Halimi Zuhdy
orang di mana-mana mencari kenikmatan dan kepuasan dirinya, nikmat itu sendiri adalah kepuasan, ketika orang merasa puas maka ia akan merasakan nikmat. Untuk meraih kenikmatan terkadang orang berani mengorbankan kehormatannya, hartanya dan lainnya.
Kenikmatan sering diedentikkan dengan kekayaan harta yang melimpah ruah segala apa yang dibutuhkan berada dihadapannya, tingginya pangkat agar dihormat oleh banyak orang, istri yang cantik, rumah mewah, kendaraan yang paling cangging dan modern. Ia tidak pernah melihat bahkan menutup mata, bahwa kenikmatan tidaklah berasal dari itu semua, namun kenikmatan haqiqi apabila dia merasa cukup terhadap apa yang ia dapatkan. Jika besarnya rumah dibuat setandar kenikmatan, bagaimana dengan Rasulullah yang rumahnya kecil terbuat dari pelapah kurma, sedangkan Rasul tidak pernah merasakan malu, minder, sumpek dan bosan memiliki rumah seperti itu, bahkan ia bersabda, Baity jannaty, rumahku adalah surgaku.
Rumah yang sempit, tidaklah selalu mengindikasikan sempitnya kenikmatan dan sempitnya jiwa. Jika ukurannya nikmat hanyalah besar dan mewahnya rumah, betapa banyak orang yang merasa nikmat dengan rumahmya yang kecil, namun keluarganya penuh dengan bunga-bunga keindanhan dan kenikmatan, dan betapa banyak orang-orang yang memiliki rumah mewah dan megah, namun tidak pernah merasakan kenikmatan, selalu bertengkar dengan istrinya setiap hari karena hanya persoalan yang sepele, dibenci tetangga karena pembatas tembok yang menjulang.
Hidup Bukan Untuk Diri Sendiri
Merasa terganggu, itu terkadang yang aku rasakan ketika aku harus konsentrasi untuk melakukan pekerjaan, yang menurutku mendesak dan harus selesai dengan waktu tertentu. Tetapi, seringkali, ketika aku harus membaca, menulis, kontemplasi selalu ada cobaan untuk membuyarkan konsentrasi saya, dan pekerjaan terlambat dan tidak sesuai dengan harapan (waktu yang ditentutan), karena ada pekerjaan lain yang harus aku lakukan. Kadang aku merasa mangkel, jengkel, dan merasa tidak akan pernah cerdas dan sukses kalau hal selalu terjadi. Ketakutan-ketakutan itu mungkin wajar, bagi orang seperti saya (sebagai mahasiswa) yang selalu ingin belajar dan belajar. Tapi, hal itu bisa tidak menjadi wajar, jika hal tersebut berlarut-larut untuk saya pikirkan sehingga menggangguku untuk menjadi kreatif dan prosuktif.
Kemudian, saya berfikir bahwa kesuksesan itu adalah perspektif, ada yang merasa sukses jikalau ia sudah menerbitkan buku, ada yang mersa sukses jika ia sudah dapat membahagiakan orang lain meskipun dirinya tidak terlalu banyak diuntungkan, ada yang merasa sukses dengan sekedar apa yang dapat diberikan pada orang lain, ada yang merasa sukses jika dapat memberikan taushiyah pada orang lain dan ia senang menerima tausiyah itu, ada yang mersa sukses dengan kesibukannya di ladang, di kontor, di bank meskipun konstribusinya pada masyarakat tidak tampak. Itulah, maksud saya bahwa kesuksesan itu perspektif.
Abu bakar dan Umar misalnya, keduanya adalah sahabat Rasulullah yang cukup disegani dan dihormati, dia menjadi tokoh panutan setelah Rasulullah meninggal dunia. Keduanya, merasa sukses ketika dapat bersanding dengan Rasul, mengembirakan orang lain, dan dapat membantu orang-orang faqir. Dengan seperti itu beliau sudah merasa nikmat. Ada yang merasa nikmat dan sudah menjadi makanan setiap hari, yaitu menulis. Ini bagi orang-orang yang doyan menulis, seperi Azyumardi Azra, Cak Nun, Cak Nur, Kunto Wijoyo, Komaruddin Hidayat dan lainnya. Mereka menikmati hari-harinya dengan membaca dan menulis. Ada yang menikmati hari-harinya sebagai da’I, sehingga tidak sempat untuk menulis apa yang ia bicarakan. Imam Syafi’e, Imam Hambali, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Ibnu Taimiyahi dan tokoh-tokoh sekaleber dia, mereka mampu berbicara dimana-mana dengan lugas dan tangkas, sehingga diburu oleh jamaah, untuk mendengarkan ceramah-ceramah beliua, namun mereka tidak hanya mencukupkan dengan berbicara. Akan tetapi, keproduktifitasnnya diakui dengan merangarangnya beberapa kitab yang samapi sangat ini menjadi rujukan oleh umat Islam.
Terkadang saya berfikir apalah arti hidup, jika saya tidak bermanfaat bagi orang lain. Mereka pada masa hidupnya, bermanfaat bagi orang lain, dan setelah wafat juga kemamfaatannya masih juga dirasakan oleh banyak orang. itulah berkat ketekunan, kesabaran, dan keproduktifitasannya. Mereka selain produktif, juga ahli ibadah bahkan masuk pada jajaran sholihin. Betapa nikmatnya hidup bagi mereka, yang antara hubungan fertikal dan horizontal tidak pernah lepas.
orang di mana-mana mencari kenikmatan dan kepuasan dirinya, nikmat itu sendiri adalah kepuasan, ketika orang merasa puas maka ia akan merasakan nikmat. Untuk meraih kenikmatan terkadang orang berani mengorbankan kehormatannya, hartanya dan lainnya.
Kenikmatan sering diedentikkan dengan kekayaan harta yang melimpah ruah segala apa yang dibutuhkan berada dihadapannya, tingginya pangkat agar dihormat oleh banyak orang, istri yang cantik, rumah mewah, kendaraan yang paling cangging dan modern. Ia tidak pernah melihat bahkan menutup mata, bahwa kenikmatan tidaklah berasal dari itu semua, namun kenikmatan haqiqi apabila dia merasa cukup terhadap apa yang ia dapatkan. Jika besarnya rumah dibuat setandar kenikmatan, bagaimana dengan Rasulullah yang rumahnya kecil terbuat dari pelapah kurma, sedangkan Rasul tidak pernah merasakan malu, minder, sumpek dan bosan memiliki rumah seperti itu, bahkan ia bersabda, Baity jannaty, rumahku adalah surgaku.
Rumah yang sempit, tidaklah selalu mengindikasikan sempitnya kenikmatan dan sempitnya jiwa. Jika ukurannya nikmat hanyalah besar dan mewahnya rumah, betapa banyak orang yang merasa nikmat dengan rumahmya yang kecil, namun keluarganya penuh dengan bunga-bunga keindanhan dan kenikmatan, dan betapa banyak orang-orang yang memiliki rumah mewah dan megah, namun tidak pernah merasakan kenikmatan, selalu bertengkar dengan istrinya setiap hari karena hanya persoalan yang sepele, dibenci tetangga karena pembatas tembok yang menjulang.
Hidup Bukan Untuk Diri Sendiri
Merasa terganggu, itu terkadang yang aku rasakan ketika aku harus konsentrasi untuk melakukan pekerjaan, yang menurutku mendesak dan harus selesai dengan waktu tertentu. Tetapi, seringkali, ketika aku harus membaca, menulis, kontemplasi selalu ada cobaan untuk membuyarkan konsentrasi saya, dan pekerjaan terlambat dan tidak sesuai dengan harapan (waktu yang ditentutan), karena ada pekerjaan lain yang harus aku lakukan. Kadang aku merasa mangkel, jengkel, dan merasa tidak akan pernah cerdas dan sukses kalau hal selalu terjadi. Ketakutan-ketakutan itu mungkin wajar, bagi orang seperti saya (sebagai mahasiswa) yang selalu ingin belajar dan belajar. Tapi, hal itu bisa tidak menjadi wajar, jika hal tersebut berlarut-larut untuk saya pikirkan sehingga menggangguku untuk menjadi kreatif dan prosuktif.
Kemudian, saya berfikir bahwa kesuksesan itu adalah perspektif, ada yang merasa sukses jikalau ia sudah menerbitkan buku, ada yang mersa sukses jika ia sudah dapat membahagiakan orang lain meskipun dirinya tidak terlalu banyak diuntungkan, ada yang merasa sukses dengan sekedar apa yang dapat diberikan pada orang lain, ada yang merasa sukses jika dapat memberikan taushiyah pada orang lain dan ia senang menerima tausiyah itu, ada yang mersa sukses dengan kesibukannya di ladang, di kontor, di bank meskipun konstribusinya pada masyarakat tidak tampak. Itulah, maksud saya bahwa kesuksesan itu perspektif.
Abu bakar dan Umar misalnya, keduanya adalah sahabat Rasulullah yang cukup disegani dan dihormati, dia menjadi tokoh panutan setelah Rasulullah meninggal dunia. Keduanya, merasa sukses ketika dapat bersanding dengan Rasul, mengembirakan orang lain, dan dapat membantu orang-orang faqir. Dengan seperti itu beliau sudah merasa nikmat. Ada yang merasa nikmat dan sudah menjadi makanan setiap hari, yaitu menulis. Ini bagi orang-orang yang doyan menulis, seperi Azyumardi Azra, Cak Nun, Cak Nur, Kunto Wijoyo, Komaruddin Hidayat dan lainnya. Mereka menikmati hari-harinya dengan membaca dan menulis. Ada yang menikmati hari-harinya sebagai da’I, sehingga tidak sempat untuk menulis apa yang ia bicarakan. Imam Syafi’e, Imam Hambali, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Ibnu Taimiyahi dan tokoh-tokoh sekaleber dia, mereka mampu berbicara dimana-mana dengan lugas dan tangkas, sehingga diburu oleh jamaah, untuk mendengarkan ceramah-ceramah beliua, namun mereka tidak hanya mencukupkan dengan berbicara. Akan tetapi, keproduktifitasnnya diakui dengan merangarangnya beberapa kitab yang samapi sangat ini menjadi rujukan oleh umat Islam.
Terkadang saya berfikir apalah arti hidup, jika saya tidak bermanfaat bagi orang lain. Mereka pada masa hidupnya, bermanfaat bagi orang lain, dan setelah wafat juga kemamfaatannya masih juga dirasakan oleh banyak orang. itulah berkat ketekunan, kesabaran, dan keproduktifitasannya. Mereka selain produktif, juga ahli ibadah bahkan masuk pada jajaran sholihin. Betapa nikmatnya hidup bagi mereka, yang antara hubungan fertikal dan horizontal tidak pernah lepas.
menikmati hidup tak bisa kita lewatkan begitu saja.. kita nafas ini gratis.. kita bisa makan suatu nikmat.. kita bisa jalan itu juga suatu nikmat dan masih banyak dan banyak sekali nikmat yg ada di tubuhku kita ini namun kita lupa untuk mensyukurinya..
BalasHapusust halimi yg pandai menulis dan insya tulisannya menjadi amal tersendiri dan bisa bermanfaat bagi manusia semuanya.. juga suatu kenikmatan yg tiada harganya dari Allah..
ust.. menulis dari hati dan dibaca oleh hati.. betapa indah terasa.. lama tak bersua dgmu ku rindu tali ukhuwah kita disini.. KING SAUD UNIVERSITY...
iya euy...
BalasHapuskangen sama bang Halimi... :)