Halimi Zuhdy
“Kawan-kawan, kita sering dituduh sebagai ahli bid’ah, hanya gara-gara melakukan sesuatu yang mungkin tidak pernah dilakukan Rasul” tutur Kiai Nahidh
“ kiai, bagaimana kalau kita mengadakan dialog tentang bid’ah” Mas Fatah menimpali
“Fatah, dialog bagaimana maksud kamu?” kiai menyanggah
“dialog untuk memahami bid’ah yang sebenarnya, agar perilaku yang kita lakukan sesuai dengan tuntunan Rasul, masak mengadakan tahlil, memperingati shalawat, doa bersama, qunut, dikatakan bid’ah, berarti ibadah kita bukan mendatangkan ibadah yai, tetapi mendatangkan dosa” Mas Fatah bersemangat sambil mengepalkan tangannya ke meja.
“Fatah….Fatah” yai Nahidh sambil menggeleng-gelengkan kepala. “kamu ini kayak gak tahu aja, saya sudah berkali-kali berbicara, dan diberbagai forum selalu saya singgung tentang bid’ah, ya..tetap saja mereka yang ngeyel tentang bid’ah, yang tetap tidak bisa berubah, seakan-akan mereka memahami bid’ah seperti paku bumi yang menancap di langit”
“yai, kita coba sekali ini saja, kita datangkan dedengkot mereka yang suka mengkafirkan, membid’ahkan dan bahkan mensyirikkan, saya sudah terlalu perih perut, telinga bising dan bahkan hati bergolak, saya tidak ingin melakukan sesuatu yang tidak disukai Allah, saya hanya ingin memurnikan diri dan memahami tentang perbuatan yang kita lakukan setiap hari, agar ada gunanya dan tidak sia-sia” Fatah tetap ngotot.
“menurut kamu, siapa yang kamu ingin datangkan” kata kiai Nahidh
“bagaimana dengan Syeh Mahrus al-tusi” Fatah memberikan pandangan
“wah…! Sulit mendatangkan Syah itu, berkali-kali teman-teman sudah mengundangnya tidak pernah dating, alasannya banyak sekali, takut keamanannya kek, takut tidak fer kek, takut …dan takut yang lainnya, saya males mendatangkan orang yang tidak pernah jantang dalam berdialog untuk meluruskan sebuah karya ilmiah” Kiai Nahidh agak sedikit mengkerutkan keningnya.
Kemudian ia melanjutkan “Fatah, dia ngajak perang dengan tulisannya yang propokatif itu, kita di zaman yang modern ini seharusnya tidak berfikir hal ikhtilafiyah, ehhh malah memulai menghasut, bahkan dengan bahasa yang profokatif, dengan berbagai data yang tidak konsisten, saya sudah mempersiapakan beberapa sanggahan eh malah tidak datang, kalau ia benar-benar bisa mempertanggungjawabkan tulisannya, seharusnya ia datang, saya juga tidak yakin ia menulis dengan penuh keikhlasan dan bermaksud untuk memperbaiki umat, tapi dnegan nafsu, wallah a’lam” kiai Nahidh agak sedikit kesal, tapi masih sempat tersenyum.
Kiaki Nahidh masih menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata“Fatah, kamu tahu tidak?, gara-gara buku itu, banyak saudara-saudara kita yang bertengkar bukan berdebat, malah bermusuhan! Apa sih keuntungannya menulis buku yang propokatif seperti itu?, saya kadang tidak paham, beberapa tokoh sekarang, yang suka mencari ketenaran diri dengan menulis hal-hal yang sudah usang namun dengan perspektif baru yang kuno” . “maksudnya apa pak Yai, dengan menulis hal-hal yang sudah usang namun dengan perspektif baru yang kuno” sanggah Fatah
“maksudnya, hal itu sudah lama kita berdebatkan dan dialogkan, dan sudah mulai saling memahami bahwa kita berbeda madzhab dan juga beda penafsiran, mengapa harus ribut, ya sudah!. Kiai Nahidh sedikit menjelaskan.
“geh sampun yai, kalau begitu, kita undang saja orang-orang yang lebih bijak dan bermaksud untuk meluruskan perbedaan pemahaman, bukan untuk memperkeruh keadaan, alangkah bijaknya jika kita mengundang ………(Fatah diam sejenak)……..mengundang siapa ya kiai?” Fatah masih bertanya-tanya.
“terserah kamu Fatah, saya ikut saja, dia bertangdang saya datang, kalau saya yang memilih, nanti dikiranya ada maksud yang lain, wes kamu saja Fatah” kiai Nahidh sambil tersenyum
**********
Beberapa minggu dari itu, Fatah dan kawan-kawannya mengatur acara dengan tema “Dialog Bid’ah- antara Realitas dan Kreatifitas”….sebuah tema yang agak sastrawi, Fatah sengaja membuat tema yang agak sedikit nyeleneh dari biasanya. Dia ingin menggelar acara yang dapat diterima semua pihak, baik yang pro atau yang kontra. Fatah dan kawan-kawan mengundang Agus Basid sebagai moderator, kiai Nahidh dari pihak yang pro “bid’ah” (memahami bid’ah dalam pespektif lain) dan Ustadz Muhammad Wahib, Lc dari pihak kontra (selalu melihat sesuatu dari kaca bid’ah, dan tidak suka membagi antara hasanah dan sayyi’ah). Namun dialog itu tidak terlalu resmi, ya hanya semi resmi saja.
“Assala’mualaikum Bapak, Ibu dan saudara-saudari sekalian, hari ini kita akan mengadakan dialog tentang bid’ah, antara yang pro dan kontra” Agus Basid membuka dialognya “yang dimaksud dengan pro, bukanlah yang suka melakukan bid’ah, tapi pemahaman bid’ah menurut pemahamnya, demikian juga kontra sesuai dengan pemahaman bid’ah dalam porsinya” .
Agus Basid membacakan tata tertib dialog, para peserta mendengarkan dengan penuh hikmat, di antara tata tertibnya adalah masing-masing dari pemateri (peserta) dialog tidak menggunakan pokonya atau hanya alasa tampa landasan, setiap argumentasi hendaknya disertai dalil baik al-Qur’an atau hadis dengan beberapa kitab yang disepakati. Dan dilarang keras untuk mengejek satu sama lainnya.
Dan terjadilah dialog antara Kiai Nahidh dan Muhammad Wahib, Lc.
Muhammad Wahib : sebelumnya saya akan jelaskan dulu apa itu bid’ah,dan mohon tanggapannya, agar kita memahami apa bid’ah menurut guru saya yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadis. Bid’ah menurut bahasa, diambil dari bida’ yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada contoh. Allah berfirman.
Badiiu’ as-samaawaati wal ardli “Artinya : Allah pencipta langit dan bumi” [Al-Baqarah : 117]
Artinya adalah Allah yang mengadakannya tanpa ada contoh sebelumnya.
Juga firman Allah :Qul maa kuntu bid’an min ar-rusuli
“Artinya : Katakanlah : ‘Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul”. [Al-Ahqaf : 9].
Maksudnya adalah : Aku bukanlah orang yang pertama kali datang dengan risalah ini dari Allah Ta’ala kepada hamba-hambanya, bahkan telah banyak sebelumku dari para rasul yang telah mendahuluiku.
Dan dikatakan juga : “Fulan mengada-adakan bid’ah”, maksudnya : memulai satu cara yang belum ada sebelumnya.
Dan perbuatan bid’ah itu ada dua bagian :
[1] Perbuatan bid’ah dalam adat istiadat (kebiasaan) ; seperti adanya penemuan-penemuan baru dibidang IPTEK (juga termasuk didalamnya penyingkapan-penyingkapan ilmu dengan berbagai macam-macamnya). Ini adalah mubah (diperbolehkan) ; karena asal dari semua adat istiadat (kebiasaan) adalah mubah.
[2] Perbuatan bid’ah di dalam Ad-Dien (Islam) hukumnya haram, karena yang ada dalam dien itu adalah tauqifi (tidak bisa dirubah-rubah) ; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Artinya : Barangsiapa yang mengadakan hal yang baru (berbuat yang baru) di dalam urusan kami ini yang bukan dari urusan tersebut, maka perbuatannya di tolak (tidak diterima)”. Dan di dalam riwayat lain disebutkan : “Artinya : Barangsiapa yang berbuat suatu amalan yang bukan didasarkan urusan kami, maka perbuatannya di tolak”.
Nahidh : Mari kita pahami bid’ah dengan lebih mendalam, menurut apa yang saya baca terhadap sabda Rasulullah SAW: كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة
“Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’. (HR.Abu Daud dan Tirmidzi).
Al-Imam An-Nawawi, didalam Syarah Sahih Muslim, mengomentari Hadits ini dan berkata: “Ini adalah sebuah kaidah umum yang membawa maksud khusus (‘Ammun makhsus). Apa yang dimaksudkan dengan ‘perkara yang baru’ adalah yang bertentangan dengan Syari‘at. Itu dan itu saja yang dimaksudkan dengan Bid‘ah”.[8]
Demikian juga ayat Allah juga menjelaskan, ada bid’ah yang terpuji, sebagaimana firman-Nya :
وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاء رِضْوَانِ اللهِ
“Dan kami jadikan di hati mereka (Hawariyyun pengikut Isa) rasa kasih dan sayang serta Rahbaniyah yang mereka buat, Kami tidak mewajibkan rahbaniyah itu, (mereka tidak melakukan itu) kecuali untuk mencari keridhaan Allah”. (QS. Al-Hadid : 27)
Dalam ayat itu Allah menjelaskan bahwa Ia telah mengkaruniai Hawariyyun dengan tiga perkata. Pertama, rasa kasih, yakni berhati lembut sehingga tidak mudah emosi. Kedua, rasa sayang, yakni mudah tergerak untuk membantu orang lain. Ketiga, Rahbaniyah, yakni bersungguh-sungguh didalam mengharap ridha Allah, mereka berupaya dengan banyak cara untuk menyenangkan Allah, walaupun cara itu tidak diwajibkan oleh Allah.
Allah SWT memang menyebut Rahbaniyah itu sebagai Bid’ah yang dibuat oleh Hawariyun, itu bisa dipahami dari kalimat ibtada’uuhaa (mereka mengada-adakannya). Namun Bid’ah yang dimaksud adalah Bid’ah Hasanah. Hal ini ditunjang dengan dua alasan:
Pertama, Rahbaniyah disebut dalam rentetan amal baik menyusul dua amal baik sebelumnya, yaitu ra’fatan (rasa kasih) dan rahmatan (rasa sayang). Kalau memang Allah mau bercerita tentang keburukan mereka akibat membuat Rahbaniyah, tentu susunan kalimatnya akan memisahkan antara kasih sayang dan Rahbaniyah. Sedangkan kalimat dalam ayat itu justru menggabungkan Rahbaniyah dengan kasih sayang sebagai karunia yang Allah berikan pada Hawariyun.
Kedua, Allah SWT berkata “Rahbaniyah itu tidak Kami wajibkan”. Tidak diwajibkan bukan berarti dilarang, melainkan bisa jadi hanya dianjurkan atau dinilai baik. Ini mengisyaratkan bahwa Rahbaniyah itu adalah cara atau bentuk amalan yang tidak diperintah atau dicontohkan oleh Nabi Isa, akan tetapi memiliki nilai baik dan tidak bertentangan dengan ajaran Isa. Bukti bahwa Allah SWT membenarkan Bid’ah mereka berupa Rahbaniyah adalah Allah SWT mencela mereka karena mereka kemudian meninggalkan Rahbaniyah itu. Ketika membuat Rahbaniyah menunjukkan upaya mereka untuk mendapat ridha Allah, maka meninggalkan Rahbaniyah menunjukkan kemerosotan upaya mereka untuk mendapat ridha Allah.[9]
Sebagian orang berkata: Ketika Nabi SAW berkata ‘semua bid’ah adalah sesat’, bagaimana mungkin ada orang yang berkata ‘tidak, tidak semua bid’ah sesat, tetapi ada yang baik’. Apakah ia merasa lebih tahu dari Rasulullah? Apakah ia tidak membaca ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَتَرْفَعُوْا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi..” (Al-Hujarat : 2)
Mereka menyalahkan orang yang bersandar pada pendapat ulama salaf dan menganggap orang itu lebih mengutamakan ulama daripada Nabi. Hal ini merupakan pemikiran yang sempit dan termasuk penistaan terhadap kaum muslimin. Ada berapa juta muslimin shaleh yang meyakini keilmuan dan ketaqwaan al-Imam asy-Syafi’i sang penolong Sunnah (Nashirus-sunnah), Ibnu Hajar sang pakar yang hafal puluhan ribu Hadits beserta sanadnya, an-Nawawi sang penghasil puluhan ribu lembar tulisan ilmiah dan sebagainya?
Moderator : Ok, kita sudah pada mendengarkan bid’ah dari KH. Nahidh dan Ustadz Muhammad Wahib, L.c. keduanya memiliki pandangan yang berbeda tentang apa itu bid’ah. Saya tidak harus menjelask kembali, namun pada intinya Ustadz Wahib berpendapat bahwa setiap bid’ah adalah sesat, dan sebaliknya KH. Nahidh berpendapat bahwa bid’ah tidak semuanya sesat, ia membagi bid’ah dengan beberapa macam, yang berdasrkan pendapat ulama’-ulama’ salaf. Mari kita dengarkan kembali dialog keduanya :
Muhammad Wahib: Kami tidak menjelaskan pendapat kami berdasarkan pikiran kami, tetapi berdasarkan ulama’ salaf juga.
Nahidh : Ulama’ salaf yang mana yang Anda maksudkan ?
Muhammad Wahib: Ulama’ semisal Ibnu Taimiyah.
Nahidh: Bukankah telah jelas dalam pembahasan yang lalu, bahwa definisi Bid’ah semisal Ibnu Taimiyah masih perlu penjelasan lebih lanjut? Dan kemudian diperjelas oleh definisi yang dikemukakan oleh As-Syafi’i?
Muhammad Wahib: Saya rasa definisi dari Ibnu Taimiyah sudah jelas, tidak perlu penjelasan tambahan.
Nahidh: Berarti Anda menafikan adanya bid’ah yang baik. Kalau demikian, apa pendapat Anda tentang hal-hal baru seperti mush-haf al-Qur’an, pembukuan Hadits, fasilitas Haji, Sekolah dan Universitas Islam, Murattal dalam kaset dan sebagainya yang tidak ada di zaman Nabi?
Muhammad Wahib: Itu bukan bid’ah.
Nahidh: Lantas di sebut apa? Apakah hanya akan didiamkan setiap hal-hal baru tanpa ada status hukum dari agama (boleh tidaknya). Ini berarti Anda menganggap Islam itu jumud dan ketinggalan zaman.
Muhammad Wahib: (Diam)…. Baiklah, tetapi kami memiliki ulama’ yang memiliki penjelasan tidak seperti apa yang Anda jelaskan, ulama’ kami membagi Bid’ah menjadi dua ; Bid’ah agama dan Bid’ah Dunia.
Nahidh: Nah, memang seharusnya demikian. Lantas, siapa yang membagi bid’ah menjadi demikian?
Muhammad Wahib: Ulama’ semisal Albani dan Bin Baz. Berdasarkan Hadits Rasulullah SAW, “Kalian lebih tahu urusan dunia kalian.”
Nahidh: Hadits tersebut bukan hanya ulama Anda yang mengetahui. Ulama’ salaf telah mengetahui Hadits tersebut, namun mereka tidak menyimpulkan demikian, karena itu berarti seakan-akan Nabi ‘mempersilahkan’ manusia untuk berkreasi dalam urusan dunia sesuka hati, dan Nabi ‘mengaku’ tidak banyak tahu urusan dunia. Baiklah, tidak usah kita berbicara terlalu jauh. Ketika ternyata Anda juga berdalih dengan pendapat ulama Anda, berarti kita sama-sama bersandar pada ulama. Sebuah pertanyaan buat Anda: Apakah Anda lebih percaya pada ulama Anda daripada ulama salaf yang hidup di zaman yang lebih dekat kepada zaman Nabi SAW? Apakah Anda mengira bahwa As-Syafi’i salah mendefinisikan Bid’ah -yang merupakan pokok agama maha penting- kemudian didiamkan saja oleh ulama salaf lainnya tanpa bantahan? Apakah Anda mengira Albani lebih banyak memahami Hadits dari Imam Syafi’i, Ibnu Hajar dan an-Nawawi?
Muhammad Wahib: Terdiam tidak menjawab.
Nahidh: Kami rasa tidak mungkin ulama Anda, seperti Ibnu Taimiyah, Albani dan Bin Baz sampai merasa lebih benar dari asy-Syafi’i, an-Nawawi, Ibnu Hajar, Al-Baihaqi dan ulama salaf lainnya. Mungkin ulama Anda hanya sekedar memiliki pemikiran berbeda, sebagaimana lazimnya ulama berbeda pendapat tanpa menyalahkan pendapat lain. Kami rasa Anda saja yang berlebihan dan kemudian menyalahkan ulama salaf demi membela pendapat ulama Anda. Kalau benar demikian, maka berarti Anda justru telah menistakan ulama Anda sendiri.
Moderator : itu beberapa perdebatan atau dialog antara KH. Nahidh dan Ustadz Muhammad Wahib, L.c, Karena waktu yang sangat sempit ini, dan kita tidak mungkin menuntaskan kajian bid’ah secara mndalam dan lebih dalam, maka insyallah dilain waktu kita akan adakan kembali dialog seperti ini untuk mengantarkan para hadirin dan orang-orang yang selalu memperdebatkannya sehingga memiliki pandangan yang lebih luas, dan tidak terbisa menggunakan kata “pokoknya” atau hanya mengklaim pendapat dirinya yang paling benar. Mari kita tutup dialog ini dengan doa kaffaratul majlis.
Malang, 03 Juli 2011
(beberapa dialog di atas diambil dari “kupas tuntas masalah bid’ah” dan beberapa refrensi lainnya, sedangkan dari permulaan tulisan ini hanya imajinatif penulis untuk memudahkan pembaca memahami bid’ah )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar