Menyampaikan Ajaran kepada anak
b. Fantasi (Menggambar)
“Heh…..Adi, jangan corat-coret tembok itu..!!!” Pak Joko membentak Adi dengan keras.
“Pa, mana bukunya?” Adi dengan nada meringis dan ketakutan
“Wiss….gak usah nulis aja, tembok dicorat-coret, gak punya mata tah….!” Sambil merampas krayonnya
“Pa, Adi ingin menggambar…? sambil menangis dan memohon-mohon agar krayonnya dikembalikan
“kamu gak pintar sih…!, kalau mau nulis yang di buku lah….” Pak Joko beranjak sambil meninggalkan anaknya yang lagi menangis.
Dialog di atas kadang kita jumpai dalam beberapa keluarga, anak lagi-lagi sebagai korban dari kemewahan, keindahan dan kemapanan. Orang tua lebih memilih untuk menjaga pemandangan rumahnya yang bersih, dibandingkan kreatifitas anaknya yang masih dalam tahap pertumbuhan, orang tua rela membentak anaknya hanya karena coretan sedikit yang bisa dibersihkan dengan air atau dicat ulang dengan biaya yang sangat murah, dibandingkan merusak psikis dan emosinya, yang kemudian berakibat pada kecerdasannya baik emosional, spritualnya dan IQnya. Orang tua tidak sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan besar dalam mendidik dengan membentak, menakut-nakuti, memarahi, mengancam bahkan memusuhinya.
Banyak cara untuk membangun kecerdasan anak, di antaranya adalah dengan menggambar. ketika anak berusia 1,5 tahun, mereka gemar sekali mencorat-coret yang bagi orang dewasa gambar mereka seakan-akan tidak ada artinya, hamper seperti benang kusut saja. Tetapi hal tersebut penting bagi perkembangan saraf sensorik dan motorikhalus di tangan, jari dan lengan anak, ungkap Wijanarko.
Menggambar akan membangun sebuah kecerdasan pola pikir, ia dapat meniru banyak benda yang ada dunia yang dapat membangun wawasan dunia, dengan mewarnai ia dapat membangun emosi, mengaluskan rasa dan melejitkan imajinasi, setiap anak yang ingin menggambar ia akan memilih gambar yang cocok dengannya, dan pasti ada benda yang paling ia senangi, dan suatu saat ia akan menjadikannya sebagai idola. Misalkan memilih harimau, mungkin karena ketangkasan dan kekuatannya, ketika ditanya mengapa memilihnya, ia menjawab agar menjadi hebat seperti harimau, mengapa memilih kancil mungkin ia menjawab “kancil itu cerdas dan cerdik saya ingin sepertinya” demikian mengapa mereka memilih gambar.
Tahap berikutnya mewarnai, ketika anak sudah menggambar ia akan mewarnai, ketika ia memilih warna, ia akan menyesuaikan dengan warna benda tersebut, hal tersebut membutuhkan kecerdasan khusus atau seni khusus, ada kehalusan rasa dan emosi. Biarkan ia mewarnai sampai capai, jangan dicegah agar emosinya dan imajinasinya mengalir deras, baru setelah melalui tahapan-tahapan berikutnya bisa kita arahkan, bukan mewajibkan, karena setiap anak mempunyai rasa artistic sendiri dan tidak harus sama dengan rasa kita, membiarkan bukan menterlantarkan, tapi mengajarkan untuk berimajinasi total.
Sebagai orang tua hendaknya memanfaatkan waktu menggambar anak dengan mengajarkan tanggungjawab, tertib, sopan, dll. Banyak sifat-sifat yang baik bisa diajarkan, tergantung bagaimana orang tua mengolah kata. Piker dan tubuh. Semua bisa dibuat ajang untuk menularkan pelajaran.
Orang tua bisa berkomunikasi dengan anak sambil sama-sama menggambar. ketika anak melihat orang tua menggambar sambil menerangkan gambar yang sedang dibuat serta memasukkan pengajaran, konsep, nilai hidup atau tuntutan kepada anak, ia jauh akan lebih betah mendengarkan. Wijanarko berpendapat, saat mendidik, mereka harus mendengar dan kita harus ingat, daya konsentrasi mereka sangat pendek maka segala hal yang mereka sukai, kita pakai sebagai jembatan untuk mengajarkan sesuatu. Itu memang membuat proses mendidik anak memerlukan bukan kualitas, tetapi juga kuantitas, berupa waktu yang sukup disediakan dan dikhususkan bagi anak.
Menggambar seperti menuagkan ide dan rasa, mengajak anak menggambar berarti mengajak mereka untuk berfikir dan berimajinasi. Membiarkan anak menggambar, berarti membebaskan anak untuk selalu berproses menemukan dirinya….
Malang, 6 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar