Facebook Halimi Zuhdy
Sabtu, 05 Januari 2008
RELEVANSI TEOLOGI ASY’ARIYAH
RELEVANSI TEOLOGI ASY’ARIYAH
TERHADAP KEHIDUPAN MODERN
(Telaah Kritis Atas Teologi Asy’ariyah)
Halimi Zuhdy
Sebuah kajian atau kritikan terhadap teologi yang
berkembang bukanlah usaha untuk menghilangkan subtansi
atau membongkar total terhadap pemikiran-pemikiran
yang sudah dibangun oleh para teologi yang berkembang
di zamannya, namun untuk melihat kembali apakan
pemikiran tersebut masih relevan di kembangkan pada
zaman sekarang yang penuh dengan berbagai macam
krakteristik dan dinamika pemikiran atau pemikiran
tersebut perlu dikonstruksi sehingga mampu berdaptasi
dengan kehidupan modern, disamping itu dapat
mengkomparasikan antara beberapa pemikiran para teolog
yang berbeda dalam metodelogi objektifitas dan
kemampuan dalam memahami kebenaran /hakekat.
Kajian terhadap teologi Asy’ariyah disini tidak
dimaksudkan untuk meninggalan aspek-aspek positif
dalam teologi Asy’ariyah dari praktek keagamaan umat
Islam seluruhnya atau sebagiannya, namun yang
diinginkan dalam wacana ini adalah mencoba mengkaji
kebenaran dan keabsahan konsepteologi ini sebagai
landasan
berfikir dan beramal umat Islam di masa kini dan mendatang.
Yang dituntut dalam pemikiran teologi adalah kekuatan
atau potensi konsep pemikiran tertsebut dalam
menawarkan solusi dan penyelesaian
permasalahan-permasalahan yang di hadapi umat dengan
berlandaskan pada fundamen-fundamen kekaidahan dan
komprehensip tampa harus disibukkan oleh
persoalan-persoalan parsial dalam teologi tersebut,
dan jika kita menengok kondisi aqidah umat dewasa ini
, dengan jelas kita akan temukan satu problem penting
yang timbul dari fenomena kemunduran umat Islm, yang
pada gilirannya menyebabkan stagnasi pada perkembangan
pemikiran Islam, dan secara berlahan-lahan akan
memisahkan dari kehidupan riil, yaitu terjadinya
pemisahan-pemisahan antara teologi Islam dan upaya
penerapan ajaran Islam dalam berbagai segi kehidupan.
Dalam term lain kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam
sejarah umat Islam pada masa kemunduran peradapan
Islam. Menciptakan jurang yang memisahkan antara aspek
teologis dan aspek amaliyah umat. Sehingga sukar
ditemukan bentuk-bentuk dan prilaku umat yang
termutifasi langsung dari sebuah keonsep teologi. Dan
terkadang terlihat seakan –akan kebenaran teologi itu
sendiri hanya merupakan persepsi-persepsi rasional
yang tidak ada sangkut pautnya terhadap kehidupan
manusia.
Masuk pada teologi Asy’ariyah, kita harus dapat
menempatkan aliran teologi ini pada proporsi yang
sebenarnya, tidak mengklaim teologi ini yang
menyebabkan kemunduran orang Islam atau
berlebih-lebihan menganggap teologi ini paling benar
karena berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadist sehingga
tidak perlu dikritisi, dalam tulisan ini penulis ingin
mencoba melihat kembali relevansi doktrin Asy’ariyah
terhadap prilaku umat dan juga telaah terhadap teologi
tersebut.
Telaah atas Tema Pokok Teologi Asy’ariyah dan
relevansinya Terhadap perilaku umat.s
Telaah ini tidak untuk merekontruksi
pandangan-pandangan Asyariyah dalam teologi, apalagi
merombak total paham-paham yang dianggap tidak sesuai
denngan zaman,. Namun yang diinginkan ialah melihat
kembali nilai-nilai ilmiah dan obyektifitas suatu
konsep teologis dan mengungkapkan sejauh mana
pengaruhnya terhadap perilaku manusia. Diharapkan dari
kajian ini tumbuhnya sikap positif dan rasional dalam
menerima atau menolak sebuah konsep teologi tertentu.
Sebelum membahas tema pokok asy’ariyah dan
relevansinya terhadap kehidupan modern penulis ingin
mengutip pandangan Nur Kholis Majid tentang Akidah (
teologi As’ariyah).
“Yang dimaksud akidah, itu apa sih? Istilah itu tidak
ada dalam al-Qur’an,. Akidah itu artinya ikatan,
sampul iman yang dirumuskan dan diturunkan dalam ilmu
kalam, Ushul al-Dinatau ilmu Tauhid. Dan itu merupakan
hasil presepsi sejarah, Taruhlah akidah yang sangat
domenan saat ini, akidah Asy’ari, Misalnya sifat dua
puluh (wujud, kidam, baqo’dan seterusnya-) itu adalah
hasil kreasi kaum Asy’ariyah sebagai respon terhadap
bahaya banjirnya Hellenisme. Tapi sebagai mana
al-Attas dalam menghadapi barat, Asy’ari juga
menyerang Hellinisme dengan menggunakan falsafat
Hellenisme .Dan untuk itu, Asy’ari berjasa. Akidah
Asy’ariyah itu otentik, meskipun perlu di pertanyakan
relevansinya untuk saat ini.22
Pandanganseorang tokoh tersebut dapat dilihat, Bahwa
tidak menutup kemungkinan ajaran-ajaran yang sudah
tersebar dan mendarah daging di masyarakat, serta
dijadikan idiologi paten yang tidak boleh di otak
atik, masih ada yang perlu dikritisi dan dirubah,
karena banyak pendapat yang juga perlu di pertanyakan
keontetikannya,karena tidak sesuai dengan Naqli
ataupun Aqli , hal ini bertujuan untuk mengkaji sejauh
mana relevansi doktrin asy’ariyah terhadap kehidupan
umat.
a.Wujud dan Sifat Tuhan
Para ulama ilmu Kalam, baik Asy’ariyah maupum
Mu’tazilah, dan para filosof, dalam pembahasan penting
ini menyepakati urgensi akal dalam menetapkan
keberadaan Tuhan serta menumbuhkan keyakinan
kepada-Nya. Berbeda dengan ahl al Dzahir, para
Mutakalimin menyerahkan segala kemampuan logika mereka
dalam menetapkan kebenaran tuhan sebagaimana yang
diinginkan dzahir teks agama. Dari sini, jelas nampak
adanya keterlibatan manusia -atau setidaknya aspek
kemanusiaan- dalam berbagai kajian ketuhanan (Teologi)
Asy’ariyah, dengan gaya ortodoksnya, mencoba
menempatkan dirinya sebagai penengah (moderasi)
diantara dua aliran; yaitu Salafiyah dan
Mu’tazilah.Namun, kajian teologis Asy’ariyah -dengan
didukung oleh silogisme Aristotelian atau logika
formal-deduktif ditambah dengan mengadopsi secara
distorsif teori-teori filsafat natural (tabhi’at)-
malah pada akhirnya tidak menampilkan kajian teologis
yang empiris-metodologis. Bahayanya lagi,
argumen-argumen Asy’ariyah dapat saja mengalami
eskalasi sehingga mencapai tingkat ‘ilhad’
(pengingkaran akan wujud Tuhan) dan tajsim
(antropomorfisme).
Dapat kita temukan dalam alur pemikiran Asy’ariyah
adanya kesan ‘keterpaksaan’ dalam menggunakan
teori-teori filsafat alam (natural philosophy)seperti
teori al huduts (kebaharuan alam), al Imkan
(probabilitas) dan Jauhar fard (subtansi tunggal).
Teori al huduts menetapkan premis-premis logis bahwa
alam itu hadis (baru;tidak qadim) karena alam itu
selalu berubah. Semua yang hadis pasti berasal dari
muhdis (pembaru;pelaku al hudus) dan muhdis tersebut
harus qadim, sebab kalau tidak , maka akan terjadi
daur atau tasalsul (kausalitas tanpa akhir). Sedang
dalam doktrin teologinya, daur dan tasalsul itu
mustahil. Selanjutnya, Asy’ariyah langsung menetapkan
bahwa yang qadim itu adalah Tuhan.
Sedangkan teori al imkan mengatakan, alam itu bersifat
mumkin, yaitu mungkin terjadi mungkin tidak. Segala
sesuatu yang mungkin membutuhkan ‘illat murajjih yang
menyebabkan adanya sesuatu itu dan ‘illat tersebut
harus berakhir pada zat yang wajib al wujub (wajib
ada). Sebab kalau tidak, akan terjadi tasalsul, dan
tasalsul itu mustahil. Maka langsung ditetapkan bahwa
wajib al wujub itu adalah Tuhan.
Lain lagi dengan teori Jauhar al fard Asy’ariyah
menetapkan bahwa segala sesuatu itu terdiri dari
bagian-bagian atau ajzaa’, dan bagian-bagian ini akan
sampai kepada bagian yang terkecil (substansi akhir)
yang tidak dapat terbagi bagi lagi, karena selanjutnya
dinamakan Jauhar al fard (substansi tunggal). Karena
semua jauhar tidak terlepas dari ‘aradl (sifat yang
hadits), maka konklusinya semua jauhar adalah hadits.
Anehnya, beranjak dari premis-premis fisikal di atas,
Asyariyah mengadakan lompatan kepada kesimpulan
metafisikal. Dalam artian, Asy’ariyah berusaha
menemukan dalil dari hal-hal yang natural untuk
membuktikan sesuatu yang natural. Metodologi ini jelas
bertentangan dengan metodi empirisme ilmiah.
Meskipun logika idealektik yang berusaha dibangun oleh
Asy’ariyah masih mengadung nilai- nilai empirik, tapi
argumen-argumennya tetap saja membingungkan. Bagaimana
mungkin Asy’ariyah membuktikan bahwa alam itu hadits,
sementara gerakan dan siklus yang merupakan sifat
tetap alam telah berlangsung tanpa permulaan. Pada
hakikatnya alam adalah qadim, dalam pengertian bahwa
Tuhan menciptakan alam tanpa permulaan dan tanpa bahan
dasar, dan jarak antara keberadaan Tuhan dan
keberadaan alam tidak mungkin diukur dengan waktu.
Dengan kata lain, tidak ada rentang waktu antara Tuhan
dengan alam walau sedetik pun. Dan posisi Tuhan tidak
lain adalah ‘illat atau sebab keberadaan alam. Tanpa
Tuhan alam tidak akan pernah ada.
Asy’ariyah dalam logikanya mengambil kaidah “kunci”
yaitu kemustahilan daur dan tasalsul. Apa alasan
Asy’ariyah menetapkan kaidah seperti itu? Pada
hakikatnya, daur dan tasalsul itu hal yang wajar dan
merupakan tabiat alam. Tuhan telah menciptakan siklus
dan hubungan kausalitas (sebab akibat) sehingga
manusia sanggup mengolah dan memproses daur ulang alam
ini dengan ilmu pengetahuannya. Teori kemustahilan ini
hanya berakibat terhambatnya ilmu pengetahuan dan
menjadikan manusia pasif dalam hidupnya.
Hubungan hadits-muhdits oleh Asy’ariyah diidentikan
dangan hubungan mashnu’ dan shani’nya (pembuat dan
yang dibuat). Katanya alam ini adalah buatan
Tuhan,sebagaimana kursi adalah buatan tukang.
Konsekuensi dari keyakinan tersebut membawa akal
manusia sehingga mengibaratkan Tuhan sebagai person
(al Syakhsy) dan pada gilirannya menimbulkan
penafsiran materil terhadap hal-hal ghaib. Seiring
dengan itu pula, penafsiran fenomena alam dengan
kaidah hadits-muhdits sama halnya merampas esensi alam
tersendiri. Dengan memahami hadits sebagai “sesuatu
yang pada awalnya tidak ada kemudian diadakan”
menjadikan ketidakadaan sebagai standar keberadaan.
Ini menyebabkan alam kehilangan esensinya dan
memaksakan ketergantungannya kepada “sesuatu yang
lain” di luar dirinya. Akhirnya, realita dan subtansi
alam ini akan hilang dan yang tinggal bertahan dalam
wujud nyata adalah alam metafisik yang pada hakikatnya
tidak nyata. Secara sosio-psikologis, pengaruhnya pun
berlanjut pada manusia, dimana menusia adalah unsur
dan bagian utama di alam ini. Dengan hilangnya esensi
alam, maka manusia pun kehilangan esensinya dan
manjadi wujud hampa tanpa arti.
Secara psikologis, argumen tentang huduts-nya alam
cukup membahayakan esistensi manusia tatkala kita
menerima hipotesa imajinatif tersebut, yaitu bahwa
alam itu diadakan dari tidak ada oleh sang muhdits,
hal itu mengisyaratkan bahwa manusia pada dasarnya
lemah dan tidak mampu melakukan perubahan dan
pembaruan dalam kehidupannya di alam ini. Sebab secara
logis, segala bentuk perubahan, besar maupun kecil,
semuanya disandarkan pada kekuatan dan kemampuan sang
muhdits, yaitu zat selain manusia. Memang betul,
manusia tidak menciptakan dirinya juga tidak mampu
menciptakan alam walau seekor nyamuk pun. Tapi, apakah
itu dimaksudkan agar manusia melemahkan dirinya dan
menggantungkan dirinya pada sesuatu kakuatan lain di
luar dirinya dan di luar alam ini. Sebenarnya, argumen
argumen distorsif tersebut berangkat dari landasan
keimanan subyektif semata tidak dari tinjauan obyektif
ilmiah .
Sesuatu argumen lagi yang tidak kalah membingungkan,
yaitu deskripsi Asy’ariyah tentang pembagian sesuatu
pada bagian-bagian tertentu dan berakhir pada jauhar
fard. Perlu dipertanyakan “bagaimana Asy’ariyah
menetapkan dan membuktikan adanya sesuatu yang
disebutnya jauhar fard? Apakah jauhar fard tersebut
pada kenyataannya memang ada, atau hanya hipotesa
imajinatif (al wahm) semata yang ditujukan untuk
mengunggulkan eksistensi sang muhdits?
Pada hakikatnya ilmu pengetahuan membuktikan bahwa
alam itu tidak dapat dibagi-bagi kepada jauhar
sebagaimana anggapan Asy’ariyah. Alam itu tidak dapat
dibagi dan diurai dalam bentuk unsur-unsur dan
penguraian ini dapat berlangsung terus menerus tanpa
berhenti. Kondisi ini sangat mendukung perkembangan
ilmu pengetahuan dan penemuan-penemuan ilmiah.
Jelasnya argumen Asy’ariyah tentang adanya jauhar fard
tidak lebih dari hipotesa imajinatif akal yang tidak
faktual.Perlu diketahui, bahwa makna wujud itu sendiri
ada tiga; pertama, wujud sesuatu itu dapat dipahami
bila sesuatu itu dapat diketahui. Jadi, standar wujud
sesuatu adalah adanya kemungkian pengetahuan
terhadapnya.
Teologi yang dipelopori oleh asy’ari dan di kembangkan
oleh al-Ghazali itu telah mempengaruhi banyak agama di
dunia, khususnya yang bersentuhan langsung dengan
Islam,yaitu yahudi dan Kresten, sebegitu rupa.
Sehingga banyak agama Yahudi seperti yang ada pada
sekarang ini adalah adalah bahwa agama yahudi yang
dalam bidang teologi telah mengalami “pengislaman”,.
Di zaman Modern yang pengetahuan semakin melimpah ruah
ini, ternyata teologi Asy’ari masih relefan dalam buku
Nur Khalis Madjid, Willian Craig, seorang tokoh ahli
Filsafat Modern dari Berkeley, California, Ilmu
pengetahuan mutahir, khususnya teori-teori tentang
asal kejadian alam raya seperti teori ledakan besar
dalam Astronomi Modern sangat menujang argumen-argumen
Ilmu kalam yang di kembangkan oleh asy’ariyah.23
b. Keadilan Manusia dan Perilaku Manusia
Diantara tema-tema sentral teologi Asy’ariyah, topik
keadilan Tuhan (al ‘Adl)- dalam hal ini adalah standar
nilai kebaikan dan keburukan- menempati deretan yang
paling penting. Topik ini, disamping merupakan
pembahasan yang cukup luas dan sangat berkaitan dengan
segi-segi fundamental dalam bangunan ideologi Islam,
juga sangat mempengaruhi corak perilaku umat
penganutnya. Pada awal kemunculannya, konsep ini hanya
merupakan respons terhadap teologi Mu’tazilah yang
ekstrem-rasionalistik. Dan pada perkembangan
selanjutnya, konsep keadilan Asy’ariyah ini tidak
dapat terhindar dari pengaruh-pengaruh Jabariyah
(Fatalisme).
Asy’ariyah mencoba menampilkan pemikirannya tentang
keadilan dengan beranjak dari konsep kemutlakan iradah
(keinginan) Tuhan. Mereka beranggapan bahwa Tuhan
telah menciptakan kebaikan (al khair) dan keburukan
(al syarr) serta sekaligus ‘menghendaki’ keberadaan
keduanya sebagai dualisme nilai yang diperpegangi
manusia. Kemudian, dari sisi lain mereka menegaskan
bahwa kebaikan dan keburukan itu merupakan sesuatu
yang relatif- dalam artian, tidak ada sesuatu yang
pada hakikatnya baik dan buruk- dan selanjutnya
mengembalikan kedua nilai tersebut kepada kemutlakan
syara’ sebagai standar utama. Segala yang diakui dan
dilegitimasi oleh syara’ sebagai kebaikan, maka hal
itu pastilah baik. Dan demikian pula sebaliknya, bahwa
keburukan hanyalah yang diakui oleh syara’ sebagai
keburukan. Namun kalau demikian halnya, bagaimana
mungkin Asy’ariyah mengakui adanya nilai baik dan
buruk dari satu sisi dan mengingkari keberadaannya
dari sisi lain?
Sesungguhnya, argumentasi Asy’ariyah yang demikian itu
hanya ditujukan untuk menolak pendapat Mu’tazilah (ahl
al ‘adl) yang menempatkan akal sebagai satu-satunya
standar nilai baik dan buruk. Dengan sangat responsif,
mereka menegaskan bahwa syara lah satu-satunya sumber
nilai yang berwenang menentukan segalanya, dan dengan
sendirinya menafikan fungsi akal dalam menilai suatu
perbuatan. Dengan kata lain, sebelum syara’
diturunkan, akal manusia tidak mampu mengetahui bahwa
kejujuran adalah baik dan bohong itu adalah buruk.
Bahwa seandainya Tuhan memerintahkan manusia untuk
berbohong atau setidaknya melegitimasi kebohongan
tersebut, maka tentunya hukum pun akan berubah,
sesuatu yang awalnya buruk berubah nilai menjadi baik.
Atau seandainya Tuhan melarang manusia untuk berlaku
jujur maka kejujuran akan berubah menjadi perbuatan
tercela.
Untuk membuktian kebenaran pendapatnya, Asy’ariyah
beralasan bahwa akal manusia sangat relatif dalam
menilai sesuatu dan sangat dipengaruhi oleh unsur
subyektivitas serta kepentingan pribadi. Maka tanpa
keterlibatan otoritas syara’, nilai kebaikan dan
keburukan akan sangat relatif. Secara global
Asy’ariyah mengakui relativitas akal manusia pada
perbedaan- perbedaan yang ada dalam berbagai adat dan
aturan konvensional antar komunitas tertentu. Di
samping itu, kenisbian nilai moral merupakan dasar
utama adanya perbedaan yang menyolok dalam berbagai
ajaran agama.
Sekilas nampak kebenaran argumentasi diatas. Tapi
sebaliknya argumen tersebut cukup keliru, sebab
pendapat yang mengatakan tentang kenisbian nilai moral
tidak mutlak benar. Para ahli telah mengakui adanya
prinsip-prinsip moral dasar yang selamanya sejalan
dengan ketetapan-ketetapan syariat dan hukum
konvensional. Prinsip-prinsip dasar ini tidak
mengalami perubahan sepanjang kehidupan manusia. Dan
manusia hanya berbeda dan berselisih sekitar hal-hal
yang parsial dan tidak prinsipil. Nilai dasar akan
berubah jika dipengaruhi atau dituntut oleh kondisi
tertentu, yang pada hakikatnya bersifat temporal.
Kewenangan syara’ dan pengosongan nilai yang dilakukan
Asy’ariyah pada setiap perbuatan manusia dapat
menyebabkan kekacauan dan pertikaian antar individu
yang memperjuangkan kepentingan tertentu. Pihak- pihak
penguasa tentu saja dapat mempolitisir dan
melegitimasi ketetapan syara’ untuk
kepentingan-kepentingan pribadinya atau kepentingan
golongan tertentu. Dan di sisi lain, pihak yang lebih
lemah terpaksa harus mengakui ‘kebenaran’ yang
diperbuat oleh pihak penguasa.
Sebaga imana yang telah disebutkan diatas, teologi
Asy;ariyah adalah teologi moderasi atau penengah antar
dua ekstermitas. Dalam konteks ini, Asy’ariyah
menampilkan teori Kasb sebagai ‘pelarian’ dari
kekuatiran mereka dari otoritas akal manusia dari satu
sisi dan sifat fatalisme dari sisi lain.
Penutup
Dalam antitesa sementara penulis, ternyata Teologi
Asy’ariyah belum manpu menawarkan ideology alternatif
dalam upaya mengubah umat dan menggerakkan roda
peradaban Islam ke ambang kecerahan, sehingga mapu
mensejajarkan dirinya dengan perdapan-peradaban yang
lebih maju. Apakah perubahan-perubahan positif dan
fundamental akan terjadi dan langsung sebagaimana
mestinya sementara kita masih “mengkultuskan” teologi
Asy’ariyah sebagai satu-satunya teologi yang paling
abash? Bagaimana mungkin mengembangkan ilmu
pengetahuan dan tehnologi modern di saat kita
menyakini tidak adanya korelasi yang jelas antara
teori dan metode penerapan ilmu itu sendiri? Kita
sering beranggapan bahwa bagaimana usaha manusia dalam
berfikir dan menganalisa fenomena-fenomena alam,
manusia harus mananti dan menunggu “ilmu” yang datang
dari “sumber lain”, berupa Ilham, wangsit dan
sebagainya, Sangat tidak logis bila kita membatasi
kapabelitas akanmanusia dan meletakkanya di bawah
kekuasaan naql (teks-teks suci) dalam konteks
masyarakat yang masih mengalami krisi inteltual dan
rasionalitas.
Demikian ulasan yang sederhana ini, yang ada intinya
mengajak seluruh pembaca untuk tetep tanggap dan
kritis terhadap seluruh bentuk ijtihad dan ideology
yang di wariskan oleh sejarah pemikiran Islam, pada
khususnya maalah yang berkaitan dengan akidah
(teologi).
*) Mahasiswa King Saud University Riyadh, Dosen PKPBA UIN Malang,dan Direktur Lembaga Kajian Pesantren dan
Masyarakat (LKPM). Alumni PP An-Nuqoyah Sumenep
Madura.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
kang "Cinta".....apapun teologinya, Ahmadiyah sekalipun, yang lebih rasional ketimbang Mu'tazilah.....belum manpu menawarkan ideology alternatif dalam upaya mengubah umat dan menggerakkan roda peradaban Islam ke ambang kecerahan "Ala" Anda, anda terlalu pesimistis.....Madura dengan teologi mayoritas Asy'ariyah mampu bergeliat kehidupannya, pun mampu membuat peradaban Indonesia menuju baldatun Thoyyibatun....semua ikhtiar kang, jangan menyalahkan....santai saja....
BalasHapus