Halimi Zuhdy
Perlakukan orang lain sebagaimana mestinya,
maka Anda membantu mewujudkan berbagai potensi mereka. Goethe
Anak-anak sering dibentuk menjadi diri kita, diri kita yang sudah dewasa, bisa berbicara, membaca, bekerja, berfikir, mengukir, dan berlari sangat kencang….kita paksa mereka untuk belajar agar pintar, cerdas, cepat tumbuh menjadi orator, guru, dosen, ilmuan, artis, model, tehnisi, dan lainnya, sehingga waktu mereka hanya untuk membaca, menulis, berpose, ….bersekolah dan sekolah….agar cepat bisa membaca kita paksa untuk selalu memegang buku, kita ajarkan mereka siang dan malam huruf-huruf dan angka-angka…agar bisa menjadi artis kita ikutkan berbagai even walau ia tidak mau, agardia cepat pintar, kita paksa untuk tidak bergaul dengan teman-temannya yang selalu bermain….tak ada waktu untuk bermain dengan teman bahkan dengan keluarga kita, karena kita merasa kita punya tanggung jawab besar untuk mencerdaskan mereka, sehingga waktu mereka harus benar-benar dimanfaatkan dengan belajar.
Tanggungjawab yang dipaksakan tanpa melihat kemampuan dan karakter anak. Paksaan itu bahkan memperkosa bakat dan kecederungnya, dia harus seperti apa yang kita inginkan, agar menjadi orang sukses “versi kita”, beban yang diberikannya sungguh sangat berat, kadang diluar kemampuannya, kadang ia diam seribu bahasa, karena orang tua yang cederung egois memaksakan kehendaknya, ketika diam kita paksa lagi untuk mampu berbicara, berorator, dilatih siang malam, sampai-sampai tak ada waktu untuk bermain. Sungguh serba salah, karena kita terlalu egois untuk membuatnya menjadi kita atau menjadi orang yang kita idolakan, dan kita memahami bahwa anak mempunyai keunikan tersendiri. Cita-citanya kita bentuk sedemikian rupa, agar ia menjadi sukses “versi kita”…walau pun ia memiliki cit-cita sendiri, namun tidak didukung, bahkan selalu disudutkannya, ketika mencari Kuliah yang sesuai dengan keinginan anaknya, kita paksakan ke kuliah yang lebih menguntungkan sekali lagi menurut “versi kita”…seringnya lebih menguntungkan dalam hal ekonomi, agar setelah lulus dapat bekerja….ya..mungkin itu kecendrungan pragmatis. Seakan-akan hidup hanya untuk menemukan pekerjaan, titik, bukan hal yang mungkin lebih mulia.
Hal yang aneh lagi, sang Ayah dan ibu sangat bangga ketika melihat anaknya seperti orang dewasa (berada dibukan dunianya dan bukan usianya), mampu berbuat di atas kemampuan rata-rata, ia memamerkan kemampuan anaknya yang mampu tanpil di depan halayak….tapi ia tidak sadar anaknya ketika itu dalam kerangkeng, penjara psikologi, pemerkosaan bakat, bahkan dibunuh oleh orang tunya sendiri, atas nama kehebatan.
Bukan hanya ketika menjadi anak-anak yang dipaksa, namun ketidak dewasa pun ia paksa untuk menaatinya dalam pilihan jodoh orang tuanya, sekolahnya, dan menceraikan suami/istrinya ketika orang tuanya tidak cocok dengannya. Inilah pemaksaan selera, seakan-akan anak-anak harus memiliki selera yang sama dengan orang tua. Dalam tafsir al-Manar Rasyid Ridha menulis “Yang demikian tidak direstui agama dan bukan bagian dari kewajiban menaati dan berbuat baik kepada orang tua”.
Dunia Anak
Anak-anak mempunyai dunianya sendiri, dunia yang sering tidak dipahami oleh siapa pun, bahkan sang ibu yang setiap hari bergumul dengannya sering dibuat bingung, karena tingkah anaknya yang aneh dan unik, keunikannya terlihat ketika ia disuruh tapi tidak mau, ketika dilarang ia kerjakan, ketika disuruh belajar malah ia tidur, ketika waktunya tidur ia ingin belajar. keunikannya setiap hari berganti-ganti, sesuatu yang kadang tidak dimengerti, ketika umurnya sudah menginjak TK, ia malah males belajar, tapi sebelumnya rajin membaca dan menulis, tapi setelah menginjak MI/SD dia malah melebihi teman-temannya, ia rajin dengan sendirinya….ada pula keunikan dalam merangkak, berjalan, dan berlari, semua anak tidak sama, ada yang berjalan ketika berumur dua tahun, ada yang dua tahun setengah, bahkan baru berumur tiga tahun….tidak pernah sama, apakah keunikan itu harus dipaksakan dan mereka harus sama dalam bergerak….! Bagi orang tua yang egois, pasti mempunyai anggapan, anak saya tidak cerdas, anak saya malas, anak saya tidak Pede, anak saya nakal, dan lainnya….ia ingin anak sama dengan orang lain, sedangkan anak memiliki karakter yang berbeda-beda.
“Anak bukanlah kelanjutan sifat, profesi, atau kepribadan ibu-bapaknya. Mencintainya adalah menumbuhkembangkan bakat dan kepribadiannya karena cinta adalah mesra antara dua pribadi dengan dua “aku” yang berbeda. Dunia anak adalah dunia permainan, dengan bermain, ayah, ibu atau siapa pun dapat mendidiknya” demikian kata Quraisyi Shihab. Rasulullah bersabda “ siapa yang memiliki anak-anak hendaklah ia bermain bersamanya” dan dalam hadis yang lain “ Siapa yang mengembirakan hati anaknya, maka ia bagaikan memerdekakan hamba sahaya, siapa yang bergurai untuk menyenangkan hatinya, maka ia bagaikan menangis karena takut kepada Allah.
Biarkan mereka bermain sesuka hatinya, asalkan kita mampu menjagaya, agar permainan itu tidak berbahaya baginya, pilihlah permainan yang baik dan ia suka, bukan memaksakan permainan yang ia sendiri enggan untuk bermain. Dan Saiful menulis “Biarkan ia menjadi dirinya sendiri, menemukan kecerdasannya sendiri. Tak ada hak sama sekali bagi orang tua untuk memaksa dengan berbagai cara dan alas an (meskipun dengan dalih demi masa depan anak). Allah yang mencipta mereka lalu menitipkannya pada kita. Kewajiban kita adalah mengoptimalkan setiap potensi yang dimilikinya. Apa pun bentuk dan rupa potensi itu.
Kita bukanlah raja yang gemar memerintah, tapi kita hanya sebagai orang yang dititipkan untuk menjaganya dan membantunya, memeliharanya dan selalu mendoakannya, agar ia menjadi anak yang baik dimata manusia dan Allah. Kreasi terbaiknya, jika ia mampu mengoptimalkan potensinya, dan tidak dengan gejolak hatinya. Dan kehebatan kita (sebagai orang tua), jika kita mampu menahan ego kitauntuk menjadikannya sebagai diri kita, kita yang kadang selalu mengaitkan dengan logika dan kalkulasi untung- rugi. Sedangkan logika dan kalkulsi akan membuat kita jatuh tersunggur, bukan hanya anak kita yang dirugikan, tapi kita gagal menjadi orang tua teladan.
“Mereka mungkin bisa melupakan apa yang Anda katakan, tetapi mereka takkan pernah melupakan perasaan yang Anda timbulkan dalam hati mereka.” Carl W. Buehner
http//halimizuhdy.blogspot.com
http//sastrahalimi.blogspot.com
Malang, 11 Januari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar