Sabtu, 09 Mei 2009

Tip menulis : Anti Mati Karya


Halimi Zuhdy

Kemaren saya menulis di Toriqot Sastra sebuah group yang ada di Facebook yang di dalamnya ada kata-kata “anti mati karya” yang terinspirasi dari salah satu iklan televisi “anti mati gaya” yang banyak ditanggapi oleh pembaca, yang akhirnya saya tergelitik untuk menulis karangan dengan judul tersebut.

Anti mati karya itulah yang membuat saya selalu tergugah untuk melejitkan mimpi-mimpi menulis dengan tulisan mahakarya, kalau saya baca sejarah betapa para intelektual zaman dahulu sebutlah madzahib al-arba’ah sangat kreatif, inovatif bahkan ratusan buku tertoreh dari tangan-tangan mereka, yang satu kitab saja berjilid-jilid. Sungguh luar biasa, kalau kita bandingkan dengan zaman yang lebih modern sekarang ini, tidaklah ada bandingannya. Yang pada zaman dahulu minim kertas, yang ada hanya tulang, pelepah pohon, dan dedaunan, namun tangan-tangan kreatif mereka setiap detik dapat menyelesaikan ratusan kalimat.


Sungguh, zaman penuh dengan karya, tak ada hari tanpa menulis, sehingga dalam hitungan hari karangan-karangan mereka terbit dengan mencengangkan. Selain madzahib al-arba’ah ada banyak bukti yang mencatat bahwa kebangkitan, perlawanan, pencerahan, dan perubahan dipicu ole ide mengalir dari sebuah buku misalanya David Namah, inilah karya sastra yang merupakan masterpiece Muhammad Iqbal, tulisanya ini sungguh menggemparkan dunia, diantaranya kalangan oreintalis seperti Annimarie Scimmel. David Namah diterjemahkan pertama kali ke dalam bahasa Italia pada tahun 1946, kemudian secara berturut-turun David Namah terbit dalam bahasa Jerman (Munich, 1957), Perancis (paris, 1962), Inggris (Lohare, 1961). Ia telah membakar emosi kesusastraan orang Barat bahkan dunia Timur.”Iqbal datang bak Messiah yang menghidupka orang mati,” tulis R.A. Nichalson.

Masnawi kitab ini juga dapat menghipnotis dunia, ia mampu menggebrak pikiran-pikiran penulis Barat seperti William C. Chinttick, Yohanes Renard, Franklin D. Lewis dengan leterasi oleh lebih dari seuluh pakar

(Redhouse, Whinfield,Wilson, Nicholoson, Gupta, Arberry, Turken, Schimmel, Chittick), bahkan orang-orang Asia juga terracuni oleh pikiran-pikiran Rumi yang tertuang di Masnawi. JK Rowling, yang dengan Harry Potter-nya, mampu mengesktase para penikmatnya yang tersebar di 200 negara dan sudah di terjemahkan ke dalam 61 bahasa. Barbara Cartand, ia penulis prolific yang telah menghasilkan 723 judul buku, yang terjual lebih dari satu miliar kopi dalam 36 bahasa di seluruh dunia. Saking piawainya menulis, Barbara dapat dengan tenang menulis dengan mendektekan bukunya pada sekretarisnya, sementara ia hanya berbaring dengan santai I atas sofa. Ia biasa mendektekan 6.000 sampai 7.000 kata dalam per hari dan biasa menyelesaikan satu novel dalam tujuh hari. Dahsyat.

Kalau mereka mampu melejitkan ide dengan dahsyat, dan mampu merubah dunia dengan aliran deras tulisan mereka, menghipnotis dan menggugah rasa manusia dengan tarian-tarian kata mereka, bagaimana dengan saya. Mampukah?sebuah pertanyaan, yang mungkin selalu menggelitik untuk selalu merenung, berpimpi, dan berkreasi. Bahkan membayangkan, seandainya saya seperti mereka, atau bahkan lebih. Mungkin sekarang saya sudah bersama bintang-bintang yang selalu menyinari langit kata. Atau mereka memang dilahirkan untuk menjadi penulis, sehingga pada waktunya mereka terbang dengan mudah menuju cakrawala karya. Atau mereka sama dengan saya, yang pada awalnya hanya mampu menulis sepatah dua patah puisi, dan segelintir opini, bahkan buku yang tercopy ratusan pun masih dalam file mimpi. Kemudian beranjak dan mendaki ke gunung Himalaya kata. Tidak ada kata tidak mungkin, mungkin saja!

Tapi memang, mereka mampu menggebrak dunia bukan dengan kepalan tangan kosong, mereka menulis dengan penuh kerja keras sebutlah Eudora Welty, yang baru menulis setelah berusia 40 tahun,bekerja pada dini hari, dan biasanya ia terus menulis sehari penuh. Mary O’Hara, yang menulis ulang My friend Flicka samapai Sembilan kali, tiap hari bangun lebih dini dari hari sebelumnya demi menyelesaikan novelnya. Honore de Balzac punya rutinitas mencengangkan.Dua minggu samapai dua bulan ia mengasingkan diri untuk menulis sebuah buku. Selama waktu kurun ini ia tidur pukul delapan setelah sedikit makan malam, pukul dua pagi ia bangun dan menulis sampai pukul enam, menyeruput kopi (yang selalu panas karena pancinya selalu ia taruh di atas nyala tungku). Lalu ia mandi selama satu jam, dan minum kopi lagi samapai orang dari penerbitnya datang untuk mengantarkan ketikan naskah hari sebelumnya sekaligus mengambil tulisan yang sudah Balzac edit dan naskah tulisan tangannya untuk hari itu. Beda lagi dengan Edna Farber belum pulih benar dari animia ketika ia menulis cerpen dan novel pertamanya. Peraih hadiah Pulitzer tahun 1924 yang dijuluki The Greatest American Women Novelist of her Day ini menulis dari jam 9 pagi sampai jam 4 sore. Ia menulis sampai kelelahan dan pingsan ketika bekerja di harian Milwaukee Journal.

Memang tidak mudah menjadi penulis apalagi penulis yang dapat diperhitungkan dunia, ya..mungkin harus bermimpi, menari-narikan pikiran agar ide keringat mampu tertuang dalam lontar, dan mengalir deras ke dalam seluruh rasa sang pembaca, sehingga mampu bergelombang dalam samudera karya. Dan tidak ada kata untuk menyerah, apalagi dengan seabrak alasan untuk tidak menulis. Menulis dengan hati, menulis dengan pikiran, menulis dengan tubuh, bahkan menulis dengan seluruh jagat adalah saksi dari ANTI MATI KARYA. Minimal, kita mampu menulis satu kata tapi mengguncang dunia, dari pada tidak sama sekali.

Gasek,09 Mei 2009



Tidak ada komentar:

Posting Komentar