Oleh Halimi Zuhdy
Menulis sajak itu tidak harus menggunakan bahasa yang
berbusa-busa diindah-indahkan, dipuitis-puitiskan. Akan tetapi, menulis sajak
itu cukuplah menggunakan bahasa yang sederhana, sebab yang puisi bukan cuma
bahasanya, melainkan yang puisi itu pengalaman hidup yang dipotret oleh sang
penyair. Boleh jadi itu sederhana tetapi berkarakterm unik, sekaligus estetik
yang memiliki etik (Abdul
Wachid Bs)
Saya tertarik dengan status yang ditulis pak Abdul
Wachid Bs di atas, kata-kata yang sederhana tapi mampu memberikan cercahan
makna yang mendalam. Mengapa? Banyak sekali para penyair baik pemula atau pun
yang sudah malang melintang dengan gagahnya membuat kata-kata yang biasa
menjadi kata-kata yang jelimet, yang mengaganggap kata-kata itu indah
dan sulit dicerna, semakin kata-kata sulit dicerna maka semakin tanpak nilai
puisi itu, atau semakin jelas bahwa ia puisi indah.
Pemahaman keindahan sering kali, haya dilihat dari
diksi saja, tanpa melihat makna yang termaktup di dalamnya, kadang kata-katanya
bermutiara namun tak memiliki makna, tidak ada pesan yang
disampaikan, kata-kata langit atau dandan dijadikan tujuan, bukan
dijadikan alat untuk menuju pesan yang sebenarnya, sehingga menjadi puisi
kosong, atau sebaliknya makna yang jelas dan benar-benar jeleas, namun tidak
menghiraukan diksi. Saya tidak bisa menghakimi mana yang disebut puisi
indah, puisi yang baik dan benar, tapi secara garis besar
puisi itu benar-benar bisa disebut puisi kalau ia mampu memberikan makna
dengan ukiran kata-kata yang indah. Kemudian apakah kata-kata yang tidak indah
tidak bisa disebut puisi, belum tentu, karena ada yang mementingkan makna tanpa
menghiraukan diksi, tapi ini juga bisa disebut puisi, indah dan tidak kembali
pada penilaan pembaca. Biarkan puisi yang terpampang dinilai dan dihukumi oleh
pembaca. Karena setiap orang memiliki alasan tersendiri untuk menyebut itu
puisi.
Terserah penulis juga membuat kreativitas dalam
penulisannya dalam mengungkapkan puisinya ada yang melingkar, zigzag, memutar,
bershaf-shaf, ber-rima, dan bahkan hanya titik-titik. Kalau titik-titik
misalkan kita pahami suatu puisi yang tidak jelas, bagaimana dengan
penulisnya hanya memberikan titik dalam setiap baris, apakah itu bukan puisi?.
Kadang kita terlalu sombong menghakimi sebuah puisi,
kalau yang menulis puisi orang hebat dengan berbentuk apa pun, sampai-samapai
diksi dan makna kadang juga kurang jelas, kita menggangap mereka hebat, dan
mengapresiasi dengan cukup luar biasa, bahkan sangat lebay memberikan makna,
tapi sebaliknya kalau yang menulis penyair “kacangan” atau “anak kecil” itu
dianggap puisi murahan dan bahkan tak berarti.
Dan ada yang menghukumi pula “beberapa kasus
mengenai puisi modern atau puisi cyber belakangan ini makin memprihatinkan jika
ditilik dari pokok dan kaidah puisi itu sendiri yaitu 'pemadatan kata'.
kebanyakan penyair aktif sekarang baik pemula ataupun bukan lebih mementingkan
gaya bahasa dan bukan pada pokok puisi tersebut, ini juga penghukuman
terhadap penyair, lagi-lagi bagaimana sang penyair memiliki otoritas untuk
menuliskan hasrat menulis kreativitasnya dalam puisi. Saya jadi teringat
kata-kata Afrizal Malna “kita tidak usah pusing-pusing mencari arti dalam
kata-kata yang tidak dipahami, biarkan kita yang memahami kata-kata itu, kalau
mau mencari kebenaran dari makna itu tanyakan saja pada penyairnya”.
Saya bukan penganut penyair salon, perparas cantik,
bahkan mendandan puisi dengan kata-kata selangit, dan juga bukan penganut
siapa-siapa, meskipun terkadang puisi saya mirip puisi beberapa penyair yang
lain, karena oresinalitas yang saya jaga, dan juga tidak meniadakan orang-orang
yang memberikan inspirasi dalam setiap bait sair, sehingga ada sebutan
intertektualitas dalam karya sastra. Maksudnya, dalam setiap puisi memiliki
ciri khas sendiri-sendiri sesuai dengan karakter sang penyair, ketika kita
mengkritik penyair yang hanya mementingkan irama puisi, polesan diksi, mungkin
juga punya alasan, barangkali ia ingin memberikan sihirnya pada pembaca dengan
kata-kata yang berirama, kalimat-kalimat yang metafor, walau terkadang pembaca
dibuat kebingungan dengan puisi-puisi tersebut, dan juga ada yang menghilangkan
kata-kata salon bahkan tidak memoles sama sekali karena lebih menekankan makna,
ia tidak terlalu peduli dengannya. Dan ini juga masih dalam perdebatan,
belum tentu puisi salon tidak bermakna, namun “lebih” mementingkan maknanya.
W.S Rendra , juga menyinggung para penyair salon,
mereka yang suka bermain dengan kata-kata, tapi tidak memiliki makna:
Aku pernah bertanya
Tapi pentanyaanku
Membentur jidat penyair-penyair salon
Yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
Sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
Dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
(Sajak Sebatang lisong)
Penyair salon, istilah ini cukup menyengat bagai
kalajengking bagi mereka yang suka memoles keindahan puisi tanpa memberi pesan
apa pun, dan dibuat tameng bagi mereka yang suka memberikan arti namun tidak
suka bersolek dengan keindahan kata.
Sebenarnya keduanya bisa dipertemukan dalam keutuhan
puisi itu sendiri, yaitu istilah puisi yang sudah menjadi kesepakatan para
kritikus sastra atau juga para sastrawan, meskipun dalam kesepakatan ini masih
banyak yang memperdebatkan. Puisi dalam struktur fisik puisi terdiri dari
tipografi, diksi, imaji (ada auditif, visual, imaji taktil), gaya bahasa (yaitu
penggunaan bahasa yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan menimbulkan
konotasi tertentu, ada figuratif, majas : metafora, simile,
personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme,
antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro
parte, hingga paradoks) dan juga Rima/Irama.
Lah, ada juga yang tidak terlalu memperhatikan aturan
puisi, bahkan tidak mengindahkan sama sekali ia lari dari ikatan konvensional
puisi iti sendiri. Seperti Puisi kontemporer seringkali memakai kata-kata yang
kurang memperhatikan santun bahasa, memakai kata-kata makin kasar, ejekan, dan
lain-lain. Pemakaian kata-kata simbolik atau lambang intuisi, gaya bahasa,
irama, dan sebagainya dianggapnya tidak begitu penting lagi semisal Sutardji
Calzoum Bachri dalam O, Amuk, dan O Amuk Kapak, Ibrahim
Sattah dalam Hai Ti, Hamid Jabbar dalam Wajah Kita
Yang tidak mengikuti aturan sama sama sekali adalah
puisi puisi beling, seperti puisi yang muncul pertama kali dalam majalah Aktuil
yang menyediakan lembar khusus untuk menampung sajak, dan oleh pengasuhnya
yaitu Remy Silado, lembar tersebut diberi nama "Puisi Mbeling".
Kata-kata dalam puisi mbeling tidak perlu dipilih-pilih lagi. Dasar puisi
mbeling adalah main-main. Ciri-ciri puisi mbeling ia lebih mengutamakan
kelakar; pengarang memanfaatkan semua unsur puisi berupa bunyi, rima, irama,
pilihan kata dan tipografi untuk mencapai efek kelakar tanpa ada maksud lain
yang disembunyikan (tersirat).
Salahkah penyair salon? atau penyair tanpa salon
yang lebih memerankan pesan?. Andalah yang mampu melihat ini, kalau tidak
kita diskusikan kembali lewat Penyair Salon vs Penyair Makna.
Madura – Malang, 26 Maret 2012
*) diambil dari puisi W.S Rendra (Sajak Sebatang
Lisong)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar