Facebook Halimi Zuhdy
Jumat, 11 Februari 2011
PUISI, KEKERASAN DAN AHMADIYAH
Halimi Zuhdy
Setelah terjadi kerusuhan di Banten, yang mengakibatkan empat orang meninggal dunia, puluhan luka-luka, dan sisanya kabur. Di sisi lain, bersorak menang, bangga membuat kerusuhan. Di pihak lain tersenyum dan bertepuk tangan atas kerusakan. Dan di sisi lain pula, bangga menjadi pembela agama dengan mengusung atas nama agama yang paling benar.
Kalau di Banten memakan korban, di Temanggung memakan bangunan dan membangun kebencian, lagi-lagi atas “nama”. Atas nama apa yang sebenarnya dicari? atas nama agama, agama tidak pernah mengajarkan kebencian dan kehancuran, tapi ia selalu membawa kerahmatan. Atas nama politik, mungkin saja karena semua penuh intrik dan licik. Atas nama budaya, budaya yang mana, kayaknya juga tidak, budaya selalu memberikan keindahan budi. Ah..jadi bingung. Selalu saja para pengamat mencari akar masalah, yang sebenarnya akarnya sudah terlalu tertancap begitu dalam dan benar-benar sulit untuk diluruskan apalagi diilangkan. Akar inilah yang selalu dibuat masalah, tanpa melihat bagaimana pohon masalah ditanam sedemikian rupa, puluhan tahun tahun bahkan ribuan tahun. Akar tidak akan pernah ada, kalau pohon atau bibit tidak pernah ditanam atau ditancapkan.
Tulisan ini mungkin terlalu melayang-layang, karena bukan memberikan solusi tapi membuat kebingungan, tapi tidak apalah, ketimbang hanya mengamati dan mengomentari, atau hanya berdiam diri, ini hanya untuk mengikis dan mencabuti rumput-rumput di sekitar pohon yang berakar kuat itu. Dengan apa ya? Bukan dengan parang, pisau, clurit, tangan kasar, bom, tombak, pistol, atau dengan kapak, tapi dengan PUISI. Ha..ha..mungkinkan puisi itu mampu memberikan solusi?mengapa tidak! Revolusi bangkit dengan kata, percayakah silahkan baca, betapa sastra dapat membantai kebobrokan bahkan menurunkan kediktatoran. Memang puisi hanya kata-kata yang dipoles keindahan, tapi tahukah bahkan akar masalah adalah dengan kata, tapi puisi “kata indah” adalah memberikan ribuan bungan untuk menebarkan keharuman bukan permusuhan, apalagi penyulut kerusakan.
sementara itu kita sering mendengar selentingan kesan dari mulut kemulut bahwa sesungguhnya puisi adalah gema jiwa manusia yang universal sepanjang zaman dan kehidupan. Puisi senantiasa bergema di mana-mana, di sudut-sudut perkotaan, di serambi-serambi rumah bahkan di dusun-dusun terpencil pun gaung puisi sering kita dengar setiap saat. ia ditulis tidaklah dengan imajinasi dan khayal biasa, ia membutuhkan perenungan mendalam, mengerahkan seluruh kekuatan hati, pemusatan pikiran, dan mengulahnya dengan kata-kata yang dapat mewakilkan seluruh perasaan dalam dirinya dengan ungkapan yang juga tidak biasa.
Banyak sastrawan-sastrawan yang mengungkapkan bahwa puisi itu bukanlah karya biasa, yang ditafsirkan dengan biasa-baisa saja, dibacakan dengan nada biasa, dan diolah pikir dengan cara-cara biasa. HB. Jassin seorang kritikus sastra Indonesia mengatakan bahwa puisi ialah pengucapan dengan perasaan…dalam puisi itu pikiran dan perasaan seolah-olah bersayap, ditambah lagi oleh syarat-syarat keindahan bahasa tinggi rendah tekanan suara (ritme). Bunyi dan lagu. Puisi ialah pelahiran manusia seluruhnya, manusia, agung dengan pikiran dan perasaannya. Edgar Allan Poe. Seorang penulis berkebangsaan Amerika mengatakan bahwa puisi adalah ciptaan dengan irama keindahan yang dimaksudkan untuk meluhurkan jiwa. Dan Percy Bysche Shelly seorang penyair masyhur berkata, puisi adalah rekaman dari saat-saat yang paling baik dan paling menyenangkan dari pikiran-pikiran yang paling baik dan paling menyenangkan.
Samuel Johnson mengatakan bahwa puisi adalah peluapan spontan dari perasaan-perasaa penuh daya; dia bercikal bakal dari emosi yang berpadu kembali dalam kedamaian. Matthew Arnold memberikan definisi bahwa puisi merupakan bentuk organisasi tertinggi dari kegiatan intelektual manusia. Senada dengan itu, Brdley mengatakan puisi adalah semangat. Dia bukan pembantu kita, tetapi pemimpin kita. Ralph Woldo Emerson mengatakan, ia merupakan upaya abadi untuk mengekspresikan jiwa sesuatu, untuk menggerakkan tubuh yang kasar dan mencari kehidupan lain dan alasan yang menyebabkannya ada.
Menulis sebuah puisi adalah mencurahkan isi hati atau sekaligus mengekspresikan diri dengan keterampilan menyusun kata-kata yang sangat dibutuhkan untuk itu. Puisi yang indah bukanlah merupakan letupan-letupan perasaan belaka, akan tetapi merupakan perpaduan rasa, pikiran dan kehendak atau perpaduan yang disebut keindahan. Seorang penulis puisi harus pandai menyihir para pembaca, artinya ia harus mengembangkan keadaan dari suasana sehingga membuat pembaca bersedih hati, bergembira, kwatir, tercekam, getun, dan sebagainya. Karena sebuah karya sastra dapat dinyatakan bernilai sastra apabila isinya menimbulkan suatu kekaguman dan keharusan. Keduanya harus mengisi, artinya dapat menggores setiap relung-relung kalbu pembacanya sebagai manifestasi nilai-nilai suatu karya yang mempunyai predikat seniAbdul Hadi berkata, kita akan terhindar dari sifat tergesa-gesa yang akhirnya akan merugikan kita sendiri. Jika tidak, kemungkinan besar apa yang kita nikmati dari puisi tersebut akan menjadi ambiguous atau obskur (tidak jelas, kabur), pada saat itulah kita akan mengalami suatu kesulitan dalam menikmati puisi. Maka sifat tergesa-gesa itu terasa kurang bijak dan adil bagi seorang penyair, disamping juga akan menghilangkan kesempatan untuk merenung dan menilai sesuatu yang sebenarnya hal itu sangatlah berharga bagi kita sebagai penikmat.
Selanjutnya Abdul Wahib, menjelaskan bagaimana puisi itu dapat dilahirkan dengan baik dan hasil yang memuaskan, menurutnya dalam proses melahirkan sebuah puisi, ada tiga faktor yang harus digaris bawahi, yakni; pikiran, perasaan dan khayal. Ketiga faktor ini bekerja sama di bawah disiplin keselarasan. Sehingga membenihkan sebuah hasil karya yang berhasil dan dapat dinikmati. Kerja seorang penyair dalam hal ini adalah membina ketiga unsur tersebut kemudian menatanya menurut sistem-sistem tertentu.
Puisi tak ubahnya makhluq hidup yang kekal. Dia memiliki roh dan taqdir sendiri, kalau penyair suatu waktu meninggalkan dunia. Maka puisinya akan hidup terus sampai sejarah mengubur, dan nasib penyair menjadi tragis ketika tak sempat tahu bagaimana nasib puisinya, karena puisi belum tentu menjadi bagian dari darah dagingnya. Para penyair boleh mati, akan tetapi puisi melampaui usia penyair itu sendiri.
Muhammad Sobary, seorang kolumnis pernah meneriakkan dalam kolomnya “Sastra, Ideologi, dan Dunia Nilai”, puisi membikin lembut cita rasa hidup kita. Puisi menawarkan pilihan dan membuka peluang memperbesar watak humanis kita, dan menghargai manusia dengan harga kemanusiaannya. Saya kira puisi membantu manusia menjadi manusia.
Tapi mengapa puisi dijauhkan dari hidup kita, seolah puisi penyakit menular dalam sekali sentuh “kusta”? siapa yang menjauhkan kita dari puisi? Mengapa Menteri Pendidikan membiarkan pendidikan buruk ini berlangsung di depan kita, dan tak ada yang berteriak mengenai perlunya pendidikan kesusastraan yang memadai agar anak-anak mengerti puisi.
Mengapa penerbit-penerbit tak mau menyumbang bangsanya dengan menerbitkan puisi gratis, atau menjualnya dengan harga murah supaya warga Negara menjadi lebih pintar, lebih sensitive, lebih manusiawi?. Mengapa para banker kikirnya luar biasa terhadap warga negara baik-baik, tapi luar biasa pemurah hatinya kepada pembobol bank dan para penipu yang biasa mereka bangkrut.
Puisi bukan hanya untuk memuaskan nafsu, menikmati kata, bernostalgia dengan paragraf-paragraf, menentramkan hati dan pikiran, namun lebih dari itu puisi dipergunakan sebagai alat revolusi, kemerdekaan dan perubahan. Puisi sebagai ekspresi kemerdekaan, tidak hanya cuma buat hal-hal yang menentramkan, sebab ia juga bisa muncul menggelisahkan. Gunawa Muhamamd pernah berkata, Saya tidak bisa cuma memilih hidup kreatif, tapi sementara itu tidak bersedia untuk, seperti Adam, dilemparkan dari sorga yang menentramkan ke dunia penciptaan yang resah”.
Puisi akan selalu menyisakan seribu pemaknaan dan penafsiran, ia tidak akan pernah utuh ditafsirkan karena pesona yang selalu melekat dalam kata-katanya. larik-lariknya tak tersekat oleh kebakuan bahasa, dia bebas menerbangkan sayap-sayap maknanya.
Jika hati-hati orang-orang Indonesia dipenuhi puisi, mungkin kelembutan akan terbingkai dalam kehidupan kemasyarakatan dan kebudayaan, tidak akan lagi ditemukan kerusakan, kerusuhan dan kehancuran, sebagaimana yang kita saksikan ditemenggung dan lain-lainnya .[ ].
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar