Halimi Zuhdy*)
Ada sebuah pertanyaan mendasar dari pesta meriah yang diadakan di south Africa atau mungkin pertanyaan ini juga bisa tertujukan pada pesta-pesta sepak bola di seluruh dunia. Pertanyaan yang cukup mendasar itu didasarkan pada istilah filsafat : ontologi, epistimologi dan aksiologi, karena istilah ini sering dijadikan patokan untuk mengetahui sebuah hakekat keberadaan sesuatu yang kemudian memunculkan manfaat yang berdampak pada manusia, sehingga tidak ada pekerjaan sia-sia yang dilakukan, karena asas keindahan yang hakiki adalah apabila manusia selalu berasaskan manfaat baik pada diri sendiri dan orang lain, dan keberadaannya di dunia atau diciptakan Tuhan di dunia memang bukan hanya untuk sesuatu yang hampa tetapi untuk sebuah misi dan kebaikan alam seisinya (rahmatan lil’alamin). Dan pada akhirnya, adalah sebuah keterbudakan diri pada Sang Pencipta, dari keterbudakan itu ia akan selalu menjadikan semuanya yang ia lakukan adalah hanya untuk Sang Pencipta (muklisin), kalau hanya untukNya tidak akan pernah menyimpang, karena Sang Pencipta tidak pernah mengarahkan manusia untuk menyimpang apalagi berbuat kerusakan baik diri, orang lain atau lingkungan.
Mari kita mulai dengan pertanyaan-pertanyaan itu dengan apa (ontologi), apa sebenarnya (hakekat) sepak bola (football ), dalam istilah Indonesia, sepak kita artikan dengan menendang, memukul, melempar. Sedangkan bola adalah benda yang bulat yang terbuat dari bahan-bahan tertentu plastic, karet, dll. Sepak bola adalah menendang benda bulat, atau sepak bola adalah sebuah permainan yang dilakukan oleh tim kesebalasan dengan aturan-aturan lapangan sepak bola, Bola Sepak bola, Jumlah Pemain, Peralatan Pemain, Wasit, Asisten wasit, Lama Permainan, Memulai dan Memulai Kembali Permainan, Bola Keluar dan di Dalam Lapangan, Cara Mendapatkan Angka, Offside, Pelanggaran, Tendangan Bebas, Tendangan penalti, Lemparan Dalam, Tendangan Gawang, Tendangan. Dari kelengkapan tadi dapat difalsafahkan dalam bagaimana dalam kehidupan bernegaran dan berbudaya. Di sana ada “Tujuan permainan” yaitu dua tim yang masing-masing terdiri dari 11 orang bertarung untuk memasukkan sebuah bola bundar ke gawang lawan (“mencetak gol”). Tim yang mencetak lebih banyak gol adalah sang pemenang (biasanya dalam jangka waktu 90 menit, tetapi ada cara lainnya untuk menentukan pemenang jika hasilnya seri). akan diadakan pertambahan waktu 2x 15 menit dan apabila dalam pertambahan waktu hasilnya masih seri akan diadakan adu penalty yang setiap timnya akan diberikan lima kali kesempatan untuk menendang bola ke arah gawang dari titik penalty yang berada di dalam daerah kiper hingga hasilnya bisa ditentukan. Peraturan terpenting dalam mencapai tujuan ini adalah para pemain (kecuali penjaga gawang) tidak boleh menyentuh bola dengan tangan mereka selauma masih dalam permainan. Dan Sepak bola bukan lagi sebuah istilah menendang bola, tapi sudah berubah dari makna awalnya dan menjadi sebuah permainan yang sistematis.
Sedangkan secara Epistimology, bagaimana sepak bola itu dilakukan?. Epistemologi adalah ilmu tentang tahu dan pengetahuan (van cleve Morris, 2007) atau Epistemologi adalah cabang filsafat ilmu yang menyelediki asal, sifat, metode, dan gagasan pengetahuan manusia. Singkatnya, cabang filsafat ilmu ini menjawab pertanyaan mengenai cara mendapatkan atau mencapai suatu pengetahuan tentang realitas sebagai sebuah ilmu. Mungkin lebih mudahnya, bagaimana sepak bola ini diperoleh , baik bagi pemainnya atau penggemarnya, bagi seorang pemain ia memperoleh kemahiran sepak bola bisa karena dalam dirinya ada talenta yang kuat kemudian melatih dirinya untuk selalu melakukan aktifitas “menyepak bola” baik di lapangan atau diluar lapangan, yang kemudian hari setalah berlatih dan berlatih ia akan menemukan dirinya mahir dalam sepak bola, atau kemahirannya lewat sang pelatih yang mempola pemain untuk menemukan talenta terbaiknya atau performa terindahnya dalam persepak bolaan. Sedangkan penggemar sepak blola, akan mendapatkan keindahan permainan sepak bola, dari pemahaman tentang sepak bola itu sendiri, misalkan ia memahami Sepak bola dalam pertandingan, olahraga ini dimainkan oleh dua kelompok berlawanan yang masing-masing berjuang untuk memasukkan bola ke gawang kelompok lawan. Masing-masing kelompok beranggotakan sebelas pemain, dan karenanya kelompok tersebut juga dinamakan kesebelasan.
Penggemar/penonton sepa bola akan menemukan keindahan dalam permainan bukan karena permainan yang sesuai dengan atauran, namun jika permainan itu dimainkan oleh para pemain yang mempuyai talenta sepak bola. Kembali ke istilah epistimologi “bagaimana”,bagaimana mempermainkan, bagaimana menemukan keasyikan, bagaimana memasukkan, masih banyak pertanyaan dari epistimologi yang perlu untuk dijawab, dan masih banyak rahasia yang bisa diperoleh dari sepak bola yang umurnya sudah sangat tua, sehingga tidak lagi sebuah permainan tapi kadang sudah menjadi kesakralan luar biasa, hal ini dibuktikan dengan banyaknya jampi-jampi dari para normal, memainkan dukun, pendewaan terhadap pemain sampai dijuluki tangan Tuhan, kemukjizatan (yang dalam agama, hal ini cukup sacral), bahkan Tuhan jua selalu berperan di dalamnya. Yang kresten dengan ciri doanya, tuhan Bapak, Ibu dan Anak yang biasanya tangannya diletakkan di kening, dada sebelah kanan dan kiri, sedangkan muslim mengangkat kedua tangannya kemudiaan menengadahkannya ke atas, dan demikian juga agama-agama lainnya. Dalam dunia politik, juga memainkan peran yang cukup canggih sebagai alat demonstrasi atau alat pelanggengan kekuasaan, hal ini bisa dilihat ketika pesta rakyat di berbagai tempat dunia ini lagi beraksi. Sepak bola adalah pertaruhan luar biasa, perjudian marak dimana-mana dengan mempertaruhkan salah satu kesebelasan tertentu, sampai-sampai nyawa pun ditaruhkan demi sebuah kebanggaan pada klup tertentu, tidak sedikit para sporter yang berjuang mati-matian demi sebuah kebanggaan.
Selain menjadi sebuah alat kesakralan ia juga sebagai alat revolusi. Hal ini terbukti hampir setiap kali perhelatan piala dunia selalu terjadi “revolusi” pada masyarakat di negara penyelenggaranya. Misalnya, mental masyarakat Jerman Barat yang hancur akibat Perang Dunia II, akhirnya menemukan kembali bentuknya setelah negara tersebut meraih juara dunia seusai mengalahkan Hongaria 3-2 di Swiss, 1954. Piala Dunia 1966 di Inggris, melahirkan “revolusi” masyarakat modern, yang melakukan pemberontakan terhadap nilai-nilai feodalistik yang berkembang di negara tersebut. Kemenangan Inggris atas Jerman Barat 3-2 dalam final tersebut, telah mendorong kaum mudanya untuk menemukan identitas baru. Bukankah pasca Inggris juara itu, revolusi musik pop dan rock melanda Inggris, yang dimulai dari The Beatles, Rolling Stones, Queen, hingga The Police atau Duran-Duran. Lalu, ribuan anak muda memilih profesi pemain sepakbola sebagai pilihan utama. Piala Dunia 1978 di Argentina juga melahirkan hal yang sama. Masyarakat miskin yang berada di negara tersebut, memilih sepakbola sebagai “peluang” bebas dari kemiskinan, selain olahraga tinju atau balap mobil. Boca Junkaior, merupakan bukti sebuah klub milik masyarakat miskin yang puncaknya melahirkan legendaris Maradona. Amerika Serikat yang mendapat kecaman International sebagai akibat perang Teluk, menemukan kembali kepercayaan International setelah menggelar Piala Dunia 1994.
Sedangkan secara aksiologi, sepak bola dapat dilihat dari berbagai aspek, mungkin sebelumnya apa aksiologi itu, Axio berasal dari bahasa yunani nilai (value), logi “ilmu, dapat disimpulkan axiology adalah ilmu yang mengkaji tentang nilai-nilai. (Van Cleve Morris), atau Aksiologi adalah cabang filsafat ilmu yang mempelajari nilai. Nilai-nilai yang dipelajari oleh axiology sebagai cabang filsafat ilmu adalah yang berkaitan dengan pengembangan dan kegunaan ilmu-ilmu itu. (Nina Winangsih). Kalau disederhanakan aksiologi dari sepak bola bisa menjawab “untuk apa”, karena setiap sesuatu di muka bumi ini pasti mempunyai tujuan, baik itu tujuan baik atau tujuan jelek, namun aksiologi lebih pada sebuah pertanyaan tentang bagaimana implikasi sepak bola dalam menumbuhkan sebuah nila-nilai yang baik, ini sebenarnya yang harus selalu didengungkan dan didemonstrasikan agar sepak bola tidak hanya menjadi sebuah permainan hampa dan nista, tapi menjadi sebuah pergerakan yang menghasilakan sebuah kebaikan dunia, dan terciptanya keindahan, ketentraman dan kemakmuran.
Misalkan menurut Antonio Gramsci sepakbola sebuah model masyarakat individualistik. Ia menuntut inisiatif, kompetisi, dan konflik. Tapi ia diatur oleh aturan tak tertulis bernama fair play. Artinya, Gramsci menilai sepakbola tak lebih dari persaingan individu untuk menemukan identitasnya dalam permainan sepak bola. Bisa benar.Bisa juga salah, seperti yang diungkapkan Bill Shankly, mantan manager klub Liverpool. Katanya, “Aku percaya dalam sosialisme setiap orang saling bekerja untuk orang lain, setiap orang berbagi hasilnya. Begitulah caraku melihat sepakbola, caraku melihat kehidupan.”
Dan tidak sedikit sepak bola selalu melahirkan kerusahan-kerusahan yang luar biasa, kalau di Indonesia ada istilah BONEK yang selalu membuat onar dimana-mana, di mana ada bonek, di sana ada kerusahan, sehingga bonek diistilahkan sumber kerusuhan, mereka siap mati atau hidup seratus tahun lagi demi klup kesebelasannya. Juga Honduras dan El-Salvador terlibat perang setelah kedua negara itu melakukan pertandingan sepakbola dalam babak penyisihan pra Piala Dunia 1970 yang digelar di Mexico. Dan bukan hanya omong kosong, hampir setiap kali digelar Piala Dunia selalu melahirkan kerusuhan massa. Dan tidak sedikit yang nyawanya melayang. Setiap digelar Piala Dunia selalu menyulut kemarahan masyarakat dari negara yang sudah tersingkir. Sebut saja Rusia, Argentina, Jepang, dan lebih gila lagi Italia. Kebencian masyaraka mt Italia terhadap wasit Moreno asal Ekuador yang dituduh penyebab tersingkirnya Italia dari Koera Selatan pada Piala Dunia 2002 lalu, sangat luar biasa. Hampir semua media massa di Italia menyalahkan Moreno. Tidak disitu saja, nasionalisme yang berlebihan itu telah menghancurkan nilai-nilai persaudaraan dan profesionalisme. Pemain Korea Selatan, Ahn Jung-hwan, pencetak gol kemenangan Korea Selatan, akhirnya dipecat dari Perugia, salah satu klub liga Seri A Italia saat itu. Ahn dituduh sebagai “pengkhianat” bangsa Italia. Ini persis dialami Maradona saat membela Napoli, seusai Argentina memenangkan Piala Dunia 1986 dan menyingkirkan Italia sebelum melumat Jerman Barat di final.
Masih banyak contoh-contoh kerusuhan luar biasa yang bermula dari pesta itu “sepak bola”. Tapi juga tidak sedikit kebaikan yang didapat dalam pesta tersebut, sebagaimana yang telah dicontohkan di atas.
Dan asyiknya lagi, nilai yang di dapat dari sepak bola adalah bagaimana melatih seseroang untuk jujur dan mematahui peraturan dalam kehidupan ini diajarkan dalam peraturan sepak bola : (Laws of the Game) Peraturan resmi sepak bola dari FIFA.
Pada akhirnya bagaimana sebuah kesebelasan berbain dengan baik, sesuai dengan aturan FIFA atau kalau di Indonesia PSSI. Sedangkan dalam kehidupan, kita harus patuh pada aturan-aturan Allah swt, yang sudah tercantum dalam al-Qur’an al-Hadis, maka kita akan menemukan kehidupan yang luar biasa, dan akan menciptakan gol-gol iman jiga bermain dengan luar biasa, dan akan memasuki gawang-gawang ihsan jika manusia sudah tertuju pada Allah. Dan sorak-sorai para malaikat bergembira karena hamba-hamba Allah bersenandung rindu pada-Nya. Mudah-mudahan sepak bola bukan hanya sebuah ajang pernainan hampa (la’bun wa la’ib) tapi adalah menjadi sebuah pelajaran hidup yang dapat membawa manusia pada kesadaran tinggi, sehingga dapat meraih ketakwaan.
Penggemar falsafah Sepak bola, tapi tidak suka melihat fanatisme,kemungkaran, dan kejahatan sepak bola
Tidak ada komentar:
Posting Komentar