Halimi Zuhdy
………Berikan aku satu kata puisi daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi yang kukasih. Angkasa ini bisu. Angkasa ini sepi. Tetapi aku telah sampai pada tepi. dar mana aku tak mungkin lagi kembali. (soebagio Sastrowarjono).
Puisi adalah kelahiran yang sempurna dari hati, pikiran dan khayal. Meskipun selalu tampak keanihan-keanihan dan penyimpangan (distorting) dari bahasa yang lazim dipergunakan, namun dengan keanihan itulah, puisi dapat membebaskan dirinya dari keakraban dan kungkungan, sehingga ia mampu menunjukkan realitas yang sebenarnya. Kelahirnya membuat rongsokan baru, suasana baru, penciptaan baru (creating) pencerahan, dan revolusi pikiran, batin dan diri.
Puisi adalah kelahiran yang sempurna dari hati, pikiran dan khayal. Meskipun selalu tampak keanihan-keanihan dan penyimpangan (distorting) dari bahasa yang lazim dipergunakan, namun dengan keanihan itulah, puisi dapat membebaskan dirinya dari keakraban dan kungkungan, sehingga ia mampu menunjukkan realitas yang sebenarnya. Kelahirnya membuat rongsokan baru, suasana baru, penciptaan baru (creating) pencerahan, dan revolusi pikiran, batin dan diri.
Puisi sebenarnya bukan merupakan karya yang sederhana, melainkan organisme yang sangat kompleks. Puisi diciptakan dengan berbagai unsur bahasa dan estetika yang saling melengkapi, sehingga puisi terbentuk dari berbagai makna yang saling bertautan. Dengan demikian, pada hakekatnya puisi merupakan gagasan yang dibentuk dengan susunan, penegasan dan gambaran semua materi dan bagian-bagian yang menjadi komponennya dan merupakan kesatuan yang indah (Abrams, 1981:68).
Puisi memancarkan seribu aura, memunculkan cahaya, dan menebar kesejukan dari dunia lain, yang pembacanya mampu menundukkan perasaannya untuk selalu bernostalgia dengan kata-kata yang terbingkai dalamnya. Emily Dickenson mengatakan “kalau aku membaca sesuatu dan dia membuat tubuhku begitu sejuk sehingga tiada api yang dapat memanaskan aku, maka aku tahu bahwa itu adalah puisi. Hanya dengan cara inilah aku mengenal puisi’. Puisi mampu membakar semangat, meneriakkan kesungguhan, menancapkan ego dan menumbuhkan keagungan. Byron dalam bukunya menulis “puisi adalah lava imajinasi yang letusannya mencegah timbulnya gempa bumi.”
Puisi lebih dari pada karya tulis lain merupakan sebuah otentik yang mencakup banyak nilai di antara yang pokok nilai estetik dan etis. Puisi itu milik nurani manusia maka siapapun berhak menulisnya. Tiada batas dan sekat bagi orang-orang yang ingin menuliskan nya, tidak pernah pandang bulu, pandang suku dan pandang latar belakang, mereka berhak menuliskan, mengalirkan rangkaian kata-kata dengan seluruh semangat jiwa, hati dan pikiran mereka. Tukang becak, guru, siswa, buruh bahkan kyiai pun berhak mengungkapkan deraian kata dengan tetesan-tetesan tinta pada dalam lembaran-lembaran kertas.
Puisi yang ditulis dengan hati nurani, akan memancarkan seribu cahaya, memiliki arti keagungan dan dapat menyejukkan, ia akan selalu berbingkai kebenaran dalam larik-lariknya. Hati nurani adalah berita kebenaran yang kadang tidak terungkap dalam realitas, puisi, ladang mengungkapkannya, ia mampu menyiratkan makna, membersitkan makna, sehingga pembaca mampu mengambil hikmah dari kata-katanya. Islah Gusmian, mengatakan “ adakah yang lebih bening dari mata hati, kala ia menegur kita tanpa suara. Adakah yang lebih jujur dari nurani, saat ia menegur kita tanpa kata-kata. Adakah yang lebih tajam dari mata-hati, ketika ia menghentak kita dari ragam kesalahan dan alpa.
Sementara itu kita sering mendengar selentingan kesan dari mulut kemulut bahwa sesungguhnya puisi adalah gema jiwa manusia yang universal sepanjang zaman dan kehidupan. Puisi senantiasa bergema di mana-mana, di sudut-sudut perkotaan, di serambi-serambi rumah bahkan di dusun-dusun terpencil pun gaung puisi sering kita dengar setiap saat. ia ditulis tidaklah dengan imajinasi dan khayal biasa, ia membutuhkan perenungan mendalam, mengerahkan seluruh kekuatan hati, pemusatan pikiran, dan mengulahnya dengan kata-kata yang dapat mewakilkan seluruh perasaan dalam dirinya dengan ungkapan yang juga tidak biasa.
Banyak sastrawan-sastrawan yang mengungkapkan bahwa puisi itu bukanlah karya biasa, yang ditafsirkan dengan biasa-baisa saja, dibacakan dengan nada biasa, dan diolah pikir dengan cara-cara biasa. HB. Jassin seorang kritikus sastra Indonesia mengatakan bahwa puisi ialah pengucapan dengan perasaan…dalam puisi itu pikiran dan perasaan seolah-olah bersayap, ditambah lagi oleh syarat-syarat keindahan bahasa tinggi rendah tekanan suara (ritme). Bunyi dan lagu. Puisi ialah pelahiran manusia seluruhnya, manusia, agung dengan pikiran dan perasaannya. Edgar Allan Poe. Seorang penulis berkebangsaan Amerika mengatakan bahwa puisi adalah ciptaan dengan irama keindahan yang dimaksudkan untuk meluhurkan jiwa. Dan Percy Bysche Shelly seorang penyair masyhur berkata, puisi adalah rekaman dari saat-saat yang paling baik dan paling menyenangkan dari pikiran-pikiran yang paling baik dan paling menyenangkan.
Samuel Johnson mengatakan bahwa puisi adalah peluapan spontan dari perasaan-perasaa penuh daya; dia bercikal bakal dari emosi yang berpadu kembali dalam kedamaian. Matthew Arnold memberikan definisi bahwa puisi merupakan bentuk organisasi tertinggi dari kegiatan intelektual manusia. Senada dengan itu, Brdley mengatakan puisi adalah semangat. Dia bukan pembantu kita, tetapi pemimpin kita. Ralph Woldo Emerson mengatakan, ia merupakan upaya abadi untuk mengekspresikan jiwa sesuatu, untuk menggerakkan tubuh yang kasar dan mencari kehidupan lain dan alasan yang menyebabkannya ada.
Menulis sebuah puisi adalah mencurahkan isi hati atau sekaligus mengekspresikan diri dengan keterampilan menyusun kata-kata yang sangat dibutuhkan untuk itu. Puisi yang indah bukanlah merupakan letupan-letupan perasaan belaka, akan tetapi merupakan perpaduan rasa, pikiran dan kehendak atau perpaduan yang disebut keindahan. Seorang penulis puisi harus pandai menyihir para pembaca, artinya ia harus mengembangkan keadaan dari suasana sehingga membuat pembaca bersedih hati, bergembira, kwatir, tercekam, getun, dan sebagainya. Karena sebuah karya sastra dapat dinyatakan bernilai sastra apabila isinya menimbulkan suatu kekaguman dan keharusan. Keduanya harus mengisi, artinya dapat menggores setiap relung-relung kalbu pembacanya sebagai manifestasi nilai-nilai suatu karya yang mempunyai predikat seni. Berikut ini kita simak bersama penggelan puisi karya R. Toto Sugiarto
METOFORA KEJADIAN
Kita hanya menumpuk dosa
dari hari ke hari, seperti pemimpi
yang mengumpulkan tidurnya
menjadi harapan dan peruntungan
sementara, banyak di antara mereka
yang menertawakan nasib kita
direkam di katalog-katalog perpustakaan
dan dokumentasi Negara
seperti berita yang musti disampaikan
lewat telpon yang kabelnya dikubur
dijalan-jalan besar, kita dididik
untuk saling curiga, menyembunyikan
niat dari berkas-berkas kejahatan
yang disimpan di brankas-brankas
bank dan gedung-gedung besar
kita musti mempelajari lagi ihwal kejadian
mencoba menjadi penyair, misalnya
hanya untuk belajar mencinta
menjebak sesama, mungkin juga Tuhan
seperti juga orang tua
telah mengajarkan, membuka rahasia
dengan kata-kata.
Demikianlah bahwa suatu karya itu hidup, bila hadir dalam kewajaran dengan gerak naluriah. Untuk menikmati sebuah karya puisi kita tidak cukup dengan mengenal, menghayati atau memahaminya saja, namun kerendahan hati dalam hal ini sangat berpengaruh dan menentukan penikmatan itu sendiri.
Abdul Hadi berkata, kita akan terhindar dari sifat tergesa-gesa yang akhirnya akan merugikan kita sendiri. Jika tidak, kemungkinan besar apa yang kita nikmati dari puisi tersebut akan menjadi ambiguous atau obskur (tidak jelas, kabur), pada saat itulah kita akan mengalami suatu kesulitan dalam menikmati puisi. Maka sifat tergesa-gesa itu terasa kurang bijak dan adil bagi seorang penyair, disamping juga akan menghilangkan kesempatan untuk merenung dan menilai sesuatu yang sebenarnya hal itu sangatlah berharga bagi kita sebagai penikmat.
Selanjutnya Abdul Wahib, menjelaskan bagaimana puisi itu dapat dilahirkan dengan baik dan hasil yang memuaskan, menurutnya dalam proses melahirkan sebuah puisi, ada tiga faktor yang harus digaris bawahi, yakni; pikiran, perasaan dan khayal. Ketiga faktor ini bekerja sama di bawah disiplin keselarasan. Sehingga membenihkan sebuah hasil karya yang berhasil dan dapat dinikmati. Kerja seorang penyair dalam hal ini adalah membina ketiga unsur tersebut kemudian menatanya menurut sistem-sistem tertentu.
Puisi tak ubahnya makhluq hidup yang kekal. Dia memiliki roh dan taqdir sendiri, kalau penyair suatu waktu meninggalkan dunia. Maka puisinya akan hidup terus sampai sejarah mengubur, dan nasib penyair menjadi tragis ketika tak sempat tahu bagaimana nasib puisinya, karena puisi belum tentu menjadi bagian dari darah dagingnya. Para penyair boleh mati, akan tetapi puisi melampaui usia penyair itu sendiri.
Muhammad Sobary, seorang kolumnis pernah meneriakkan dalam kolomnya “Sastra, Ideologi, dan Dunia Nilai”, puisi membikin lembut cita rasa hidup kita. Puisi menawarkan pilihan dan membuka peluang memperbesar watak humanis kita, dan menghargai manusia dengan harga kemanusiaannya. Saya kira puisi membantu manusia menjadi manusia.
Tapi mengapa puisi dijauhkan dari hidup kita, seolah puisi penyakit menular dalam sekali sentuh “kusta”? siapa yang menjauhkan kita dari puisi? Mengapa Menteri Pendidikan membiarkan pendidikan buruk ini berlangsung di depan kita, dan tak ada yang berteriak mengenai perlunya pendidikan kesusastraan yang memadai agar anak-anak mengerti puisi.
Mengapa penerbit-penerbit tak mau menyumbang bangsanya dengan menerbitkan puisi gratis, atau menjualnya dengan harga murah supaya warga Negara menjadi lebih pintar, lebih sensitive, lebih manusiawi?. Mengapa para banker kikirnya luar biasa terhadap warga negara baik-baik, tapi luar biasa pemurah hatinya kepada pembobol bank dan para penipu yang biasa mereka bangkrut.
Puisi bukan hanya untuk memuaskan nafsu, menikmati kata, bernostalgia dengan paragraf-paragraf, menentramkan hati dan pikiran, namun lebih dari itu puisi dipergunakan sebagai alat revolusi, kemerdekaan dan perubahan. Puisi sebagai ekspresi kemerdekaan, tidak hanya cuma buat hal-hal yang menentramkan, sebab ia juga bisa muncul menggelisahkan. Gunawa Muhamamd pernah berkata, Saya tidak bisa cuma memilih hidup kreatif, tapi sementara itu tidak bersedia untuk, seperti Adam, dilemparkan dari sorga yang menentramkan ke dunia penciptaan yang resah”.
Puisi akan selalu menyisakan seribu pemaknaan dan penafsiran, ia tidak akan pernah utuh ditafsirkan karena pesona yang selalu melekat dalam kata-katanya. larik-lariknya tak tersekat oleh kebakuan bahasa, dia bebas menerbangkan sayap-sayap maknanya .[ ].
*) Halimi Zuhdy Ls Penulis puisi dan puisinya pernah dimuat dibeberapa media lokal dan nasional. Komentator dan kolumnis sastra. Buku puisinya berjudul Tuhan tak ada kata “Cinta” untukmu. (2005) Kini dipercaya sebagai pembina oleh komunitas pecandu sastra Tinta Langit Malang.
Wuih,bahasan tingkat tinggi nih.. Musti belajar fokus dan konsen tuk bisa memahami..
BalasHapus