Sabtu, 04 April 2009

AKU BUKAN KUNTUM LAGI



Halimi Zuhdy

Dalam kehidupan kita sehari-hari pengalaman-pengalaman kita memasuki atau menciptakan berbagai peristiwa tidak pernah jelas. Artinya, pengalaman-pengalaman itu tidak pernah mencapai bentuknya secara kongkret: pengalaman hampir selalu dalam kondisinya yang in abstacto. Bagi seorang novelis atau cerpenis, membangun struktur naratif sebuah novel atau cerpen hampir sama dengan memberi bentuk pada pengalaman yang dimilikinya itu. demikian juga penyair, menulis puisi pada hakekatnya merupakan proses pemberian bentuk pengalaman lewat bahasanya. Oleh karena itu, mungkin ada benarnya tatkala Altenbernd mengatakan bahwa poetry as the interpretative dramatization of experience; atau Shelly yang mengatakan bahwa puisi merupakan rekaman detik-detik yang paling indah, paling menyedihkan, paling menyengsarakan dalam hidup; atau Sapardi Djoko Damono yang beranggapan bahwa puisi merupakan sebuah unikum atau hasil pengamatan yang unik seorang penyair.

Kali ini hadir dua puisi, puisi Slun yang berjudul “Ku Tlah Menjadi Bunga” dan puisi Dien Nur Ch “Biar Bubar”. Masing-masing dari kedua penyair ini memiliki pilihan sendiri-sendiri dalam mendramatisasikan pengalaman, memilih peristiwa yang direkam, atau dalam melakukan pengamatan.

KU TLAH MENJADI BUNGA
By : Slun

Aku terjebak dalam melintasi angan dan khayalku
Mencoba menafsirkan khayal dalam rasa
Terpintas bayanganmu indah gemulai merayu-rayu
Keindahan jiwamu menari-nari dengan apa yang kau gurat lembut dalam memori

Dirimu indah Sang Pencipta
Yang hembusan nafasnya tuk hiasi dunia
Namun nafas itu telah terenggut ….pahit
Tapi kau masih terpatri erat dalam anganku
Hingga kulupakan tak mampu menyapa

Aku tidak mengenalmu
Tapi dirimulah yang membuatku mengenalmu
Karena air susu yang mengendap di tubuhku

Bahasaku bukan rahasia
Tapi rahasiaku yang tersingkap oleh tingkahmu
Timanganmu

Wahai diri…..
Mau dikemanakan rasa rindu ini?
Wahai dirimu….
Sebentar lagi ku kan jadi bunga
Bukan kuntum lagi
Sebagai bukti jiwaku telah tumbuh kembang dalam segala musim

Ibu….
Keberadaanmu penuh agung
Ibuku….Rinduku..khayalku….Harapanku…
Kembalilah wahai dirimu
Tuk menyaksikan diriku yang telah menjadi bunga

Ku tlah Menjadi Bunga, Slun dalam puisinya mampu memberikan suasa haru yang mungkin berangkat dari kesedihannya atau gejolak yang ada dalam dirinya, kematian, yang mungkin baginya tidak pernah diharapkan. Dirimu indah karya Sang Pencipta/yang hembuskan tuk hiasi dunia/namun nafas itu telah terenggut …..pahit/tapi kau masih terpatri erat dalam anganku/hingga kelapukan tak mampu menyapa. Sebuah kematian yang bagi banyak orang menyisakan kesedihan dan mungkin juga kenangan, apalagi yang meninggal adalah seseorang yang benar-benar kita cintai, maka terkadang kenangan itu tidak mampu dilupakan dengan pergantian masa, dan membawanya pada dunia lain yang ada di luar dirinya, seakan-akan kematian baginya tidak pernah ada, karena dalam dirinya terpancar rona dan ruh lain Aku tidak mengenalmu/tapi dirimulah yang membuatku mengenalmu/karena air susu yang mengendap di tubuhmu/. Selama ia masih mengenangnya, maka kematian hanyalah sebagai perpisahan sementara, yang suatu saat akan dipertemukan, entah dalam hayalan, mimpi atau dalam imajinasi. Karena keyakinan akan pertemuan dan kehidupan lain itulah, Slun mengkhabarkan akan keberadaan dirinya /Wahai diri…/mau dikemanakan rasa rindu ini/wahai dirimu….sebentar lagi ku kan jadi bunga/bukan kuntum lagi/sebagai bukti jiwaku telah tumbuh kembang dalam segala musim/ ia mengkhabarkan bahwa dirinya telah berkembang, berubah, berproses, dan dewasa. Dengan pertumbuhan itulah, ia ingin ada orang yang memperhatikan, merindukan, dan mencintainya, terutama orang-orang yang berjasa besar dalam kehidupannya, yang sudah mengisi hari-harnya dengan temaram keindahan dan kesenangan, seorang Ibu, yang ia tunggu kehadirannya untuk menyaksikan keberadaan dirinya yang sudah menjadi bunga bukan kuntum lagi. Ibu…/keberadaannmu penuh agung/ibuku..rinduku…khayalku…harapanku…/kembalilah wahai dirimu/tuk menyaksikan diriku yang telah menjadi bunga.
Slun dalam mengungkapkan kata-katanya dari bait ke bait sungguh menjanjikan sesuatu yang membuat pembaca ingin mengetahuinya, siapakah gerangan yang dimaksud “kamu” dalam puisinya itu/terpintas bayangmu indah gemulai merayu-rayu/keindahan jiwamu menari dengan apa yang kau gurat lembut dalam memori/dirimu indah karya Sang Pencipta/Aku tidak mengenalmu/ dari ketidakjelasan objek itulah sebenarnya di antara kelebihan puisi ini karena pembaca di giring untuk terus membaca dan menghayati puisinya, siapakah yang membuat si penulis sampai-sampai menampilkan kamu sebegitu indahnya dan mempesona, baru dalam bait ketiga, meskipun masih samar, ia ungkpakan bahwa kamu itu adalah /Aku tidak mengenalmu/tapi dirimulah yang membuatku mengenalmu/karena air susu yang mengendap di tubuhku/dan timanganmu/; “air susu” dan “timanganmu” pada baris di atas sedikit memperjelas maksud penulis, namun ia masih menyembunyikan identitas kamu itu, baru bait ke enam, ia benar-benar mengungkapkan bahwa yang membuatnya terpesona dan ekstase dalam kerinduan adalah Ibu/ibu /keberadaanu penuh agung/ibuku..rinduku…/khayalku…harapanku/kembalilah wahai dirimu/tuk meyaksikan diriku yang telah menjadi bunga..
Slun mampu menjaga keutuhan imaji, kepaduan isi, dan kesederhanaan metafor, hanya saja Slun kurang maksimal memainkan unsur bunyi, sehingga unsur musikal puisinya terasa kurang merdu. Dalam penentuan tema Slun sudah mampu menghadirkan dengan baik, namun dalam feeling, dan intention masih kurang maksimal. Dan terasa lebih nikmat didengar atau dibaca jika ia juga memaksimalkan bahasanya dengan kedalaman metafor.

BIAR BUBAR
Dien Nur Ch

Tak perlu air mata itu tumpah…
Tak perlu wajah ini menunduk
Lesu,
Kalah
Karena itu bukanlah kekalahan
Ini hanyalah kemenangan yang tertunda
Karena kekalahan adalah
Ketika keberanian telah berani ditukar dengan kekeliruan
Ketika suara-suara kebangkitan tak lagi menyala
Bergembiralah
Bersoraklah
Tepuk tanganlah
Tepuk pula dadamu
Dengan penuh kegagahanmu
Karena kemenangan kecilmu itu
Kecil….
Amat kecil….

Tapi kami tak akan pernah membalasmu
Dengan tangisan darah terperihmu
Bahkan kami akan mendekapmu hangat
Dalam kesyahduan
Kemuliaan
Di tengah lindungan dan naungan
ISLAM
Yang dalam waktu dekat ini akan segera tegak berdiri
Menyongsong tegaknya adidaya baru
Yang telah dijanjikan oleh Rabb kami

Namun bila
Engkau kembali menghalangi
Perjuangan kami
Di tengah deru nafas kami
Kami kan siap menjadi tumbal inqilaby

Selain puisi Slun, hadir juga Dien Nur Ch dengan tema yang cukup membuat hati berdebar, bergolak, dan mendebarkan. “Biar Bubar” ia memulai kata-katanya dengan kekesalan, kemarahan, kegundahan yang mendalam, dan juga antara kepasrahan dan kebangkitan. kata “biar” , mengisyaratkan untuk meninggalkan, menghilangkan, bahkan metawakkalkan, seperti biarlah yang lalu berlalu, biarlah ia hancur, biarlah ia mati, biarlah kerinduanku bersama angan dll, meskipun tidak semua kata “biar” adalah ketawakkalan total, namun biar lebih mendekati untuk menghilangkan ingatan dan prasaan untuk tidak mengenang. Dan dalam kepasrahan (bukan fatalisme) sesungguhnya menyimpan seribu kekuatan dan hasrat untuk bangkit dan membangun, hal itu yang terdapat dalam bait-bait puisi Dien.
Dien mampu menghadirkan pesan-kesan yang bernada menggugah tak perlu tetes air mata itu tumpah/tak perlu wajah ini menunduk/lesu/kalah/karena ini bukan kekalahan/ ini hanyalah kemenangan yang tertunda/karena kekalahan adalah ketika kebenaran tlah berani ditukar dengan kekeliruan/ketika suara-suara kebangkitan tak lagi menyala Jika kita yakini puisi sebagai bentuk intensifikasi dan konsentrasi pernyataan pesan-kesan, pada puisi ini kita temukan, puisinya menunjukkan adanya pertautan dalam yang erat untuk mendukung makna. hanya saja, Dien tidak mampu menghadirkan kata-katanya dengan penuh imaji, ia seakan-akan hanya ingin menumpahkan kesumpekannya, kegundahannya, kemarahannya tanpa memoles dengan kata-kata metafor. Dan juga ia tidak mengolah sajak kemilitansiannya dengan imajinasi agar sampai pada ungkapan puitik yang lebih menggugah. Kalau ia mengolah dan memolesnyanya dengan ketajaman imajinasi, apalagi ditambah dengan kemampuannya menjaga bunyi yang tanpak cukup baik, sajaknya pastilah lebih bermakna dan menggugah.
Kalau kita perhatikan, kekuatan puisi Dien memang bukan pada diksi dan imajinasi, melainkan pada makna, pesan, amanah. Tapi bagaimanapun, karena puisi pertama-tama adalah bahasa dan imajinasi, maka makna pesan, amanat sejatinya dibungkus dengan diksi dan imajinasi yang menyaran. Dengan cara itu, makna akan sampai dan menghujam ke jantung kesadaran pembaca.
Yang juga menarik untuk dicermati dalam puisi Dien adalah bagaimana ia bermain dengan perasaan, antara bait pertama dan ketiga cukup menggugah untuk bangkin dan melawan, namun bait kedua mengajak pembaca untuk menarik dari kegoisan buta, berlindung dalam hamparan keindahan dan kesejukan sebuah ajaran/tapi kami tak pernah membalasmu/dengan tangisan darah terperihmu/bahkan kami akan mendekapmu hangat dalam kesyahduan/kemuliaan/di tengah lindungan dan naungan Islam. dan puncak dari totalitas gerakan dan kegundahan itulah ia ungkapkan dalam bait terakhir yang menurut saya cukup mengesankan dan mampu menyisakan keharuan yang cukup mendalam/namun bila/engkau kembali menghalangi/perjuangan kami/di tengah deru nafas kami/kami kan siap menjadi tumbal inqilabiy.
Kreativitas seorang penyair sesungguhnya tidak terletak pada kemampuannya dalam menciptakan nilai-nilai, tetapi lebih ditentukan oleh kapasitas kemampuannya dalam menangkap berbagai gelagat dan isyarat yang terjadi disekelilingnya seperti peristiwa budaya; menyeleksi dan menafsir sesuai dengan visinya untuk kemudian mengukuhkan dan mengutuhkannya dalam bentuk keindahan bahasa yang disebut puisi. Melalui karya puisinya itulah seorang penyair mencoba berbagi nilai dengan para pembacanya.
*)Pengamat Sastra dan penulis puisi dibeberapa media lokal dan nasional. Pembina komunitas sastra Tinta Langit Malang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar