidak memiliki makna:
Aku pernah bertanya
Tapi pentanyaanku
Membentur jidat penyair-penyair salon
Yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
Sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
Dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
(Sajak Sebatang lisong)

Penyair salon, istilah ini cukup  menyengat bagai kalajengking bagi mereka yang suka memoles keindahan puisi tanpa memberi pesan apa pun, dan dibuat tameng bagi mereka yang suka memberikan arti namun tidak suka bersolek dengan keindahan kata.
Sebenarnya keduanya bisa dipertemukan dalam keutuhan puisi itu sendiri, yaitu istilah puisi yang sudah menjadi kesepakatan para kritikus sastra atau juga para sastrawan, meskipun dalam kesepakatan ini masih banyak yang memperdebatkan. Puisi dalam struktur fisik puisi terdiri dari tipografi, diksi, imaji (ada auditif, visual, imaji taktil), gaya bahasa (yaitu penggunaan bahasa yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu, ada figuratif,  majas : metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks) dan juga Rima/Irama.
Lah, ada juga yang tidak terlalu memperhatikan aturan puisi, bahkan tidak mengindahkan sama sekali ia lari dari ikatan konvensional puisi iti sendiri. Seperti Puisi kontemporer seringkali memakai kata-kata yang kurang memperhatikan santun bahasa, memakai kata-kata makin kasar, ejekan, dan lain-lain. Pemakaian kata-kata simbolik atau lambang intuisi, gaya bahasa, irama, dan sebagainya dianggapnya tidak begitu penting lagi semisal Sutardji Calzoum Bachri dalam O, Amuk, dan O Amuk Kapak, Ibrahim Sattah  dalam Hai Ti, Hamid Jabbar dalam Wajah Kita
Yang tidak mengikuti aturan sama sama sekali adalah puisi puisi beling, seperti puisi yang muncul pertama kali dalam majalah Aktuil yang menyediakan lembar khusus untuk menampung sajak, dan oleh pengasuhnya yaitu Remy Silado, lembar tersebut diberi nama "Puisi Mbeling". Kata-kata dalam puisi mbeling tidak perlu dipilih-pilih lagi. Dasar puisi mbeling adalah main-main. Ciri-ciri puisi mbeling ia lebih mengutamakan kelakar; pengarang memanfaatkan semua unsur puisi berupa bunyi, rima, irama, pilihan kata dan tipografi untuk mencapai efek kelakar tanpa ada maksud lain yang disembunyikan (tersirat).
Salahkah penyair salon? atau penyair tanpa salon  yang lebih memerankan pesan?. Andalah yang mampu melihat ini, kalau tidak kita diskusikan kembali lewat Penyair Salon vs Penyair Makna.

Madura – Malang, 26 Maret 2012

*) diambil dari puisi W.S Rendra (Sajak Sebatang Lisong)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar