Selasa, 31 Maret 2009

LAMHAH SASTRA

Halimi Zuhdy
(Membingkai Sastra Dalam Etalase Kehidupan)


Beberapa bulan yang lalu saya diminta untuk mempresentasikan pentingnya sastra dalam kehidupan manusia, kebetulan sahabat saya, sebut saja Syukro, tanpa sepengetahuan saya, mengikuti acara yang dilaksanakan oleh lembaga kajian sastra (Elkas) itu, ia orang yang sangat membenci dan bahkan mooh pada dunia sastra, apalagi bersentuhan dengan bahasa-bahasa yang tidak “jelas” sebut saja puisi, puisi menurutnya adalah bahasa yang tidak mencerminkan kejujuran dan penulisnya lagi mengalami depresi akut sehingga bahasanya tidak tertata dengan baik dan benar, dan ia juga sangat membenci cerpen, menurutnya, membaca cerpen sebagaimana membaca kebohongan, menelaah kehampaan, membuang-buang waktu, menghambur-hamburkan uang dan yang didapat hanya kesia-siaan, dari namanya saja “fiksi”. Bagaimana menjadikan manusia seutuhnya kalau bacaannya cerpen dan puisi, ungkapnya dengan nada ketus.

Setelah saya selesai menyajikan teori sosiologi sastra dan menutup seminar itu dengan ungkapan Georg Lukacs seorang kritikus Marxis terkemuka yang berasal dari Hungaria, “Sebuah novel, cerpen, puisi, tidak hanya mencerminkan ‘realitas’ tetapi lebih dari memberikan kepada kita “sebuah refleksi realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik” yang mungkin melampaui pemahaman umum. Sebuah karya tidak hanya mencerminkan fenomena individu secara tertutup melainkan lebih merupakan ‘proses yang hidup’. Sastra tidak mencerminkan relitas sebagai fotografi, melainkan lebih sebagai suatu bentuk khusus yang mencerminkan realitas. Dengan demikian, sastra dapat mencerminkan realitas secara jujur dan objektif dan dapat juga mencerminkan kesan realitas subjektifitas. Kontan saja, Syukro bertanya-tanya dalam pikirannya, benarkah apa yang dikatakan Halimi?, karena selama ini ia memahami bahwa sastra adalah dunia kebohongan yang dibungkus keindahan, memenangkan dunia imajinasi ketimbang dunia realitas, menuhankan estetik daripada kebenaran hakiki.
Dan tidak beberapa lama setelah itu, Syukro yang anti terhadap karya-karya sastra, terutama puisi dan cerpen, mengalami perubahan drastis. Setelah saya menyodorkan puisi saya yang berjudul; Tuhan tak ada kata “cinta” untuk-Mu, dan beberapa puisi penyair terkenal, O Amuk Kapak-nya Sutardji Calzoum Bachri, Ibu – D.Zawawi Imron, Lautan Jilbab-nya MH. Ainun Najib, Negeri Daging-nya Mustofa Bisri, kemudian saya jelaskan kata perkata, bait perbait, menurut kemampuan saya, agar ia benar-benar memahami makna yang terkandung dalam puisi tersebut, memang sekali-dua kali membaca puisi mereka, masih merasakan kesulitan untuk memahaminya, namun setelah beberapa kali, merenungi, memahami, mengkaji dan membacanya dengan kesungguhan hati dan perasaannya, ia menemukan kenikmatan dan keindahan, kemudian ia berkomentar, “sungguh, bahasa yang indah dan penuh makna yang terbersit di dalamnya, saya menemukan realitas lain dalam setiap kata-katanya, yang sebelumnya saya anggap hanya dunia imaji dan dunia basa-basi, tapi di sana benar-benar saya temukan realitas-imaji yang sesungguhnya”.
Bukan hanya puisi yang saya sodorkan padanya untuk dilahap, tapi beberapa karya sastra lainnya seperti cerpen dan novel, agar ia benar-benar memasuki dunia estetik yang lain, seperti, Laki-laki menuju surga karangan Najib Kailani, keluarga Gerilya dan Arus Balik –nya Pramoedya Ananta Nor, Dua Orang Dukun- Ajip Rosidi, Pertempuran dan Salju di Paris karangan Sitor Situmorang Rosidi, Dilarang Mencintai Bunga-bunga Kuntowijoyo dan beberapa cerpen dan Novel lainnya. Setelah beberapa hari membaca dan mengkaji karya-karya sastra, seperti novel, roman, puisi, cerpen, drama, dan beberapa kolom sastra, ia berkata pada saya, “bagaimana ..ya, seandainya hidup ini tanpa sastra, rasanya hampa dan hidup tidak menggairahkan, keindahan pun akan tercerabut dari hati, prasaan dan diri manusia ,”. Apa yang dirasakan syukro, mungkin akan dirasakan oleh penikmat-penikmat sastra, bahkan lebih dari yang dibayangkan sebelumnya.
Sastra bukanlah sekedar dunia simbol yang penghuninya semuanya hanya kata-kata, tapi juga bukan dunia pergerakan, yang penuh dengan segenap tindakan seperti dalam kerusuhan, dalam revolusi yang bergejolak, atau dalam suatu perhelatan, sastra itu cermin hidup manusia, dan dunianya, dan di sana manusia berkata-kata, dan kata-katanya juga meninggalkan jejak, kata-kata –selemah dan sehalus apapun- bisa mengaruhi dan memberi inspirasi bagi tumbuhnya sesuatu bagi tumbuhnya suatu ideologi sosial. Dan sastra dengan begitu secara tak langsung bisa memeberi manusia gagasan membikin dunianya lebih baik (M. Sobary, Kompas, 3/6/06)
Sejatinya sastra merupakan unsur yang amat penting yang mampu memberikan wajah manusiawi, unsur-unsur keindahan, keselarasan, keseimbangan, perspektif, harmoni, irama, proporsi, dan sublimasi dalam setiap gerak kehidupan manusia dalam menciptakan kebudayaan. Dan apabila hal tersebut tercerabut dari akar kehidupan manusia, manusia tak lebih dari sekadar hewan berakal. Untuk itulah sastra harus ada dan selalu harus diberadakan.
Sastra adalah vitamin batin, kerja otak kanan yang membuat halus sikap hidup insani yang jika benar-benar dimatangkan, akan mampu menumbuhkan sikap yang lebih santun dan beradab.
Seni sastra, dilihat dari kenalaran sistematis pada instansi rasional yang terakhir, adalah ‘primer’ : mengungkapkan ada (das Sein) manusiawi kita dan melekat dalam kehidupan manusia. Secara potensial, setiap orang pada setiap jaman pada setiap tempat dapat bersastra, entah secara aktif entah secara pasif (Mangunwijaya, 1986:3-7). Oleh karena itu, seni sastra merupakan sebuah bidang kebudayaan manusia yang paling tua, yang mendahului cabang-cabang kebudayaan lainya. Sebelum adanya ilmu pengetahuan dan teknik, kesenian sudah hadir sebagai media ekspresi pengalaman estetik manusia berhadapan dengan alam sebagai penjelmaan keindahan (Drikarya, 1980: 7-12).
Ekspresi pengalaman keindahan itu menentramkan dan mengembirakan manusia, karena di dalamnya manusia mengenali hubungan yang akrab dan hangat antara dirinya dengan sumber atau segala sesuatu yang menarik, mengikat, memikat, dan memanggil manusia kepada-Nya. Dan jelaslah bahwa pada awal mula kehadirannya, pengalaman estetik tidak dibedakan dari pengalaman relegius (pengalaman mistis). Menurut Mangunwijaya “pada awal Mula, segala sastra adalah religius. Bagi filsuf Perancis, J. Maritain, pengalaman estetis merupakan “Intercommunication between the inner being of thigs and the inner being of the human self”, interaksi antara manusia dan hakikat alam raya. Karya sastra adalah proyeksi perasaan subjektif ke dalam alam raya dan sebaliknya alam raya bercerita tentang perasaan manusia. Perhatikan ungkapan ini: “Suara burung elang pada akhir musim kemarau menggemakan rasa rindu seorang pemuda pada kekasihnya” (Hartoko, 1986:9).
Sekalipun istilah “sastra” (literature) dengan pengertiannya yang sekarang baru muncul di Eropa pada abad ke-18, sastra sesungguhnya berakar dari masa prasejarah dalam wujud sastra lisan dan bentuk-bentuk metos.
Mitos merupakan wilayah kesustraan, seperti dijelaskan oleh Cal Jung mengenai memori rasial, diffuse histori, dan kesamaan dasar dalam pikiran manusia (Vickery, 1982 :79-83). Menurut Richard Chase, mitos adalah karya sastra yang harus dipahami sebagai kreasi estetik dari imajinasi manuisa. Pengertian mitos sebagai kreasi seni sastra berkaitan fungsi dengan primer mitos dalam pemikiran manusia sebelum munculnya bidang-bidang lain seperti ilmu, religi, ekonomi, dogma teologi, dll (Chase, 1969 :69) sebagai ekspresi kesenian, mitos mengungkapkan kekuatan magis impersonal yang mengacu kepada pengalaman akan hal-hal yang luar biasa indah, menakutkan, mengagumkan, dahsyat yang berkaitan dengan emosi-emosi preternatural.
Mitos membentuk acuan (matrix), dan dari acuan itu muncul sastra yang bersifat psikologis, historis, mistis, religius, simbolis, ekspresif, impresif. Elemen-elemn kesustraan seperti alur, tema, perwatakan dan citraan pada umumnya ditemukan pula di dalam mitos dan cerita-cerita rakyat.
Sastra, bagaimanapun, memiliki kualitas-kualitas mistis karena pada mulanya orang bersastra untuk mengespresikan pengalaman-pengalaman mistik dengan menghayati realita-realita paling mendasar dari eksistensi manusia : kelahiran, kehidupan, kematian, kesakitan, ketakutan, dan pendambaan keselamatan yang merupakan dimensi-dimensi transendentalnya.
Akan tetapi, pada suatu fase historis, sastra semakin otonom dari segi-segi estetika dan semakin menuntut hak-haknya, bahkan seringkali mengklaim monopoli (Mangunwijaya, 1986:5-6).sastrawan dan seniman merasa diri sebagai manusia yang luar biasa, yang otonom mutlak, bahkan merasa dirinya ‘resi diatas angin’ . sastra lalu lepas dari kehidupan manusia biasa dan menjadi sukar didefinisakan oleh orang biasa. Hanya orang-orang tertentu, kaum intelektual zaman modern yang memahami seluk-beluk ilmu estetik yang memamahami sastra.
Tulisan ini saya tutup dengan perkataan M. Sobary, “Sastra dan agama menyentuh manusia, dan mengubahnya dari dalam. Dan pelan-pelan manusia mengubah dunianya.”


*) Penikmat Sastra yang lagi menjelajah Surat Cinta Sang Kekasih yang penuh mutiara, estetik, hikmah dan sarat makna. Imilah_zudn@Yahoo.Com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar