Minggu, 29 Maret 2009

MEMBACA NALAR SUFI

(Telaah terhadap Konsep Mahabbah Jalaluddin Rumi )

Halimi Zuhdy

Abstraksi
Sebagai suatu komunitas, kaum sufi memiliki tradisi intelektual yang berbeda dari komunitas yang lain, sebagai mana yang tergambar dalam ajaran tasawuf Jalaluddin Rumi. Tulisan ini akan melakukan pengkajian terhadap nalar ajaran tasawufnya yang terdapat dalam syair-syair Rumi yang difokuskan pada masalah mahabbah itu dan dampak psikologisnya terhadap aktifitas keseharian manusia. Mahabbah menurut Rumi adalah keindahan Tuhan yang merupakan suatu aspek dari ketakterbatasan Tuhan, dan melalui obyek ini rasa Mahabbah menjadi terang dan jelas. Mahabbah yang penuh dan terpadu berputar mengelilingi sesuatu titik tunggal yang tak terlukiskan, Allah Swt.
Selanjutnya menurut Rumi, Mahabbah lebih tinggi dari kecemasan, hal ini dapat kita fahami dalam sayirnya:
« Sang Sufi bermi'raj ke 'Arsy dalam sekejap, sang zahid membutuhkan waktu sebulan untuk sehari perjalanan. »
Dengan konsep mahambahnya ia mengatakan bahwa Mahabbah adalah konsep tertinggi menuju ketenagan dan kedekatan pada Tuhan. Rumi pernah mengatakan bahwa hingga hari kebangkitan pun kita tidak mungkin bisa berbicara secara memadai tentang wajah Mahabbah . Sebab, menurutnya, mana mungkin mengukur samudera dengan piring.
Dari beberapa syair Rumi, bahwa pemahaman atas Tuhan beserta alam semesta hanya mungkin lewat bahasa Mahabbah , bukan semata-mata dengan kerja dan usaha yang bersifat fisik lahiriyah.


A. Pendahuluan
Mahabbah yang di anut oleh tokoh-tokoh sufi, merupakan lintas batas untuk menembuh hadirat Tuhan yang maha rahasia, tidak dapat di tempuh dengan uangkapan tampa reaksi, tidak dapat di capai dengan rindu tampa via rekreatif menuju Tuhannya.
Jalan sufi adalah jalan pembebasan ketika manusia terperangkap kekaguman narsistik pada diri sendiri. Mahabbah sufi pada Tuhan bukan Mahabbah yang mengesampingkan lingkungan social, dia mencintai Tuhan semakin mencintai manusia, atau mencintai manusia juga tidak lepas mencintai dzat yang maha pengasih dan pencinta. Namun cintannya pada Allah melebihi cinta segala-galanya. Sebagaimana Umar bin khattab yang cintanya pada Allah tidak menghilangkan cintanya pada Allah, dan timbulnya ihsan berangkat dari kecintaaan Umar pada Allah SWT.
Jalan sufi itu akan mudah dipahami dengan melihat orang membedakan dua jalan mencapai dan memahami Tuhan dengan segala maksud ajaran-Nya. Dimana orang seringkali membedakan dua jalan Islam dalam mencari dan mendekati Tuhan. Yaitu, yang pertama jalan syari’at dan jalan sufi sebagai jalan kedua.
Jika jalan syariat lebih memfokuskan diri pada prosedur maka jalan sufi lebih terfokus pada kesadaran batin tentang kehendak kuat mengabdikan diri dan seluruh hidup hanya bagi Allah. Walaupun demikian demikian jalan sufi bukan berarti mengabaikan prosedur-prosedur formal. Karena itu jalan sufi seringkali nampak lebih lentur dan subyektif tampa aturan baku yang berlaku umum bagi semua orang dari semua kelas social.
Seorang ahli ilmu Sosial seperti bellah melukiskan pengaruh jalan sufi bagi kaum tertindas juah dari pengaruh jalan syariat. Satu diantara kekuatan utama jalan sufi ialah mahabbah dan kecintaaan pada sang Khaliq. Tuhan yang begitu hebat yang merembes pada kecintaan sesama yang luar biasa. Dan Jalaluddin Rumi merupakan salah satu seorang tokoh sufi yang berbagai pikirannya dipenuhi dengan kecintaan dan kerinduan pada Tuhan tersebut (Ashad Kusuma Jaya : 2001).
Dalam perjalanannya sang sufi menempuh berbagai cara untuk berada dekat dengan Tuhan, dan dapat mengambil berbagai bentuk sesuai dengan kondisi sufi itu sendiri. Yakni bisa berbentuk ma'rifah, mahabbah, ittihad, hulul maupun wihdah al-wujud.(Andangdjaja :1982)
Untuk mencapai tujuannya (yakni berada dekat dan bersatu dengan Tuhan), seorang sufi harus menempuh jalan panjang, di antaranya melalui al-zuhd, yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian, atau kata lain, meninggalkan keramaian dan mengasingkan diri dari pergaulan manusia, bahkan juga tak mau lagi berhubungan dengan manusia yang dirasa tak lagi bermanfaat, apalagi jika dapat menggangu dirinya untuk bercengkerama dengan Tuhan. Karena itu, banyak tuduhan ditujukan pada para sufi, bahwa kaum sufi lebih cenderung bersikap fatalistis dan dianggap sebagai biang keladi kemunduran Islam. (Abul Hasan : 1986)
Sungguhpun demikian, banyak pula kita jumpai tokoh-tokoh sufi yang amat peduli dengan lingkungan masyarakat sekitar dan mau menyumbangkan gagasan-gagasan kemanusiaan yang mendasar, sekalipun oleh kelangsungan masa mereka terdesak ke latar belakang kesejarahan. Satu di antara sekian banyak tokoh tersebut adalah seorang sufi yang akan menjadi figur utama dalam tulisan ini, yakni Jalaluddin Rumi.
Ketika kita tilik dari beberapa sayairnya dapat dilihat ia sangat luasnya wawasan dan tajamnya penglihatan pandangannya, dari tema-tema universal yang diangkat dalam setiap baris karyanya dan dari cara mengungkapkan pikiran dalam bahasa puisi yang sarat simbol, tak pelak lagi bahwa Rumi adalah seorang jenius dengan pikiran dan otak brilian. Dengan visinya yang tajam, ia mampu menerobos dinding zamannya dan mendahului beberapa abad gagasan-gagasan humanistis para pemikir besar dunia yang datang kemudian. (Maison Amir : 2000)
Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Erich Fromm, seorang pengikut Neo-Freudian:
"Dua ratus tahun sebelum pemikiran humanisme renaisance, Rumi telah mendahului mengemukakan ide-ide tentang toleransi agama yang dapat ditemukan pada Erasmus dan Nicholas De Cusa, dan ide-ide tentang Mahabbah sebagai tenaga kreatif yang fundamental sebagai yang dikemukakan oleh Facini... Rumi bukan saja seorang penyair dan mistikus (sufi) serta pendiri Tarekat; tetapi ia juga seorang manusia yang mengetahui secara mendalam tabiat-tabiat manusia. (Abdul Hadi WM :1985)

Penulis dalam makalah singkat ini ingin menelaah dan mengungkap mahabbah Jalaluddin Rumi, yang dilontarkan melalui baris-baris syair, prosa dan puisi, menurut beberapa orang, syair dan puisi dapat menghilangkan anggapan yang citra buruk terhadap kaum sufi yang mereka lebih mengedepankan pribadi mereka ketimbang social. dan dianggap sebagai pelopor yang menghidupkan kembali semangat keagamaan kaum muslimin. Sebaliknya, ia mengetengahkan gagasan-gagasan yang penuh dinamika yang mendorong manusia untuk senantiasa berbuat, berkarya dan bekerja keras untuk menunaikan tugas kemanusiaannya yang amat berat.

B. Sekilas Tentang Jalaluddin Rumi.
Muhammad Jalaluddin Rumi, dilahirkan di Balkh, tahun Ia dilahirkan pada tanggal 6 Robiul Awwal 604 H (30 September 1207 M), sebuah kota dipropensi Khurasan, Afganistan. Ia lahir saat kota ini berada dalam kekuasaan Muhammad Shah terbesar dari Dinasti Khawarazimi, yang kekuasaannya membentang dari pegunungan Ural bagian utara sampai bagian selatan Teluk Persia, dan membujur dari sungai Indus di sebelah Timur sampai kesungai Eufrat di sebelah Barat. Nama Asli Rumi adalah Muhammad Jalaluddin. Tetapi kemudian, ia terkenal dengan sebutan Maulana al-Rumi atau Rumi saja. Rumi Lahir dari benih unggul. Dari pihak ayah, ia mempunyai garis keturunan Abu Bakar al-Shiddiq, sedangkan dari pihak ibu, ada hubungan darah dengan Ali ibn Abi Thalib. Ia juga termasuk keluarga kerajaan, karena kakeknya, Jalaluddin Huseyn al-Katibi, menikah dengan putri raja 'Ala al-Din Muhammad Khawarizm Syah. Dari perkawinan ini, lahirlah ayah Rumi yang bernama Muhammad, yang selanjutnya ia bergelar Baha' al-Din Walad, tokoh ulama dan guru besar di negerinya di masa itu yang juga bergelar Sultanu al-Ulama'.
Pada tahun 1219, ketika Jalaluddin Rumi berusia 12 tahun, ayahnya Bahauddin Walad, secara tiba-tiba bersma keluarganya meninggalkan Bakhl dan melakukan perjalanan menuju kebarat. Alasan yang miungkin adalah mereka-seperti ribuan orang lainnya, melarikan diri sebelum datangnya tentara Mongol yang sangat mengerikan. Orang-orang Mongol itu telah membumi hanguskan khurosan dan sudah endekati kota asalnya.
Dalam perjalanannya pengungsiannya, Bahauddin dan keluarganya bertemu dengan seorang yang telah berusia lanjut. Orang itu adalah sufi kenamaan bernama Farirudin al-Attar, yang lantas menghadiahinya asrar namah (buku tentang misteri-misteri). Dan dalam pertemuan itu Attar berkata pada ayah Rumi « anakmu tidak lama lagi akan menjadi api yang akan membakar para pecinta Tuhandiseluruh Dunia » itu terjadi tatkala mereka tengah berada di Nishapur (Danarto, 1982 :1).
Perjalanannya dan pengembaraannya yang cukup panjang dan melelahkan ke beberapa kota serta negeri tetangga, dengan ayah dan keluarganya, memberi kesan yang mendalam tentang gejolak, deru sejarah dan romantika kehidupan manusia. Sedangkan perjumpaannya dengan beberapa tokoh besar seperti Fariduddin al-Attar, Sihabuddin al-Suhrawardi dan juga Muhammad ibn Ali ibn Malik Daad, yang lebih dikenal dengan Syamsuddin alTabrizi atau Syam Tabriz, telah membangkitkan antusiasme yang cukup besar untuk menjadi manusia terhormat. Hal yang demikian membuat Fariduddin al-Attar dengan penuh optimisme meramalkan: "Hari akan datang, di mana anak ini akan menyalakan api antusiasme ketuhanan ke seluruh dunia". (William Chintick, 2000. Terj)
Tidak beberapa setelah perjalanannya mengukir sejarah yang panjang ayahnya meninggal dunia, tepatnya pada tahun 1230 M, kemudian Rumi diangkat sebagai ganti ayahnya untuk mengajar di Madrasa-i-uba'iyyat (Khudavandgar), dan sebagai penasihat para sarjana dan mahasiswa. Selain itu, ia juga berubah profesi sebagai penyiar agama. Dari ayahnya itulah Rumi memperoleh berbagai ilmu pengetahuan jamannya, terutama ilmu kalam yang cukup mempengaruhi pola pemikiran teologinya, disamping ketekunan belajarnya di berbagai tempat dan kota serta dengan beberapa tokoh besar lainnya.

C. Jalaluddin Rumi dan Karya-Karyanya.
Tokoh yang fenomental, yang mengembalikan sejarah keemasa tokoh-tokoh sufi dan mengangkat kembali citra sufi yang tidak hanya berkutat pada wilayah individual namun juga peduli terhadap wilayah social. Dialah Rumi yang nama aslinya Muhammad Jalaluddin. Ia adalah termasuk tokoh sufi yang produktif serta kreatif . Ia dijuluki sebagai sufi-penyair besar karena banyak karya-karya sufisme berbentuk sayair atau puisi. Dia juga terkenal dengan seorang dai’i dan ustadz. (abul Hasan, 1982)
Kecerdasan dan keprokdutifan Rumi dapat dibuktikan dengan Karya sastranya, bisa dibilang sangat jamak; dalam bukunya Diwan-i Syams-i Tabriz terdapat kurang lebih 2500 lirik; dalam Masnawi sekitar 25.000 bait syair; dan Ruba'iyyat (syair empat baris) yang kira-kira 1600 barisnya adalah asli.
Secara ringkas, karya-karya Jalaluddin Rumi dapat diklasifikasikan menjadi 6 buah karya; 3 karya besar dan 3 karya yang relatif kecil. Adapun karya besarnya adalah sebagai berikut:
1. Maqalat-i Syams-i Tabriz (wejangan-wejangan Syam Tabriz). Karya ini berisi tentang dialog-dialog mistis antara Syam Tabriz sebagai guru dan Rumi sebagai murid.
2. Divan-i Syams-i Tabriz (lirik-lirik Syams Tabriz). Karya ini disusun Rumi saat ia berpisah dengan gurunya Syam Tabriz, yang berisi pujaan disamping untuk mengenang guru sekaligus sahabat yang dicintainya.
3. Masnav-i Ma'nawi (Masnawi Jalaluddin Rumi). Karya ini berisi ajaran-ajaran pokok Tasawuf Rumi yang sangat mendalam. Para pengikut Rumi menganggapnya sebagai penyibak makna batin al-Qur'an. Karya ini ia sampaikan dalam bahasa puisi yang kreatif melalui apologi, anekdot dan legenda.
Sedangkan karya Rumi yang relatif kecil antara lain:
1. Ruba'iyyat. Karya puisi Rumi yang disampaikan dalam bentuk Kuatrin (sajak 4 baris).
2. Maktubat (Korespondensi). Karya ini merupakan kumpulan surat-surat Rumi yang ditujukan kepada dan untuk membalas rekan-rekan atau para pengikutnya.
3. Fihi Ma Fihi (Di dalam apa yang ada di dalam). Karya ini merupakan ceramah tasawuf Rumi kepada para pengikutnya yang tergabung dalam tarekatnya.

D. Telaah terhada Konsep Mahabbah Rumi
Sekarng, ketika orang berbicara tentang sufisme, tidak lagi terbayang kehidupan yang “menjauh” dari dunia. Gambaran kehidupan yang sederhana yang sekedar memakai kain wol dan makanan yang secukupnya, tidak lagi mewakili citra sufi. Karena sekarang, sufisme atau tasawuf telah menerobos sekat-sekat cultural
Banyak kaum kaya dan professional mencari kedamaian dalam tasawuf. Berbagai majlis Dzikir dan pusat-pusat latihan meditasi muncul di berbagai kota. Mempertemukan tradisi industrial yang membangun alisansi dengan air bening tasawuf yang memancarkan kedamaian jiwa. Sehingga tengah berlangsung kebangkitan tasawuf dalam kehidupan modern. (Annemerie :1993).
Ajaran tasawuf dalam pemahaman teks keislaman berangkat dari konsep Ihsan, yaitu suatu proses pendalaman ruhani paska iman dan Islam. Konsep itu lahir dari kisah Umar ra yang diriwiyatkan oleh Imam Muslim. Disebutkan makna Ihsan ialah “hendaknya kamu mengabdi pada Tuhan seakan akan-engkau melihatnya, Dan jika tidak melihat-Nya. Setidaknya engkau merasa diliha-Nya.
Seseorang yang paham makna Ihsan, maka ia tidak akan memandang ibadah sekedar bentuk wedang saja. Ia mengerti bahwa ibadah memiliki ruh, memiliki deminsi keluasan makna yang mengantarkan pada Tuhan. Dan orang yang sampai pada tingkatan ihsan ia akan merasa melihat Tuhan. (Ashad Kusuma Jaya :2001)
Untuk mengetahui lebih banyak tentang konsep mahabbah tidak bisa terlepas dari syair-syairnya, karena dalam syair-sayirnya mengandung kata-kata, luapan perasaan seorang Rumi tentang kecintaan pada Tuhannya . maka penulis juga akan membaca konsep Rumi lewat sair-syairnya.
Tasawuf dalam ajaran Rumi lewat konsep mahabbah merupakan jalan untuk sampai pada kesempurnaan. Ia merupakan jalan membersihkan diri sehingga mengantarka manusia sampai pada Tuhan-Nya.
Apabila ada orang berkata buruk tentang tasawuf, pada hakekatnya ia hanya berusaha membaik-baikkan dirinya. Sebab sebutan sufi hakekatnya adalah penghindaran pada keburukan-keburukan. Kaum sufi menjauhui sifat-sifat buruk

Maka ketika seorang memburuk –burukkan sifat buruk, dia sesungguhnya memburuk-burukkan sesuatu yang dimusuhi oleh kaum sufi dan justru memuji kaum sufi yang melawanya. Sebab orang yang menghindari segala keburukan, tentu layak dipuji oleh mereka yang merendahkan sifat buruk.

Dalam ajaran sufi yang cukup menonjol adalah mahabbah atau Mahabbah . Dimana sang Maulana Jalaluddin Rumi adalah tokoh yang tertkemuka dalam hubungan denan ajaran mahabbah. Dalam karya-karya rumi , mahabbah menjadi tema sentral. Kita akan mudah menemukan ajaran-ajaran mahabbah dalam tiap karya rumi, terutama dalam Diwan. Begiti menonjolnya ajaran mahabbah dalam tasawuf Rumi, menjadi para pengikut aliran Mevlivis yang merupakan penerus ajaran Rumi menempatkan mahabbah pada Tuhan menjadi prinsip ajarannya.
Dalam kitab Fihi ma fihi (Ashad Kusuma :2003, Terj) ajaran Mahabbah begitu menonjol :

Dimanapun engkau, dan dalam keadaan apapun, berusahalah dengan sungguh-sungguh menjadi seorang pecinta . Tatkala Mahabbah benar-benar tiba dan menyeliti-mu, maka kamu akan selalu menjadi pecinta -dialam barzah, saat kebangkitan, dan didalam surga, selamanya menjadi pecinta .

Ketika engkau menanam gandum, yakinlah bahwa akan tumbuh gamdum. Dan bahwa gandum akan tetap sama, baik dalam lumbung ataupun didalam tungku panggang.

Mahabbah yang begitu dalam, di dalam hati Rumi dapat mengetarka sendi-sendi tubuh yang kropos dari keimanan. Mahabbah Rumi juga ada kearifan, maka sufi yang tidak punya kearifan, akan diragukan kesufiannya. Karena bagi seorang sufi seperti Jalaluddin Tumi, kearifan adalah ujud dari Iman :

Untuk membedakan antara yang nyata dan yang maya. Juga antara yang benar dan yang tiruan. Siapapun juga yang tidak memiliki kearifan, dia tidak akan memahami. Dia hanya akan menyia-nyiakan segala perkataan kami. Sedangkan siapapun yang memiliki kearifan, ia akan mendapat mamfaat yang kami katakana ini.

Sebagaimana yang telah diuangkapkan diatas bahwa untuk mengetahui Mahabbah Rumi tidak bisa terlepas dari karya-karyanya, yang mayoritas berbentuk sya'ir, maka untuk melacak dan mengetahui lebih Mahabbah Rumi perlu juga dilakukan analisa terhadap karya-karya tersebut, di antaranya adalah sebagai berikut:

"Wahai kegilaan yang membuai, Kasih !
Engkau Tabib semua penyakit kami !
Engkau penyembuh harga diri,
Engkau Plato dan Galen kami !

Beberpa ungkapan dan syair-syair Rumi, Muhammad Iqbal menjelaskan bahwa Rumi masuk ke dalam madzhab Realitas Utama Sebagai Keindahan, sebagaimana Ibn Sina, yang pembawaannya terletak dalam melihat "wajah-Nya sendiri yang tercermin dalam cermin alam semesta".
Karena itu, alam semesta ini bagi mereka berdua merupakan pantulan "Keindahan Abadi" dan bukan suatu emanasi seperti yang diajarkan oleh Neo-Platonisme. Juga, menurut Mir Sayyid Syarif, penyebab penciptaan ialah manifestasi keindahan, dan penciptaan yang pertama ialah Mahabbah . Wujud Keindahan ini dihasilkan oleh Mahabbah kasih semesta, yang instingtif-bawaan. Zoroaster dari Sufi Persia senang mendefinisikannya sebagai "Api Kudus yang membakar segalanya kecuali Tuhan". (Mulyadi Karta Negara : 1986)
Ekspresi-ekspresi sufisme sering berpegang pada keseimbangan antara Mahabbah dan pengetahuan, suatu bentuk ekspresi emosional yang lebih mudah memadukan sikap keagamaan yang merupakan titik awal setiap kehidupan kerohanian Islam. Begitu pula yang dilakukan oleh Jalaluddin Rumi, ia mengekspresikannya dalam bahasa Mahabbah atau Cinta. Hal itu dapat ditemukan dalam sya'irnya yang lain:
Aku adalah kehidupan dari yang kucintai
Apa yang dapat kulakukan hai orang-orang Muslim ?
Aku sendiri tidak tahu.
Aku bukan orang kristen, bukan orang Yahudi, bukan orang Magi, bukan orang Mosul,
Bukan dari Timur, bukan dari barat, bukan dari darat, bukan dari laut,
Bukan dari tambang Alama, bukan dari langit yang melingkar,
Bukan dari bumi, bukan dari air, bukan dari udara, bukan dari api,
Bukan dari singgasana, bukan dari tanah, dari eksistensi, dari ada,
Bukan dari India, Cina, Bulgaria, Saqsee,
Bukan dari kerajaan-kerajaan Irak dan Kurasan,
Bukan dari dunia ini atau yang berikutnya; dari syurga atau neraka,
Bukan dari Adam, Hawa, taman-taman syurgawi, atau firdausi,
Tempatku tanpa tempat, jejakku tanpa jejak,
Bukan raga atau jiwa; semua adalah kehidupan dari yang kucintai.
Dalama kenyataannya, perbedaan antara jalan pengetahuan dan jalan Mahabbah bermuara pada masalah keunggulan salah satunya atas lainnya, meskipun sebenarnya tidak pernah ada pemisahan sepenuhnya antara kedua modus rohani tersebut. Pengetahuan tentang Tuhan selalu memikirkan Mahabbah , sementara Mahabbah mengisyaratkan adanya pengetahuan mengenai obyek Mahabbah , walaupun itu hanya merupakan pengetahuan langsung dan renungan.

Obyek Mahabbah rohani adalah keindahan Tuhan yang merupakan suatu aspek dari ketakterbatasan Tuhan, dan melalui obyek ini rasa Mahabbah menjadi terang dan jelas. Mahabbah yang penuh dan terpadu berputar mengelilingi sesuatu titik tunggal yang tak terlukiskan, Allah Swt.
Selanjutnya menurut Rumi, Mahabbah lebih tinggi dari kecemasan, hal ini dapat kita fahami dalam sayirnya:
Sang Sufi bermi'raj ke 'Arsy dalam sekejap, sang zahid membutuhkan waktu sebulan untuk sehari perjalanan.

Meskipun bagi sang zahid, sehari bernilai besar sekali, namun bagaimana satu harinya bisa sama dengan lima puluh ribu tahun ?
Dalam kehidupan sang Sufi, setiap hari berarti lima puluh ribu tahun di dunia ini.
Mahabbah (mahabbah), dan juga gairah Mahabbah ('isyq) adalah sifat Tuhan, takut adalah sifat hawa nafsu dan birahi.
Mahabbah memiliki lima ratus sayap, dan setiap sayap membentang dari atas syurga di langit tertinggi sampai di bawah bumi.
Sang zahid yang ketakutan berlari dengan kaki, para pecintaTuhan terbang lebih cepat dari pada kilat.
Semoga Rahmat Tuhan membebaskanmu dari pengembaraan ini!, tak ada yang sampai kecuali rajawali yang setialah yang menemukan jalan menuju sang Raja.
Menurut Annemarie Schimmel, kekuatan Rumi adalah Mahabbah nya, suatu pengalaman Mahabbah dalam makna manusiawi tetapi sama sekali didasarkan pada Tuhan. Ia merasa bahwa dalam setiap do'a ada rahmat Ilahi, dan ia membukanya sendiri rahmat Ilahi itu. Beserta dengan kehendak Ilahi, ia menemukan pemecahan bagi teka-teki taqdir dan mampu menjulang ke puncak kebahagiaan dari kesedihan yang paling dalam karena perpisahan. Hal ini diungkapkannya dalam sebuah syair:
"Aku terbakar, dan terbakar dan terbakar"
Selanjutnya, Schimmel mengatakan bahwa Rumi telah mengalami keindahan dan keagungan Ilahi dengan seluruh indranya. Pengalaman indrawi terpantul kuat dalam sajaknya, dan dalam sajak itu selalu terjaga keseimbangan antara pengalaman indrawi dan kasih Ilahi, sebagaimana berikut:
Lewat mahabbahlah semua yang pahit akan jadi manis,
Lewat mahabbahlah semua yang tembaga akan jadi emas,
Lewat mahabbahlah semua endapan akan jadi anggur murni,
Lewat mahabbahlah semua kesedihan akan jadi obat,
Lewat mahabbahlah si mati akan jadi hidup,
Lewat mahabbahlah Raja jadi budak.

Dalam suatu kesempatan, Rumi pernah mengatakan bahwa hingga hari kebangkitan pun kita tidak mungkin bisa berbicara secara memadai tentang wajah Mahabbah . Sebab, menurutnya, mana mungkin mengukur samudera dengan piring.
Dari beberapa syair Rumi tersebut, kita memperoleh pemahaman bahwa pemahaman atas Tuhan beserta alam semesta hanya mungkin lewat bahasa Mahabbah , bukan semata-mata dengan kerja dan usaha yang bersifat fisik lahiriyah.


*) Penikmat Sastra yang sedang menjelajahi konsep-konsep mahabbah para sufi. Pembina Komunitas sastra Tinta Langit dan beberapa komunitas sastra di Malang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar