Halimi ZUhdy
Lelah ku menghitung awan
Tenggelam dalam rayuan
Tembakau menyebul membuat sakau
Padi mengering, ikan-ikan berlayar
Garam membentang,
sapi-sapi menari, berkerapan
siwalan bersiul-siul mencari juragan
Madura-ku
Sakera datang, kesombongan hingar
Kehormatan tepenjara, celurit terpencar
Darah tercurah, bukan membunuh
Tapi, sebuah pembelaan
Madaura-ku
Kekerasan memang bukan sebuah pilihan
Tapi, sebuah kewajiban
Celurit, sebuah kehormatan
Bukan tajamnya yang teracungkan
Kematian angkara ter- dahulukan
Madura-ku
Merah darah, lebih indah
Dari merah baju, pemoles nafsu
Merah darah, lebih indah
Dari kemunafikan yang selalu membiru
Celurit-ku
Tajam tanpa kata
Bertindak, hancurkan yang dusta
Membelai suka
Bendobrak angkara
Madura-ku
Keras, tegas, tegap….celurit-ku
Menghunus, tanpa kemunafikan yang berlaku
Muka tunduk bukan malu
Bersiap menenteng kepala yang beku
Tegap berjalan, bukan kesombongan
Demi meraih kehormatan agama yang terancam
Madura-ku
Hitam putih jadi pilihan
Bukan abu-abu yang dituhankan
“Ia” yang kau katakan
“ia” pula yang dendangkan
Madura-ku
Gelombang ombak yang kau rasakan
Hempasan angin yang kau inginkan
Perahu-perahu layar menebar angan
Membuatku tersimpuh di pelabukan kamal
Madura-ku
Tak ada kata yang lebih indah
Dari kata celurit “ pantheng mon sala”
Agar, indah diakhir kata
Malang, 10 Maret 2011
Kutemukan maduraku, dalam setiap tetesan rindu, anganku selalu melayang menemui ibuku, dari rantau ini, kuteriakkan kata yang kaku, walau sebenarnya anganku tetap “Madura-ku”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar