Halimi Zuhdy
Sebenarnya tulisan ini berangkat dari kegelisahan penulis atas ketidak –pede-an para sastrawan kampung untuk unjuk gigi ke pentas dunia, mereka lebih senang bersembunyi di balik gubuk-gubuk ilalang dari pada bertengger di bangunan kokoh berderet permata, lebih suka berdamai dengan sawah-sawah yang indah dari pada troktoar-troktoar ketidak jelasan, lebih suka bermain pet ta umpet dengan kodok dari pada mempublikasikan karyanya…dan penulis suka pada mereka karena kesederhanaan dan keikhlasan karyanya, namun ke-tidak pedeannya yang dapat menghilangkan kretifitas mereka di pentas dunia, sehingga ke-elokan kampung tidak dikenal oleh orang-orang kota atau orang-orang dunia.
Saat inilah sastra kampung yang harus di bangkitkan demi menjaga keangkuhan sastra menuju ketawadhuan sastra……(karya sastra). Saya pernah membaca tulisan Ahamadun “sastra Indonesia sejujurnya adalah sastra kampung, sastra yang bersemangat orang kampung, atau 'sastra kampungan' sastra yang kurang pede pada jati dirinya sendiri, sebagaimana 'orang kampung' yang kurang pede jika tidak meniru gaya orang kota. Sebagaimana orang kampung yang ingin (sok) modern dan 'sok kota' yang lupa pada persoalan budaya kampungnya sendiri, sastra Indonesia pun telah lama tercerabut dari akar budaya kampungnya sendiri: Nusantara.
Sehingga, ketika muncul wacana estetika 'kembali ke Timur' pada tahun 1970-an atau wacana 'kembali ke warna lokal' belakangan ini, menjadi wacana baru yang begitu menarik dan membuat banyak sastrawan jadi 'gegap gembita'. Padahal, estetika Timur atau warna lokal mestinya sejak dulu sudah menjadi darah daging sastra Indonesia. Agaknya benar tesis Nirwan Dewanto, bahwa sastra Indonesia adalah 'sastra dunia' (baca: sastra Barat) yang berbahasa Indonesia.
Sastra kampun di Indonesia agak malu-malu kucing meskipun banyak contoh dari kampung menuju dunia adalah dan di pentas internasiona cukup diperhitungkan seperti karya-karya Najib Mahfoudz (Mesir), Rabindranat Tagore (India) dan Kenzaburo Oe (Jepang). Atau, setidaknya sekelas karya-karya Jalaluddin Rumi (Turki) dan Kahlil Gibran (Libanon-AS), yang begitu mendunia meskipun tanpa Nobel Sastra. Kalau Ahmadun menggambarkan sastra kampung (Indonesia), yang paling gampang disebut sebagai karya yang cukup mendunia adalah Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer. Selain telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia, novel anti-borjuis yang sangat memikat itu bahkan berkali-kali sempat menempatkan Pram sebagai nominator peraih Nobel Sastra, tapi setelah Pramoedya tidak lagi tanpak sastra-sastra kampung yang mampu mendunia…mungkin masih dalam proses mengutuhkan diri.
Dan lagi, sastra kampung yang mengajarkan keberadaan diri dan ke-desaan diri….sudah mulai dibrangus dengan kolom-kolom sastra kota yang agak sedikit tak mengenal kediriannya yang sesungguhnya….dia tidak lagi mengenal jati dirinya yang berangkat dari keelokan perkampungan menuju kegarangan perkotaan, sungguh ironis memang beberapa sastrawan yang tak lagi ingat kampung (karena merasa sudah berada di kota)…..dan tak lagi melirik ke-kampungan-nya karena merasa tak mendapatkan tempat dalam kancang dunia….ha3[].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar