Sebuah Refleksi Untuk Hari HAM
(10 Desember 2009)
Subuh jam 04.01 WIB, seperti biasanya saya membangunkan teman-teman untuk sholat jamaah di masjid, ketika saya masuk ke salah satu kamar mereka, ada di antara mereka yang misuh-misuh dengan nada geram dan luapan amarah penuh kesal, “jancuk, kurang ajar kamu”, saya kaget, kenapa ia sampai misuh-misuh seperti itu.
Eh, tak tahunya ia lagi berperang dengan seekor kutu busuk, dengan gilanya ia meremas-remas bahkan membakarnya. Kenapa ia harus marah dengan luapan emosi yang tinggi, padahal yang dihadapi hanya seekor kutu busuk, yang tidak mungkin melawan apalagi membalas dengan ocehan-ocehan yang lebih sengit. Sungguh ironis dan kadang tidak masuk akal, mengapa mereka tega-teganya membunuh dengan nafsunya dan dengan makian dan cacian yang mungkin sang kutu busuk tidak paham dengan kata-katanya itu, ia hanya bisa pasrah dan kalau ada kesempatan lari, tapi kalau tidak, ia tidak akan berbuat apa-apa; diinjak, ditindih, bahkan dibakar ia tetap pasrah.
Tidakkah kita ingat, kisah Ali bin Abi Tholib sahabat dan juga keponakan Nabi saw, yang tangannya terhenti kaku untuk mematahkan leher musuhnya yang sudah ada di hadapannya hanya gara-gara musuhnya meludahi mukanya. Ali tidak menebaskan pedangnya, karena ia takut, jangan-jangan ia membunuh bukan karena kecintaannya pada Allah swt, tapi karena nafsunya yang lebih dikedepankan karena meludahi mukanya. Atau kisah Sunan Bonang yang menangis tersedu-sedu dan beristighfar tiada henti-hentinya, gara-gara ia mencabut rumput dengan tidak sengaja. Atau kisah Nabi Sulaiman as yang menghentikan seluruh pasukan besarnya yang terdiri dari seluruh jenis makhluk, hanya gara-gara di depannya melihat semut kecil. Juga kisah Nabi Ayyub as yang tak kalah mengharukan, setiap kali ia ingin sholat, dengan sabarnya ia mengambil dan meletakkan ulat-ulat yang menggerogoti daging-dagingnya, kemudian dikembalikan ketubuhnya setelah selesai shalat, dan membiarkannya melahap kembali sisa-sisa daging yang masih tersisa balik tulang-tulangnya.
Sungguh, betapa indah kehidupan mereka, yang hidup di dunia yang belum mengenal istilah HAM (Hak Asasi Manusia) HAH (Hak Asasi Hewan), HAT (Hak Asasi Tumbuhan) dan belum mengenal pasal-pasal, bab-bab tentang itu semua, tapi mereka dapat hidup damai, sejahtera, tanpa meluapkan nafsu amarah yang tidak pada tempatnya, saling hormat menghormati dan menghargai sesama makhluq baik yang bernyawa atau tidak. Mereka hanya patuh pada nurani yang bersumber pada ajaran Tuhan.
Sedangkan kita masih bebas membantai hewan-hewan, mencabuti tumbuh-tumbuhan tanpa etik, mencemari sungai-sungan dan lautan, dan mencaci maki bahkan membunuh manusia-manusia yang hanya mencolek perasaan kita, sedangkan setiap hari kita disuguhi undang-undang kemanusiaan (rule of live), ajaran-ajaran agama, ceramah-ceramah yang tidak pernah sepi. Apa sebenarnya yang salah pada diri kita?, apa nurani-nurani kita terlalu kotor sehingga cahaya-cahaya iman tidak mampu lagi memberikan pencerahan. Atau kita terlalu sombong berlaga seperti Tuhan dengan seenaknya membunuh makhluq-makhluq yang tidak berdosa. Sedangkan Tuhan pun –yang memiliki kehidupan kita- tidak mudah menyiksa, menyakiti, dan membunuh meskipun jelas-jelas hamba-hambanya bermaksiat, membuat onar di muka bumi dan menyekutukan-Nya, Dia masih memberi rizki, kasih-sayang dan kenikmatan yang tak terkirakan.
Di manakah hati nurani kita,? [ ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar